Kapan Lebihan Pengembalian
Utang Bisa Tak Disebut Riba?
Seorang mufassir Indonesia, Prof Quraish
Shihab menyatakan, kata riba dari segi bahasa bermakna “kelebihan”. Jika kita
berhenti memaknainya sampai di sini, maka logika sebagaimana yang dikemukakan
para penentang riba pada masa Nabi menjadi dapat dibenarkan. Setiap kelebihan
akan dimaknai sebagai riba. Akhirnya, muncul kesimpulan, bahwa “jual beli
adalah sama saja dengan riba” (QS Al Baqarah: 275). Padahal, hal ini adalah
mustahil. Karena keuntungan adalah juga merupakan sesuatu yang lebih dari pokok
harta. Lantas kelebihan yang bagaimana yang dimaksudkan oleh ayat tersebut?
Beberapa ahli tafsir menyatakan bahwa
penggunaan akar kata ربو di dalam Al-Qur’an
digunakan sebanyak 20 kali. Dari kedua puluh itu, penggunaan istilah riba
dipergunakan sebanyak delapan kali. Akar kata ربو memiliki
makna tumbuh (QS al-Hajj: 5), menyuburkan (QS al-Baqarah: 276), mengembang (QS
ar-Ra’du: 17), dan mengasuh (al-Isra’: 24), menjadi besar dan banyak (QS
an-Nahl: 92). Arti kata ربو juga digunakan
untuk menyebut “dataran tinggi” (QS al-Baqarah: 265). Seluruh arti akar kata
ini merujuk kepada makna adanya pertambahan baik dari segi kualitas maupun
kuantitasnya.
Sementara itu, ayat yang menggunakan kata
riba diulang sebanyak 8 kali, antara lain pada QS al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa’
dan ar-Rum. Tiga surat pertama adalah ayat Madaniyah, sementara surat terakhir,
yaitu ar-Rum, adalah Makkiyah. Perlu diketahui bahwa Surat Madaniyah merupakan
kelompok surat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ pasca hijrah.
Sementara Surat Makkiyah adalah kelompok surat dalam Al-Qur’an yang
diturunkan sebelum beliau hijrah. Secara tidak langsung ini memperkuat kajian
sebelumnya, bahwa sebab turunnya ayat dari ayat-ayat riba adalah tradisi
masyarakat Mekah jahiliyah saat itu sebelum Islam. Akan tetapi, penjelasan yang
mengandung celaan sekaligus pelarangan riba, disampaikan beliau Baginda Nabi ﷺ melakukan hijrah ke
Kota Madinah.
Secara tidak langsung, hal ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa ayat pertama, yakni yang pertama kali diturunkan menyatakan
soal riba adalah QS ar-Rum: 39. Allah ﷻ berfirman:
وَمَا
آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ
اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ
هُمُ الْمُضْعِفُونَ
Artinya: “Dan, sesuatu riba (tambahan) yang
kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang
yang melipat gandakan (pahalanya)” (QS Al-Rum: 39).
Bagaimana para ulama tafsir melakukan
penafsiran terhadap ayat ini? Mari kita kaji bersama! Kita masih memakai
instrumen kajian dari kitab Tafsir at-Thabari karya dari Abu Muhammad ibnu
Jarir at-Thabari. Di dalam kitab tafsirnya beliau menyatakan bahwa:
يقول
- تعالى ذكره - : وما
أعطيتم أيها الناس ، بعضكم بعضا من عطية ؛ لتزداد فيأموال الناس برجوع ثوابها إليه
، ممن أعطاه ذلك ،(فلا يربو عند الله)
يقول
: فلا يزداد ذلك عند الله ، لأن صاحبه لم يعطه من أعطاه مبتغيا به وجهه (وما آتيتم
من زكاة) يقول : وما أعطيتم من صدقة تريدون بها وجه الله ، ( فأولئك ) يعني الذين يتصدقون بأموالهم ، ملتمسين بذلك وجه
الله (هم المضعفون) يقول : هم الذين لهم الضعف من الأجر والثواب . من قول العرب : أصبح القوم مسمنين معطشين ، إذا سمنت إبلهم وعطشت.
Artinya: “Allah ﷻ seolah berfirman:
Wahai insan, apa-apa yang kalian berikan sebagai pemberian antara satu sama
lain, dengan tujuan menambah harta sebagai bentuk kembalian upah atas apa yang
kalian berikan sebelumnya kepada mereka, maka (فلا
يربو عند الله), maksudnya,
maka jangan kalian menambah dengan cara itu di sisi Allah, karena sesungguhnya
pemilik harta tidak memberi orang yang diber utang sebagai bentuk pembangkangan
terhadap-Nya. Akan tetapi, (وما آتيتم من زكاة), yakni apa-apa yang kalian berikan
sebagai bentuk shadaqah karena Allah, maka (أولئك), yakni: kaum yang menghendaki melakukan
shadaqah dengan hartanya, yang semata-mata dilakukan karena Allah ﷻ, maka baginya (هم المضعفون = pahala yang berlipat ganda), yakni: kaum
yang baginya pahala dan tsawab yang berlibatganda. Perkataan ini senada dengan
sebuah pepatah Arab: “أصبح القوم مسمنين معطشين ، إذا
سمنت إبلهم وعطشت”, artinya:
Jadilah kaum penduduknya berlomba-lomba (mempertahankan) kegemukan hewannya dan
memberinya minum manakala onta mereka gemuk lagi kehausan (Penerjemah: Kata
kiasan balas budi terhadap orang yang sudah menolongnya memberi pinjaman).”
(Syeikh Abu Muhammad Ibnu Jarir At-Thabari, Tafsīr at-Thabāri, Daru al-Ma’arif,
tt., Juz 20, hal: 104).
Maksud dari penafsiran at-Thabari di atas
adalah, pemberian dari seseorang yang pernah ditolong kepada orang yang telah
memberikan pertolongan, dalam bentuk suatu ‘athiyah (pemberian sukarela),
adalah boleh, namun harus memperhatikan tata caranya. Allah ﷻ menyinggungnya agar
cara memberinya tidak selayaknya adanya tekanan atau kewajiban, melainkan harus
dengan jalan semata karena Allah (tabarru’). Dan manakala pemberian ini
dilakukan karena Allah ﷻ,
maka pahala yang berlipat ganda yang dijanjikan oleh Allah ﷻ terhadap
mereka. Namun, bila hal itu bukan karena Allah, melainkan akibat dari suatu
keharusan sebagaimana tradisi masyarakat jahiliyah saat itu dalam menentukan
kewajiban balasan bagi orang yang ditolongnya, maka hal tersebut, berdasarkan
ayat ini merupakan perkara yang diminta untuk dijauhi oleh syara’ agama
kita.
Kesimpulan dari penafsiran ayat ini adalah
bahwasanya pemberian seseorang kepada orang yang menolongnya dalam bentuk
utang, ada kalanya diperbolehkan, dan ada kalanya tidak diperbolehkan. Untuk
yang diperbolehkan, maka disebut sebagai ‘athiyah atau shadaqah. Sementara
untuk yang dilarang, maka disebut sebagai riba dengan asal kata adanya ziyadah,
yakni tambahan yang diberikan bukan karena Allah ﷻ. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Ponpes Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar