Kapan Orang dengan Luka
Diperban Wajib Mengulang Shalatnya?
Selalu ada saja kejadian di dunia ini. Secara
tidak disangka-sangka, seseorang berangkat kerja di pagi hari untuk mencari
nafkah bisa saja tiba-tiba terkena musibah. Kecelakaan yang hebat tiba-tiba
terjadi sehingga mengakibatkan luka atau bahkan cacat fisik. Kesemua itu
membutuhkan perawatan yang intensif. Tak jarang kemudian terpaksa salah satu
anggota badan harus dipasang gips atau dibalut dengan perban.
Apabila lukanya berupa luka lecet, maka tidak
begitu berbahaya. Namun apabila lukanya berupa luka patah tulang, atau luka
bakar yang serius, tentu hal ini akan melahirkan masalah baru, utamanya adalah
masalah dalam menjalankan syariat shalat. Persoalan pertama yang berhubungan
langsung dengan luka barangkali adalah bagaimana cara kita bersuci?
Sebuah luka, ada kalanya perlu dibalut dengan
perban, dan adakalanya tidak. Untuk luka yang tidak dibalut dengan perban, bisa
jadi karena luka tersebut tidak terlalu serius. Atau bisa jadi pula sebenarnya
lukanya serius, akan tetapi nekad untuk tidak dibalut. Ketika bagian yang luka
terkena air, efeknya luar biasa kesakitannya bagi si sakit.
Demikian pula dengan luka yang dibalut dengan
perban, ada kalanya benar-benar tidak bisa dibuka bilamana kondisinya belum
sembuh benar, namun adakalanya pula, si orang sakit hanya menghindarkan luka
dari udara terbuka agar tidak berujung infeksi. Seandainya dibuka pun tidak
masalah. Lantas, bagaimana solusi fiqihnya terhadap tata cara bersuci bagi
orang dengan luka-luka sebagaimana dimaksudkan?
Untuk setiap kondisi luka, kita bedakan saja
dalam kesempatan ini sebagai luka ringan dan luka berat. Untuk kondisi luka
ringan, para ulama fiqih sepakat menyatakan tidak ada perlakuan khusus
terhadapnya. Bahkan, apabila luka itu dibalut dengan perban, maka wajib bagi si
sakit untuk membuka perban tersebut sehingga tidak menghalangi sampainya air ke
kulit yang sehat dan bagian yang tampak dari luka.
Syekh Taqiyuddin Abu Bakar al-Hushny dalam Kifâyatul
Akhyâr menjelaskan bahwa:
إن
قدر على نزعها عند الطهارة من غير ضرر من الأمور المتقدمة في المرض وجب النزع وغسل
الصحيح وغسل موضع العلة إن أمكن وألا مسحه بالتراب إن كان موضع التيمم
Artinya: "Jika perban bisa dilepas
ketika menghendaki bersuci karena ketiadaan bahaya pada bagian yang sakit, maka
wajib melepas perban itu. Selanjutnya, bila memungkinkannya, maka bagian
anggota yang sehat dan sekaligus bagian yang sakit dibasuh dengan air. Namun,
bila tidak memungkinkan (karena timbul rasa sakit yang sangat), maka khusus
bagian yang sakit diusap dengan debu, bilamana luka itu berada di bagian tubuh
anggota tayammum." (Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad
Al-Hushny, Kifâyatul Akhyâr fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr,
Surabaya: Al-Hidayah, 1993: juz 1, halaman 61)
Apa maksud dari mengusap luka dengan debu?
Pembaca mungkin bertanya, apa maksud dari mengusap
bagian anggota yang sakit ini? Apakah cukup dengan mengambil debu, kemudian
ditabur pada bagian luka? Ataukah ada tata caranya untuk mengusapkan debu itu
pada bagian yang dimaksud?
Jawabnya, tentu dalam mengusap debu pada
bagian yang sakit ini bukan sekadar mengusap saja. Namun, yang dimaksud dengan
mengusap debu di sini adalah debu yang bersama-sama dalam rangkaian tayammum.
Dengan demikian, bilamana seseorang yang luka menghendaki bersuci, maka tata
cara bersucinya adalah dilakukan dengan jalan dua cara, yaitu: berwudhu yang
disusul dengan tayammum. Pendapat ini didasarkan pada pernyataan Abi Syuja’
sebagaimana termaktub dalam Kitab Kifayatul Akhyar, yaitu:
وصاحب
الجبائر يمسح عليها ويتيمم ويصلي ولا إعادة عليه إن وضعها على طهر
Artinya: "Orang dengan luka perban,
bersuci dengan jalan mengusap air wudhu di atasnya, kemudian dilanjutkan dengan
tayammum. Kemudian ia shalat, dan tidak perlu melakukan i'adah shalat
jika menaruh perban tadi dalam kondisi suci." (Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar
bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatul Akhyâr fi hilli Ghâyati
al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/60)
Dua Konsekuensi: Mengulang Shalat dan Tidak
Apa yang dimaksud dengan kata menaruh perban
dalam kondisi suci di atas?
Ada dua pengertian terkait dengan kondisi
suci sebagaimana disampaikan dalam bunyi pernyataan Syekh Taqiyuddin al-Hushny
di atas. Pertama, ia bermakna suci secara sempurna baik dari hadats kecil
maupun hadats besar. Pemberian makna ini diambil berdasarkan qiyas musawy
dengan khuf (muzah), yaitu semacam sepatu untuk menghadapi cuaca
ekstrem, yang bentuknya menutup mata kaki dan telapak kaki. Dengan demikian,
seandainya ada perban yang dipasang menutup luka, maka kondisi si sakit harus
dalam keadaan suci dari hadats kecil dan hadats besar. Pendapat ini didukung
oleh Syekh Abu Al-Fadlal Abdullah al-Ghumary dalam kitabnya al-Istiqsha’.
Apa konsekuensi hukum dari pendapat ini?
Ada konsekuensi hukum apabila kita mengikuti
pendapat yang pertama ini, yaitu apabila si sakit menaruh perban atau pembalut
luka dalam kondisi ia sedang menyandang hadats kecil atau hadats besar, maka ia
terkena hukum wajib mengulangi shalatnya (i’adah shalat) ketika ia sudah
sembuh.
Tentu dalam hal ini ada banyak perincian
diperlukan. Namun secara garis besar, semua perincian itu didasarkan pada bisa
atau tidaknya si penderita membasuh bagian tubuh lukanya saat bersuci dari
hadats besar. Bila si penderita mampu menyempurnakan cara bersucinya, maka ia
tidak perlu melakukan i’adah shalat saat ia sudah sembuh. Dan, apabila
si penderita tidak bisa bersuci dengan sempurna, maka ia terkena hukum wajib
melakukan i’adah shalat.
Lantas apa status shalat penderita saat
kondisi masih sakit? Jawabnya, adalah shalat yang dilakukan penderita selama ia
sakit dan belum bisa menyempurnakan sucinya, disebut dengan shalat li
hurmati al-waqti, yakni shalat untuk menghormati waktu. Pendapat ini
didasarkan pada mafhum pendapat berikut ini:
وقوله
ولا إعادة عليه إن وضعها على طهر مفهومه أنه إذا وضعها على غير طهر أنه يعيد
“Maksud pernyataan “tak perlu tidak perlu
melakukan i'adah shalat jika menaruh perban dalam kondisi suci” adalah
harus mengulangi shalat bila perban ditaruh dalam kondisi tidak suci.”
(Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatul Akhyâr fi
hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/61)
Sebenarnya masih ada konsekuensi hukum yang
lain yang bisa digali dari mengikuti pendapat pertama. Namun untuk sementara
kita cukupkan sampai di sini terlebih dahulu. Adanya kewajiban i’adah shalat
bila membalut tidak dalam kondisi suci, disebabkan karena luka sedemikian ini
dianggap sebagai amrun nadirun (perkara yang jarang terjadi).
Pendapat kedua, yang dimaksud menaruh perban
dalam kondisi suci adalah suci bagian anggota tubuh yang terluka saja. Maksud
dari suci di sini adalah, suci dari najis saat perban dipasang, dan bukan suci
dari hadats. Pada sebagian kondisi, darah yang berada di sekitar luka harus
diupayakan pembersihannya. Untuk darah yang tidak bisa dibersihkan, kemudian
mengering, maka darah ini statusnya dima’fu. Pendapat ini didukung oleh Syekh
Jalaluddin al-Suyuthy.
Konsekuensi logis dari mengikuti pendapat
kedua ini, adalah meskipun perban ditutupkan ke luka dalam kondisi si sakit
sedang tidak dalam keadaan suci dari hadats, maka “tayammum” si sakit sudah
cukup sebagai pengganti wudhu dan mandinya. Adapun wudhu yang dilakukan,
dianggap sebagai “keutamaan” bagi si sakit dalam menyempurnakan bersucinya
ketika hendak shalat.
Konsekuensi hukum lainnya, adalah apabila
saat luka ditutup dengan perban, kondisi si sakit sedang menyandang hadats
besar, maka ia wajib melakukan tayammum untuk setiap kali shalat fardlu, dengan
ketentuan: satu tayammum dipergunakan untuk shalat fardlu, ditambah dengan
shalat-shalat sunnahnya. Termasuk shalat yang harus diiringi dengan satu kali
tayammum dalam kondisi sedemikian rupa ini adalah shalat sunnah yang
dinadzarkan dan shalat jum’ah. Dan bilamana kondisi musholli sudah sembuh dari
sakitnya, maka ia tidak perlu melakukan i’adah shalat, atau bahkan
mengqadla’ shalatnya, karena tayammum sudah menjadi pencukup bagi semua
shalat-shalat yang dilaksanakannya selama penderita mengalami sakit.
Sebagai penutup dari tulisan ini, adalah
bahwa kondisi saat menutup luka dengan perban/pembalut adalah memiliki
konsekuensi hukum terhadap mushalli. Dasar pemikiran yang disepakati
oleh ulama adalah bahwa menutup luka dengan perban hendaknya dilakukan dalam
kondisi suci.
Namun demikian, ulama berbeda pendapat dalam
memahami maksud suci ini. Di satu sisi ada yang berpendapat bahwa harus suci
dari hadats kecil dan hadats besar. Namun di sisi yang lain, ada yang
berpendapat bahwa hanya harus suci dari najis saja. Keduanya memiliki
konsekuensi hukum. Akan tetapi, dari kedua pendapat di atas, pendapat yang
paling hati-hati (ahwath) adalah pendapat yang pertama. Sementara itu,
para ulama juga menyatakan bahwa pendapat yang paling maslahat adalah
pendapatnya Syekh Jalaluddin Al-Suyuthy (pendapat kedua). Wallahu a’lam.
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar