Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Oleh: Haedar Nashir
Para pendiri Republik ini sungguh bijaksana. Mereka merumuskan
salah satu tugas utama Pemerintahan Indonesia ialah “mencerdaskan kehidupan
bangsa”. Kata “cerdas” artinya “sempurna perkembangan akal budinya untuk
berpikir, mengerti, dan tajam pikiran; serta sempurna pertumbuhan
tubuhnya menjadi sehat dan kuat”. Kata “mencerdaskan” ialah “menjadikan
cerdas; mengusahakan dan sebagainya supaya sempurna akal budinya”.
Objek yang dicerdaskan bukan hanya manusianya, tetapi secara
keseluruhan yakni kehidupannya. Menyangkut budaya, sistem, dan lingkungan
sehingga luas cakupannya dalam perikehidupan kebangsaan. Menurut sejarahwan
Prof Taufik Abdullah, mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekadar menyangkut
intelektualitas anak bangsa, tetapi lebih jauh dan mendalam menyangkut
pengembangan perikehidupan kebangsaan yang luas. Dalam Islam identik menjadi
bangsa yang berkebudayaan Iqra dan membentuk peradaban maju yang
cerah-mencerahkan dalam rancang-bangun “al-madinah al-munawwarah”.
Ketika saat ini kehidupan kebangsaan dilanda “demam nasional” era
revolusi industri 4.0, selain orientasi positif untuk mampu hidup di zaman baru
itu. Sisi lain yang menyeruak ialah gagap budaya disertai alam pikiran
instrumental yang serbapraktis dan parsial. Dunia pendidikan pun dituntut
berorientasi pada penguasaan teknologi dan ekonomi digital. Seolah era
postmodern tersebut sekadar urusan penguasaan teknologi informasi canggih dan
praktis belaka. Lupa bahwa di negeri-negeri maju baik di Barat maupun Timur,
menapaki era baru tersebut diawali dengan revolusi jiwa dan pemikiran dalam
rancang-bangun kebudayaan modern yang berkemajuan dalam pergumulan yang sangat
panjang. Tidak melompat ke urusan serbateknis dan praktis!
Banyak hal dalam kehidupan kebangsaan di negeri ini pun
dimamah secara tidak berkecerdasan. Rebutan istilah dan debat kusir soal
radikalisme dengan kebiasaan saling tuding atau saling-sanggah secara
sumbu-pendek. Lahir sikap-sikap ekstrem berlogika “pasca-kebenaran” atau
“post-truth” yang bernuansa subjektif dan bernarasi keyakinan-buta sarat
kepentingan naif. Tampil sososk-sosok garang yang bersuara lantang sebagai
simbol pembawa “kebenaran” dengan argumen-argumen dangkal yang absurd.
Kebijakan dan langkah yang diambil juga menjadi kehilangan kecerdasan, baik
yang dilakukan negara maupun sebagian masyarakat sipil yang nir-perspektif
luas.
Demikian pula dalam memperbincangkan dan menyelesaikan
masalah-masalah besar bangsa seperti korupsi, kesenjangan sosial, kemiskinan,
kekerasan, pengurasan sumberdaya alam, kebakaran hutan, politik uang, legislasi
undang-undang, kepemimpinan nasional, pemilu, dan persoalan-persoalan krusial
kebangsaan yang menjadi beban nasional. Banyak ingin melompat seolah berada di
ruang vakum. Institusi biasapun kata Buya Syafii Maarif disucikan. Nilai
dikonstruksi hanya hitam-putih secara sepihak dan apologi. Banyak hal menjadi
tampak dangkal serta sarat tarik-menarik tafsir dan kepentingan bersumbu
pendek, praktis, dan pragmatis. Semua bermula dari hilangnya mozaik dan basis
kecerdasan multiperspektif dalam perikehidupan kebangsaan!
Orientasi Satu Dimensi
Bangsa Indonesia tidak akan tiba-tiba maju dan mampu menghadapi
serta berkualitas unggul di era revolusi industri 4.0 secara instan dan
dangkal. Perlu gerakan pendidikan dan rekonstruksi nasional yang “mencerdaskan
kehidupan bangsa” secara sistematis dan berkelanjutan melalui proses yang “long
term” atau jangka panjang dan multidimensi. Apalah artinya generasi bangsa
berkeahlian secara teknis atau instrumental dalam penguasaan teknologi
informasi dan aspek kognisi semata tanpa topangan basis karakter dan budaya
cerdas yang dibentuk secara tersistem dan terus menerus melalui pendidikan
nasional dan rancang-bangun perikehidupan kebangsaan yang mapan berkemajuan.
Boleh jadi kita sebagai bangsa secara kolektif abai dengan warisan
para pendiri negeri yang sangat berharga ini, yakni mencerdaskan kehidupan
bangsa! Sehingga yang menyeruak ke permukaan ialah sederet jiwa, pikiran,
sikap, dan tindakan yang instan dan kerdil yang bermakna ketidakcedasan.
Pendidikan pun seolah harus dibawa ke serba teknologi digital dan urusan
ekonomi, padahal pendidikan yang benar harus sepenuhnya urusan membangun akal
budi secara luas, termasuk mendidik karakter bangsa secara berkelanjutan. Dalam
bait lagu Indonesia Raya sangatlah terang: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”.
Proses membangun jiwa-raga dan akal-budi sungguh tidak dapat melompat secara
tiba-tiba.
Pendidikan dalam konteks dunia industri dan teknologi informasi
yang canggih sekalipun tidak akan mampu bertahan lama manakala sumberdaya
manusianya dibentuk —dalam istilah Alvin Toffler— sebagai “the modular man”
(insan modular) seperti robot keluaran pabrik. Mereka mungkin secara teknis
berkeahlian tinggi, tetapi kehilangan orientasi kehidupan (disorientation)
karena tidak memiliki basis karakter dan budaya yang kokoh dalam menghadapi
dunia modern. Akibatnya, sosok-sosok anak manusia yang dihasilkan mengalami
kejutan masa depan (the future shock), ketika kemajuan dunia modern indutsrial
dan telnologis itu tidak lagi mampu diimbangi dengan mentalitasnya yang mencukupi
seperti jujur, terpercaya, mandiri, beretos kerja tinggi, gigih, toleran,
berjiwa sosial, dan berbudi luhur.
Dunia pendidikan baik formal maupun informal dan nonformal yang
menggenjot kecerdasan “instrumental” tanpa landasan pendidikan karakter dan
kebudayaan yang kokoh akan melahirkan apa yang disebut William Ogburn sebagai
“cultural lag” atau kesenjangan budaya. Dalam masyarakat yang mengalami
kesenjangan budaya terdapat kondisi kehidupan materi jauh lebih
maju ketimbang budaya spiritual. Hal-hal serba inderawi seperti kesejahteraan
fisik, kemampuan berteknologi dan digitalisasi berkembang cepat mengikuti deret
ukur sementara ketahanan moral,
etika, life-skill, dan kemampuan sosial tertinggal mengikuti deret
tambah.
Robert Marcuse, folosof dan sosiolog Mazhab Frankfurt, bahkan
dengan ekstrem memperkenalkan istilah “one-dimensional man” dalam kehidupan
masyarakat modern. Manusia hanya menjadi makhluk satu dimensi yang menguasai
dan dikuasi teknologi, sehingga pandangan hidupnya serba praktis dan
teknologis. Ilmu pengetahuan yang dikuasai bersifat operasional berbasis
filsafat positivisme, sehingga memandang dunia serba determinan tunggal.
Kemajuan hanya dicandra dengan hal-hal serba kuantitatif, sehingga kehilangan
daya dan nilai-nilai kemanusiaan yang kualitatif dan substantif. Masyarakat
dari luar tampak rasional, tetapi nalar dan tindakannya irasional. Manusia
modern terdegradasi oleh kapitalisme bendawi sehingga yang dikenali dari
dirinya hanyalah komoditas yang mereka miliki, bukan sesuatu yang bersifat
eksistensial seperti nilai rasio, moral, dan kebudayaan.
Transformasi Karakter
Bangsa Indonesia mesti melangkah ke depan dengan basis pendidikan
dan rekonstruksi nasional yang “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang kokoh.
Revolusi mental sebenarnya harus dimulai dari sistem pendidikan “insan
bekecerdasan” yang utuh itu, bukan pada orientasi teknologis dan instrumental
yang bersifat satu dimensi. Bukan pula pada pendidikan yang hanya memproduksi
manusia pencari pekerjaan dalam paradigma “link and match” ala pabrik. Jika
kebijakan praktis-pragmatis itu dilakukan memang secara jangka pendek akan
tampak hasilnya sebagaimana pabrik menghasilkan barang, tetapi dalam jangka
panjang dunia pendidikan kehilangan jiwa, pikiran, dan cita-cita “mencerdaskan
kehidupan bangsa”.
Lihatlah sekeliling dengan seksama. Ketika korupsi, orientasi
materi (materialisme), transaksi politik uang, memuja kesenangan duniawi
(hedonisme), kekerasan, kerakusan, dan cara hidup menghalalkan apa saja (oportunisme)
mulai meluas dalam kehidupan masyarakat, yang terjadi ialah ketercerabutan
manusia dari karakter aselinya selaku insan berakal-budi yang bersih (insan
hanif, fi ahsan at-taqwim). Karena manusia tercerabut dari kesejatian dirinya
yang aseli (fitrah), maka manusia produk pendidikan modern menjadi makhluk satu
dimensi laksana robot dan kehilangan orientasi hidupnya laksana musafir di
sahara fatamorgana. Beragama pun sebatas kulit luar dengan kegarangan sarat
fanatik-buta yang menganggap diri paling suci (tazakku, semuci) dan memproduksi
sikap serbaekstrem.
Dalam konteks perubahan sosial, perilaku masyarakat mengalami
lompatan (future shock) atau disorientasi (kehilangan arah) laiknya musafir
terputus arah jalan. Kita teringat narasi klasik “zaman edan” (zaman kegilaan)
sebagaimana nukilan pujangga Ranggawarsito seputar hilangnya martabat dan model
perilaku luhur. Ranggawarsito menulis: “Sekarang martabat negara, tampak telah
sunyi sepi, sebab rusak pelaksanaan peraturannya, karena tanpa teladan, orang
meninggalkan kesopanan, para cendekiawan dan para ahli terbawa, hanyut ikut
arus dalam jaman bimbang, bagaikan kehilangan tanda-tanda kehidupannya,
kesengsaraan dunia karena tergenang halangan.” (Kuntowijoyo, 1999).
Manusia hasil pendidikan modern yang isntrumental, sering
mengalami paradoks. Mereka katanya menjunjungtinggi “keadaban
modern” seperti hak asasi manusia, demokrasi, ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan hal-hal yang positif lainnya tetapi perangainya menjadi “buas”
seperti hewan, bahkan lebih buas karena mati potensi qalbunya (QS Al-‘Araf:
179). Berebut kekuasaan, harta, dan kesenangan duniawai tidak jauh beda
seperti masyarakat di zaman batu, bahkan dengan mengatasnamakan agama dan kitab
suci. Anak-anak, perempuan, dan siapapun yang lemah menjadi korban
kekerasan dan pelecehan. Alam dirusak yang melahirkan kebakaran hutan,
eksploitasi sumberdaya alam, penguasaan kekayaan negara oleh segelintir orang,
serta tindakan-tindakan lain yang merugikan kehidupan sesama dan semesta.
Korupsi, penyelewengan, dan segala tindakan yang berlawanan dengan
nilai-nilai moral meluas dalam kehidupan. Di tanah air bahkan demonstrasi
sering berujung anarki disertai kekerasan, vandalisme, dan keonaran
seolah manusia Indonesia kehilangan karakter yang relijius, Pancasilais, dan
berkebudayaan luhur sebagaimana dijadikan klaim keindonesiaan yang autentik.
Sebagian orang atau kelompok seakan senang manakala keonaran dan anarki sosial
itu terjadi untuk dicarikan kambing-hitam dan tempat legitimasi kesalahan dan
kepentingan politik tertentu. Kekuasaan di banyak tempat disalahgunakan.
Radikalisme pun menjadi komoditi karena mendatangkan keuntungan materi dan
hegemoni. Sesama anak bangsa bertumbuh sikap saling benci, syakwangka, tidak
percaya, permusuhan, bahkan terjangkiti virus homo homini lupus.
Dalam analisis Berger (1983), manusia modern yang
instrumental mengalami “anomie” dan “chaos” yakni suatu keadaan setiap
individu manusia kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan
hidup dengan sesamanya, sehingga kehilangan petunjuk dan makna hidup yang
berarti. Karenanya diperlukan transformasi karakter bangsa berbasis nilai
agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa yang autentik sebagai “kanopi
suci” kehidupan. Transformasi karakter luhur seperti itu hanya dapat dilakukan
dalam dunia pendidikan dan rekomstruksi perikehidupan kebangsaan yang
berorientasi pada membangun kembali basis karakter dan perilaku manusia
Indonesia yang utuh dalam perspektif “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Era digitalisasi 4.0 justru jangan mereduksi dunia pendidikan dan
perikehidupan kebangsaan untuk dijadikan pabrik yang melahirkan manusia modular
ala robot, tetapi harus menghasilkan insan berkarakter mulia yang
berkecerdasan. Revolusi mental bahkan harus memperoleh pijakan, arah, dan
perwujudan pada orientasi pendidikan karakter yang multidimensi itu. Di sinilah
pendidikan dan rekonstruksi kebangsaan berbasis “mencerdaskan kehidupan bangsa”
menjadi niscaya jika Indonesia berkehendak untuk menjadi negara dan bangsa maju
di era posmodern dengan karakter keindonesiaannya yang kokoh sebagaimana
dicita-citakan para pejuang dan pendiri Republik ini! []
REPUBLIKA, 29 September 2019
Haedar Nashir | Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar