Gerakan Perempuan dan Pemilu
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Pemilihan umum tahun 2004 terbagi menjadi 2: pemilihan para
anggota legislatif pada bulan April 2004, dan pemilihan Presiden. Pemilihan
Presiden sendiri, kalau tidak diperoleh separuh lebih dari suara yang
diperebutkan, akan diulang beberapa bulan kemudain antara 2 calon Presiden yang
memperoleh suara terbanyak. Dengan demikian, pada kuartal terakhir tahun 2004
sudah dapat dilantik seorang Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Jika pada
umumnya orang berpendapat, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden akan terjadi 2
kali, karena suara-calon dalam pemilihan pertama tidak mencapai separuh dari
suara para pemilih, penulis berpendapat bahwa hal itu tidak akan terjadi. Dalam
pemilihan pertama bulan Juli, sudah ada Presiden dan wakilnya, karena itu penulis
diejek oleh teman-temannya karena memiliki pandangan seperti itu, sebab
berlawanan dengan semua perkiraan yang ada.
Menjelang berlangsungnya kampanye pemilu legislatif pada tanggal
11 April 2004, di televisi penulis mendengar tayangan mengenai demo gerakan
perempuan di kantor KPU pusat, di bilangan jalan Imam Bonjol, Jakarta. Demo itu
untuk menuntut agar para calon anggota legislatif (Caleg) dalam pemilu 2004,
tidak “mengingkari” perjuangan wanita. Secara resmi disebutkan agar PKB dan PKS
tidak dipilih dalam pemilu legislatif itu. Ini sebenarnya adalah pelanggaran
terhadap pemilu, namun Panwaslu mendiamkan saja, karena tidak ada pasal-pasal
dalam undang-Undang pemilu yang menyebutkan larangan/sangsi terhadap gerakan
perempuan yang berpihak kepada salah satu peserta pemilu yang 24 partai politik
itu. Bagaimana prospek seruan gerakan perempuan yang berdemo di muka kantor KPU
itu? Untuk mengukur hal itulah tulisan ini dibuat, agar diketahui para anak
cucu sekarang dan kemudian hari.
Gerakan perempuan (Women’s Movements) adalah sebuah fenomena yang
lahir di abad ini, sebagai penerusan dari gerakan Women’s Lib (Pembebasan
perempuan). Mereka menuntut persamaan mutlak lelaki dan perempuan, terutama
dalam hak-hak mereka. Memang secara umum kita dapat mendukung tuntutan demi
tuntutan gerakan tersebut, namun jelas pula bahwa tidak semua tuntutan itu
mudah dipenuhi. Ketika konfrensi Beijing beberapa tahun yang lalu menepatkan,
bahwa pada calon anggota legislative minimal 30% harus dari pihak perempuan
namun hal itu hanya dapat dijumpai pada beberapa negeri saja, seperti
Indonesia. selebihnya, tetap seperti dahulu, yaitu dipenuhi oleh kaum lelaki.
Kita belum pernah mendengar adanya calon Presiden di Amerika Serikat, dari
pihak perempuan, walaupun pernah Geraldine Ferraro menjadi Wakil Presiden
mendampingi calon presiden dari partai democrat, Fritz Module beberapa tahun
lalu, walaupun kemudaian dikalahkan.
Dari uraian itu dapat diketahui, bahwa tuntutan gerakan perempuan
belum tentu terpenuhi seluruhnya. Namun, suara demo kaum perempuan di depan
kantor KPU itu, mungkin akan membuat “grogi” para peserta pemilu kita. Tentu
mereka takut kepada “ajakan” negatif seperti itu atas diri para pemilih.
Apalagi ajakan itu secara demontratif ditayangkan oleh Televisi. Bukankah ini dapat
menjadi “malapetaka politik” PKB dan PKS? Efek inilah yang oleh gerakan
perempuan bersangkutan diharapkan para pemilih juga akan bersimpati
kepada ‘ajakan politik” seperti itu, dan karenanya kedua parpol itu akan
“menyesuaikan diri” kepada apa yang diperjuangkan gerakan perempuan tersebut.
benar tidaknya anggapan itu adalah tujuan pembahasan hal itu dalam tulisan ini.
Terlebih dahulu, ingin penulis kemukakan di sini, bahwa ia
bersimpati kepada pembebasan setiap orang yang merasa ditindas atau ditekan,
baik dalam eksistensi/wujud mereka, atau dalam pendirian kebebasan berpendapat
dalam hal ini diperjaungkan penulis seumur hidupnya terbukti dari pembelaanya
atas hak-hak mereka, baik hak keagamaan, cultural maupun lain-lain. Namun ini
tidak berarti penulis juga mendukung tuntutan yang berlebihan, karena penulis
beranggapan perjuangan hak golongan minoritas itu harus berlangsung secara
bertahap. Hak dasarnya yang penulis perjuangkan, kalau perlu dengan pengorbanan
jiwa. Tetapi ada tuntutan gerakan perempuan, yang notobene adalah kelompok
mayoritas terbesar di negeri ini, dalam tuntutan-tuntutan mereka karena itu,
tuntutan yang sesuai dengan keadaan dan bergerak “lebih maju” secara bertahap
menuju kepada tercapainya seluruh hak dalam jangka panjang, adalah pandangan
penulis.
Hal ini terjadi pada penetapan Caleg perempuan dalam PKB yang
penulis ikuti sebagai dari panitia sembilan dilingkungan DPP PKB, yang harus
menyusun dan menetapkan daftar Caleg itu. Secara umum dapat penulis katakana
bahwa para Caleg perempuan yang diajukan PKB, adalah para aktivis gerakan
perempuan. Mereka adalah orang-orang yang gigih membela hak-hak kaum mereka,
walaupun “di Luar” tidak pernah terdengar suara mereka secara lantang dan
terbuka. Langkanya suara lantang bukan berarti mereka tidak berjuang, melainkan
petunjuk “medan perjaungan” mereka lebih berat, memang ini kenyataan dalam
lingkungan PKB masih banyak orang yang belum menerapkan ha-hak perempuan itu di
samping masih adanya begitu banyak seorang yang beristri lebih dari seorang
perempuan/poligami. Kalau mereka diam, bukan berarti mereka tidak berjaung,
melainkan bersikap lebih berhati-hati.
Penulis teringat beberapa tahun yang lalu, ia membaca sebuah
tulisan dalam salah satu media massa kita. Dalam tulisan itu, mendiang Pastor
J.B Mangunwijaya menggambarkan lima orang aktivis perempuan datang dengan
pesawat terbang dari Jakarta, dengan berdandan mewah, mengenakan lipstik yang
berharga puluhan ribu dan rambut disasak oleh salon dengan biaya sangat mahal
kemudain pargi ke pasar Bringharjo di yogyakarta di sana, mereka menjelaskan
dalam bahasa Indonesia yang lancar, dengan diselingi oleh istilah-istilah
bahasa lain, menjelaskan hak-hak perempuan kepada ibu-ibu para pedagang kecil
(mungkin dengan mereka yang buta huruf bercampur aduk dengan yang melek huruf).
Setelah satu jam penjelasan diberikan dengan para pedagang kecil itu mlongo dan
tidak mengerti apa yang diuraikan, kembalikah “rombogan mahal” itu kejakarta
untuk melaporkan secara tertulis kepada pihak pemberi dana bahwa “tugas telah
diselesaikan”.
Penulis tidak bermaksud menunjukkan sikap sisnis, terhadap demo
gerakan perempuan dihadapan kantor KPU itu. Melainkan, penulis hanya ingin
menunjukkan, bahwa mereka telah bertindak “tidak wajar” minimal terhadap PKB.
Kami-kami yang berada di PKB dan bersusah payah memasukkan nama-nama Caleg
perempuan itu dihadapan begitu banyak pendirian yang menentang tentu berhak
mengajukan pandangan tentang “ajakan politik” tersebut. penulis mempertanyakan,
benarkah “ajakan politik” itu sesuai dengan keadaan, ataukah hanya sekedar
“memenuhi” pesanan dari luar? Betapa besarnya sekalipun sebuah pihak pemberi
dana, ia tidak boleh “mendiktekan kehendak” demikian saja gerak-gerik kita.
Bukan hanya mendiang Pastor kita saja yang mempertanyakan hal ini, melainkan
masih banyak orang lain yang menyimpan dalam hati mereka pertanyaan yang sama.
Apakah pengaruh demo yang dilakukan di sepan kantor KPU itu bagi
mereka yang memang akan mencoblos pihak PKB, ada atau tidaknya surat itu, tidak
banyak pengaruhnya bagi yang lain, memang sejak semula mereka tidak ingin
mendukung PKB, jadi dengan demikian “seruan politik” itu tidak mempunyai banyak
arti. Dalam bahasa ilmiah Islam hal itu dinamai Tahshila- Al- Hasil (melakukan
sesuatu yang sudah dilakukan). Jadi, apa yang dilakukan oleh “demo” itu adalah
lelucon yang tidak lucu kita harus menghindari hal-hal semacam itu. Ini kalau
kita tidak ingin ditertawakan orang karenanya, kita harus berhati-hati dalam
mengambil sikap dan tindakan, kalau tidak ingin menjadi tertawaan orang.
Tetapi, sikap berhati-hati seperti ini mudah dikatakan, namun sulit
dilaksanakan bukan? []
Memorandum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar