Kiai Dhofir Munawwar, Menantu Andalan Kiai
As’ad Syamsul Arifin
Kiai Maimoen Zubair pernah bercerita, bahwa
Kiai Abdul Karim, pendiri dan pengasuh pertama pesantren Lirboyo Kediri,
memiliki dua menantu adalan. Pertama, adalah Kiai Marzuqi Dahlan, kedua, adalah
Kiai Mahrus Ali.
Dua menantu keren inilah yang banyak membantu
Kiai Abdul Karim mengurusi pesantren Lirboyo. Bukan hanya itu, sepeninggal Mbah
Manab, nama lain Kiai Abdul Karim, kedua menantu itu juga yang bahu-bahu
membahu meneruskan dan memajukan pesantren Lirboyo.
Keberadaan menantu bagi seorang kiai yang
mengelola pesantren besar cukup fundamental. Karena ia menjadi “tangan kanan”
bagi pengasuh. Beban berat sebagai pemimpin pesantren, suluh penerang umat dan
segenap aktivitas akan sedikit banyak dibantu oleh kehadiran dan peran seorang
menantu. Apalagi menantu tersebut termasuk kategori “menantu
andalan”.
Mungkin itulah yang dirasakan juga oleh Kiai
As’ad Syamsul Arifin, pengasuh generasi kedua Pesantren Salafiyah Syafi’iyah
Sukorejo. Kiai As’ad di tengah kesibukannya sebagai pemimpin pesantren, tokoh
nasional, sesepuh NU dan kiai-nya masyarakat memiliki menantu andalan. Beliau
adalah Kiai Dhofir Munawwar.
Nama Kiai Dhofir Munawwar tidak begitu dikenal
publik karena di samping kondisi politik pada waktu yang tidak memungkinkan, ia
juga tipikal kiai yang menempuh jalan khumul, menyingkir dari
popularitas.
Seluruh waktunya dihabiskan untuk pesantren
dan para santri.Khumul adalah salah satu jalan yang lumrah ditempuh oleh para
sufi. Secara sederhana ia dimaknai dengan keterasingan, menyingkir dari
hiruk-pikuk duniawi. Ibnu Athaillah al-Sakandari (bisa dibaca al-Iskandari atau
al-Iskandarani) dalam al-Hikam berkata:
ادفن
وجودك في ارض الخمول فما نبت مما لم يدفن لا يتم نتاجه
“Kuburlah dirimu dalam tanah yang tak
dikenal, sebab sesuatu yang tumbuh dari biji yang tak ditanam tak berbuah
sempurna”
Syekh Muhammad Said Ramadan al-Buthi dalam
anotasi (syarah) terhadap kitab al-Hikam menyebut bahwa laku khumul
ini adalah salah satu kebiasaan nabi Muhammad Saw. Sebelum ia menerima wahyu.
Pada waktu itu kebiasaan nabi adalah berkontemplasi di Gua Hira.
Masih menurut al-Buthi, fungsi laku khumul
adalah pertama, untuk mematangkan diri baik secara intelektual, spiritual
dan emosional. Kedua, ia sebagai salah satu cara untuk menyucikan jiwa (tazkiyah
al-nafs).
Nah Kiai Dhofir menempuh cara ini, ia menepi
dari aktivitas selain mengajar para santri. Oleh mertuanya, Kiai As’ad, ia
dipasrahi untuk mengajar kitab dan tidak diperkenankan mengurusi yang lain.
Bahkan ketika perhelatan Munas NU 1983 dan Muktamar 1984, Kiai Dhofir oleh Kiai
As’ad dilarang hadir dalam forum bahtsul masa’il. Kiai As’ad berkata
dengan bahasa Madura, “Mon bedhe Syekh Dhofir, kebey apa mabede bahtsul
masai’il?”, terjemahnya, “Kalau ada Syekh Dhofir, buat apa masih
melaksanakan bahtsul masail?”
Pernyataan Kiai As’ad di atas menyiratkan
bahwa Kiai Dhofir memiliki kapasitas keilmuan yang luar biasa, sehingga untuk
memecahkan sebuah masalah tak perlu repot-repot mengadakan bahtsul masai’l.
Cukup ditangani oleh seorang Syekh Dhofir. Makna lainnya adalah Kiai As’ad
sedang memosisikan agar Kiai Dhofir tetap di jalan khumul, yaitu tidak mencari
popularitas dengan beradu dalil dalam forum Bahtsul Masail.
Kiai As’ad memang lebih sering menyebut nama
menantunya itu dengan sebutan “syekh” daripada “Kiai”. Panggilan syekh ini
tidak bermakna beliau orang Arab, alih-alih orang Arab, selama menempuh
pendidikan, beliau pun tak pernah mencarinya di tanah Arab. Panggilan syekh
lebih kepada “pengakuan” Kiai As’ad kepada keilmuan sang menantu. Dan faktanya,
dalam beberapa kesempatan, beliau memang mengakui bahwa secara keilmuan Syekh
Dhofir lebih alim ketimbang dirinya.
Secara nasab, Syekh Dhofir masih kerabat Kiai
As’ad sendiri. Karena secara silsilah nasab keduanya bertemu di Kiai Ruham.
Kiai As’ad ibn Kiai Syamsul Arifin ibn Kiai Ruham. Sementara Kiai Dhofir ibn
Kiai Munawwar ibn Kiai Ruham. Dengan demikian, berarti Syekh Dhofir masih
sepupu Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Lahir dari keluarga pesantren, Kiai Dhofir
belajar dasar-dasar agama dari orang tuanya. Setelah dirasa cukup, beliau
belajar di Pesantren an-Nuqayyah Guluk-guluk Sumenep di bawah asuhan Kiai
Abdullah Sajjad. Di pesantren ini beliau mendalami ilmu gramatika bahasa Arab
(nahwu-sharaf). Kitab-kitab nahwu dari marhalah ula hingga marhala
ulya, beliau libas tuntas di pesantren yang didirikan oleh Kiai Syarqawi
ini.
Nahwu-sharaf menjadi sangat penting dalam
membentuk intelektual seseorang. Sebab dengan ilmu itulah ia bisa terkoneksi
dengan khazanah islam yang mayoritas berbahasa arab. Menjadi repot kiranya ada
seorang mengaku ustaz atau kiai masih bermasalah di ilmu alat dasar, misalnya
ia tidak bisa membedakan mashdar dan isim mashdar? apakah lafadz kafara
apakah ikut wazan tsulasi mujarrad atau mazid?
Maka memahami nahwu-sharaf adalah langkah
pertama dalam karir intelektual seseorang. Syekh Syarafuddin ibn Yahya,
Pengarang Nazam Imrithi, pernah berkata:
النحو
اولى اولا ان يعلما # اذ الكلام دونه لن يفهما
Nahwu adalah ilmu yang harus pertama
kali dipelajari
Karena tanpanya perkataan tak dapat
dipahami
Selepas dari an-Nuqayyah, Syekh Dhofir
melanjutkan pengembaraan keilmuannya ke pesantren tua yang amat kesohor,
Pesantren Sidogiri. Di pesantren inilah ia mulai menyusun, mematangkan dan
terus memberi beberapa counter discourse, pandangan ulang terhadap
beberapa ilmu yang dipelajari. Jadilah Syekh Dhofir seorang yang alim, mutabahhir,
menguasasi beberapa jenis keilmuan seperti fikih, usul fikih, tafsir, hadits
tasawuf dan beberapa ilmu yang lain.
Dengan karir akademik yang cemerlang inilah,
konon Syekh Dhofir diamanati untuk menjadi “lurah pondok” Pesantren
Sidogiri. Setelah dari Sidogiri kemudian ayahanda dari Kiai Ahmad Azaim
Ibrahimy ini melanjutkan pendidikan ke Pesantren Lasem di bawah asuhan Kiai
Maksum. Di Lasem beliau tidak lama, karena di sana tujuannya adalah tabarrukan,
yaitu mondok dalam durasi sebentar yang tujuan utamanya adalah mengharap
berkah.
Setelah matang secara keilmuan dan namanya
cukup popular, Kiai Dhofir menjadi primadona para kiai. Tidak sedikit dari
mereka bertujuan untuk menjadikannya sebagai menantu. Konon, beliau dulu
diperebutkan tiga pesantren, salah satunya adalah pesantren Salafiyah
Syafi’iyah Sukorejo.
Kiai As’ad dengan “strategi” ulungnya bisa
menarik Syekh Dhofir muda ke pangkuan pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo,
yaitu dengan dengan cara dinikahkan dengan putri pertamanya, Nyai Hj Zainiyah
As’ad. Dari pernikahan ini, beliau dikarunia empat buah hati. Nyai Qurratul
Faizah, Nyai Umi Hani’, Nyai Uswatun Hasanah dan Kiai Ahmad Azaim Ibrahimy,
pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah saat ini.
Keren bukan ada santri menjadi rebutan untuk
dijadikan menantu kiai?
Kehadiran Syekh Dhofir benar-benar membawa
iklim yang segar bagi Pesantren Sukorejo. Sejak masa Syekh Dhofir inilah
kitab-kitab yang dibaca tidak hanya kitab dasar seperti al-Jurumiyah,
Kailani, Safinah dan lain-lain. Tetapi nama-nama kitab besar, marhalah
ulya seperti Iqna’ ala halli alfadz al-Syuja’, Fath al-Wahhab, Tafsir
Jalalain dan nama kitab yang lain.
Tidak berhenti di situ, model pembacaan dan
penerjemahan kitab yang awalnya menggunakan bahasa madura berubah menjadi
bahasa Indonesia. dari eksklusif menjadi inklusif. Dan sampai saat ini di
Pesantren Sukorejo cara menerjemahkan kitab kuning menggunakan bahasa
Indonesia.
Dahulu pesantren Sukorejo dikenal dengan
pesantren perjuangan. Banyak orang menjadikan Sukorejo sebagai tempat
persembunyian. Oleh Belanda Sukorejo disebut dengan “daerah suci” yang tak
boleh diganggu.
Maka Sukorejo menjadi tempat yang aman untuk
bersembunyi. Bukan hanya itu, Sukorejo menjadi tempat untuk mencari dan melatih
kekebalan. Namun, semenjak kedatangan Syekh Dhofir inilah lambat laun citra
sebagai pesantren keilmuan juga disematkan kepada Sukorejo.
Tidak hanya melakukan terobosan dalam aspek
keilmuan, Syaikh Dhofir juga melakukan terobosan administrasi. Sejak masa
beliaulah, para guru mendapatkan honorarium. Sebelum itu, para guru mendapat
upah dengan menerima sarung dan makan di dapur pesantren. Bahkan
lembaga-lembaga formal seperti SD, SMP dan SMA konon juga idenya bersumber dari
beliau.
Kepada Syekh Dhofir saya mempunyai hubungan
langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung, beliau adalah sanad
keilmuan saya, karena seluruh guru saya pernah berguru dan menyambungkan
koneksi keilmuan kepada beliau. Terlebih Syekh Dhofir menjadi salah satu
“arsitek intelektual” yang memiliki jasa besar dalam membentuk “bangunan” keilmuan
KH Afifuddin Muhajir, guru saya saat ini.
Secara langsung saya memiliki hubungan dengan
Syekh Dhofir karena sampai saat ini saya membaca doa (bahasa lainnya amalan)
yang salah satu tawassulnya adalah beliau. Konon, manfaat dari doa ini adalah
bisa menambah kecerdasan dan menguatkan hafalan.
Aspek lain yang membuat Syekh Dhofir begitu
melekat dalam benak saya adalah soal satu pengetahuan yang saya dapat dari
beliau, keterangan ini tidak saya jumpai dalam berbagai literatur keislaman.
Keterangan yang dimaksud adalah bahwa apabila dalam karya-karya Syekh Nawawi
al-Bantani ditemukan redaksi “wazadahu al-Syarqawi” “dan menambah siapa
al-Syarqawi” maka dimaksud adalah Kiai Syarqawi Guluk-guluk Sumenep bukan Syekh
Ahmad Ibn Ibrahim Ibn Abdullah al-Syarqawi, ulama asal mesir yang umumnya
dikutip dalam kitab-kitab fikih abad pertengahan. Ilmu ini saya terima dari Dr.
Abdul Moqsith Ghazali, beliau dari abahnya, KH Ghazali Ahmadi, beliau dari
Syekh Dhofir Munawwar.
Setelah diteliti kisahnya begini; Syekh Nawawi
al-Bantani adalah ulama asli Indonesia yang ada di Mekkah, ia tumbuh dan
belajar di sana sampai menjadi ulama terkenal yang memiliki banyak karya.
Saking tingginya nilai keulamaan ulama asal Banten ia dianugerahi gelar sayyid
ulama al-Hijaz.
Nah, semasa di Mekkah Syekh Nawawi ini satu
angkatan dengan Kiai Syarqawi. Ketika Syekh Nawawi menulis kitab dan kemudian
dibaca oleh sahabatnya, Kiai Syarqawi, beliau biasanya memberi catatan tambahan
dalam karya Syaikh Nawawi itu. Maka oleh Syekh Nawawi diberi keterangan,
“Wazadahu al-Syarqawi, dan menambah siapa sahabat saya, Kiai Syarqawi.
Sekadar selingan, di samping nama Syaikh
Nawawi dalam literatur mazhab syafi’iyah ada juga yang bernama Imam al-Nawawi.
Beliau adalah ulama kenamaan mazhab Syafi’iyah yang berasal dari Damaskus
Suriah (Syam), penulis beberapa kitab, seperti al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab,
Minhaj al-Thalibin, Raudhah al-Thalibin, Riyadl al-Shalihin, Hadis Arbain dan
lain sebagainya. Jadi ada Nawawi dalam negeri, ada Nawawi luar negeri.
Yang dimaksud pertama adalah Syekh Nawawi al-Bantani sedangkan nama kedua
adalah Imam al-Nawawi al-Damasyqi, keduanya berbeda.
Syekh Dhofir Munawar mengabdikan seluruh jiwa
dan raganya kepada ilmu dan peradaban. Denyut nadinya adalah pendidikan dan
keilmuan. Setiap hari kebiasaannya adalah membacakan kitab di hadapan para
santri. Ketika bulan ramadhan, beliau istikamah mengisi khataman Tafsir
Jalalain. Dari jam 08. 00 WIB hingga waktu asar.
Pada dini hari Ramadan tanggal 10 tahun 1405
atas 30 Mei 1985, setelah satu tahun Muktamar NU ke 27, Syekh Dhofir
menghembuskan nafas terakhirnya. Meninggalkan seluruh santri, alumni dan
seluruh pecintanya. Semua orang merasakan kehilangan dengan sosok yang jasanya
begitu besar utamanya bidang keilmuan di Pesantren Sukorejo ini, tak terkecuali
Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Konon beliau meneteskan air mata dan
mengatakan bahwa separuh ilmunya pergi bersamaan dengan kepergian Syekh Dhofir.
Syekh Dhofir Wafat dan pergi namun ide-ide dan pengetahuan yang ia salurkan
kepada para santri terus direproduksi kembali. []
Ahmad Husain Fahasbu, santri Pesantren
Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar