Mbah
Moen: Menjaga Islam Tradisional, Menjaga Indonesia
Oleh:
Ulil Abshar Abdalla
ISTILAH
“tradisional” yang saya pakai di sini mungkin menimbulkan kesan keliru.
Seolah-olah yang tradisional bermakna buruk. Istilah tradisional di sini saya
maknai secara positif. Setiap sistem atau komunitas selalu mengandaikan adanya
tradisi: yaitu sesuatu yang diwarisi turun-temurun, dari generasi ke generasi.
Berupa
sistem nilai, pengetahuan, praktik, yang menjamin keteraturan dan ketertiban
kultural dalam komunitas itu.
Istilah
“tradisional” juga tidak langsung bermakna stagnasi, kemandekan, kejumudan.
Jika tradisi mandek, jumud, dia akan berhenti sebagai tradisi. Supaya dia bisa
bertahan, setiap tradisi harus beradaptasi dengan lingkungan yang terus
berubah. Bahwa suatu tradisi bisa bertahan hingga sekarang, maknanya dia
memiliki mekanisme adaptasi yang kenyal.
Cara
kerja tradisi seperti ini diartikulasikan secara baik dalam adagium yang
terkenal di NU: al-mukhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi
al-jadid al-ashlah. Setiap tradisi, agar bisa bertahan, harus mampu menjalankan
dua “tugas kultural” ini sekaligus: tugas “preservatif”, mempertahankan yang
ada yang masih relevan (al-mukhafadzah); serta tugas “inovatif”, mengembangkan
inovasi baru (al-akhdzu).
Ini semua
saya kemukakan sebagai mukadimah untuk mengatakan bahwa Kiai Maimoen Zubair,
kiai agung yang meninggal pada Selasa, 6 Agustus 2019, adalah visualisasi sosok
yang mampu menjalankan dua tugas ini secara proporsional dan dengan cara
mengagumkan.
Dari sisi
preservatif, al-mukhafadzah, Mbah Moen adalah kiai yang dengan gigih menjaga
ilmu-ilmu tradisional dan tradisi keislaman yang turun-temurun selama
berabad-abad. Ini ditandai juga oleh kemampuan mengingat Mbah Moen yang
mengagumkan. Hingga melewati umur 90 tahun, Mbah Moen masih jernih ingatannya.
Mbah Moen masih mampu melihat tanpa “tesmak” atau kacamata. Dari sisi ini, kita
bisa mengatakan bahwa Mbah Moen adalah “the guardian of Islamic
traditionalism”, penjaga Islam tradisional di negeri ini.
Kita
mengenal Pesantren Al-Anwar di Sarang, Rembang, -pesantren asuhan Mbah Moen-
sebagai salah satu pesantren yang memiliki tradisi kajian kitab kuning paling
kukuh di tanah Jawa saat ini. Dalam setiap forum bahtsul masail, para santri
Sarang dikenal sebagai salah satu yang paling jago dalam berdebat dan menjawab
masalah berdasarkan teks-teks (‘ibarat) dalam kitab kuning.
Kita
harus bersyukur kepada para kiai di pesantren karena mereka telah merawat
tradisi kajian Islam yang diwarisi sejak ratusan tahun, sejak generasi Imam
Ghazali di abad ke-10 Masehi di Baghdad. Berkat ketekunan sosok-sosok seperti
Mbah Moen inilah, kajian Islam dengan metode tradisional tersebut tetap
bertahan hingga sekarang.
Di
Indonesia, kajian Islam dikerjakan dengan pelbagai cara. Ada kajian model
IAIN/UIN yang mengadopsi metode-metode modern, terutama metode yang
dikembangkan oleh ilmu-ilmu sosial. Ada kajian ala “religious studies” seperti
dikembangkan oleh perguruan tinggi umum di luar IAIN/UIN. Dengan segala
kelebihan dan kekurangannya, model-model kajian ini tetap tidak bisa
menggantikan dan menandingi kekhasan yang ada dalam kajian keislaman ala
pesantren dengan basis kitab kuning.
Dalam hal
kajian Islam tradisional ini, Mbah Moen-lah sosok paling penting di mata saya
saat ini. Selain karena kesepuhan umurnya (ini menambahkan aspek “barakah” yang
sangat akrab dalam tradisi pesantren), Mbah Moen punya keistimewaan yang
langka: yaitu erudisi, kedalaman dan penguasaan yang luar biasa atas “al-‘ulum
al-Islamiyah”, ilmu-ilmu agama. Dialah kiai yang saya anggap paling alim saat
ini, dalam pengertian yang sebenar-benarnya dari kata itu.
Sebagaimana
saya katakan di awal, setiap tradisi hanya bisa bertahan jika dia tidak hanya
pandai merawat, al-mukhafadzah, menjaga yang ada. Kalau hanya pandai di aspek
itu tok, tradisi bersangkutan akan roboh dan hancur. Supaya bisa bertahan,
tradisi harus pula kreatif mengembangkan diri sesuai perkembangan zaman.
Mbah
Moen, di mata saya, adalah kiai sepuh yang punya “ilmu kasepuhan”,
kebijaksanaan untuk bisa menerjemahkan ilmu-ilmu tradisional yang diajarkan di
pesantren dalam konteks zaman yang berubah. Salah satu sumbangan Mbah Moen yang
penting dilihat dari aspek ini adalah kreativitas yang luar biasa yang
ditunjukkan beliau untuk membela NKRI dan Pancasila dengan argumen-argumen ala
pesantren.
Beberapa
tahun menjelang wafat, tampak sekali Mbah Moen punya perhatian yang khusus
terhadap “hubbul wathan”, cinta tanah air. Dalam ceramah-ceramah publiknya
menjelang akhir hayat, atau dalam percakapan dengan tamu-tamu yang sowan ke
“ndalem” beliau dalam berbagai kesempatan, Mbah Moen sering kali dan dengan
semangat yang besar membahas soal pentingnya umat Islam merawat NKRI dan
Pancasila.
Saya tak
pernah melihat seorang kiai yang punya passion dan semangat untuk menjelaskan
Pancasila, NKRI, sejarah kemerdekaan Indonesia, serta kekhasan Islam yang ada
di Nusantara sebesar dan semendalam Mbah Moen. Penjelasan itu beliau lakukan
bukan dengan cara yang biasa, melainkan melalui cara khas, yaitu dengan cara
pandang pesantren.
Dalam
sebuah percakapan ketika saya sowan ke Sarang, Mbah Moen pernah mengungkapkan
bahwa Islam yang berkembang di tanah Jawa dan Nusantara itu beda dengan yang
ada di tanah Arab. “Ya pancen beda,” ungkap beliau. Tetapi, kita tahu semua,
ini tidak berarti bahwa Mbah Moen anti-Arab. Sangatlah tidak mungkin kiai
sebesar Mbah Moen anti-Arab. Perbedaan di sini beliau maknai sebatas perbedaan
ekspresi kultural dan dalam cara melihat soal-soal kemasyarakatan.
Di tangan
Mbah Moen, menjaga Islam tradisional melalui pengajaran kitab kuning yang
berasal dari peradaban Islam di tanah Arab dan menjaga Indonesia, keduanya
sama-sama penting. Bahkan, menjaga Islam tradisional adalah juga menjaga
Indonesia itu sendiri.
Di hampir
semua belahan dunia, sejak dulu hingga sekarang, salah satu ciri khas Islam
tradisional adalah kombinasi antara unsur-unsur ini: merawat tradisi ilmu-ilmu
Islam tradisional, adaptasi dengan kultur lokal, dan mencintai tanah air. Tiga
unsur inilah yang kemudian meletakkan Nahdlatul Ulama sebagai elemen terdepan
dalam menjaga keutuhan NKRI. Dan Mbah Maimoen berada di pusat tradisi Islam
semacam ini. Bukan itu saja. Beliau adalah penjaga tradisi itu. Dan dengan
menjaga tradisi ini, beliau sekaligus menjaga Indonesia.
Mbah Moen
memang telah “kondur”, “seda”, kembali “ila al-malai’ al-a’la”, bergabung
dengan roh-roh suci yang ada di alam sana. Tetapi, warisan beliau yang tecermin
dalam keistiqamahan untuk menjaga Islam tradisional dan menjaga Indonesia akan
terus dirawat oleh ribuan santrinya yang tersebar di seluruh Indonesia.
Allahumma
askinhu fasiha jannatika. []
JAWA POS,
8 Agustus 2019
Ulil
Abshar Abdalla | Pengajar di Universitas Islam Nahdlatul Ulama Indonesia
(UNUSIA), Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar