Selasa, 13 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Hukum Jual Belinya Anak Kecil


Hukum Jual Belinya Anak Kecil

Salah satu syarat jual beli adalah bahwa jual beli harus dilakukan oleh ahlinya. Syekh Taqiyuddin Al-Hushny dalam kitab Kifayatul Akhyar menyebutkan:

ويشترط مع هذا أهلية البائع والمشتري فلا يصح بيع الصبي والمجنون والسفيه

Artinya: “Disyaratkan dalam jual beli sifat ahlinya penjual dan pembeli. Tidak sah jual belinya anak kecil, orang gila, dan orang bodoh (safiih).” (Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi Hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/239).

Jika menilik dhahir teks di atas, maka salah satu syarat sah-nya jual beli adalah apabila tidak dilakukan oleh anak kecil (shabî), yang mafhumnya berarti harus dilakukan oleh orang dewasa (baligh), berakal, cakap (rasyid) dan bukan orang yang dipaksa (mukrah). Empat kriteria terakhir ini selanjutnya dibahasakan sebagai syarat mutlak pengelolaan harta (mutlaqu al-tasharuf). 

Masalahnya adalah, di masyarakat kita, Indonesia umumnya, kita banyak melihat anak kecil yang belum mencapai usia dewasa sudah dilatih oleh orang tuanya untuk berbelanja. Bahkan, tidak hanya itu. Jika kita pergi ke terminal bus di Surabaya misalnya, kita akan melihat banyak anak kecil yang berprofesi sebagai pedagang asongan. Ada juga yang berprofesi sebagai pengamen, tukang semir sepatu, atau bahkan sekadar membantu orang tua menjadi penjaga toko. Sebagai profesi, tentu mereka akan sedikit banyak menerima sekadar persen upah dari konsumen yang membeli dagangannya. Bagi yang menjaga toko, terkadang mereka harus melayani orang yang membeli dengan jumlah yang banyak. Kemampuan menghitungnya tidak kalah dengan orang dewasa. Bahkan, berbekal kalkulator, ia bisa menghitung dagangan yang laku hari itu dengan mudah. Ini menunjukkan bahwa dari segi kecakapan, mereka sudah memenuhi syarat. 

Sebagian lagi, ada anak kecil yang diserahi orang tuanya untuk membeli barang dagangan yang remeh, misalnya hanya jajanan sekolah yang seharga Rp1000 sampai dengan Rp5.000. Apakah muamalah mereka ini bisa diputus sebagai tidak sah? Jika diputus sebagai tidak sah, maka bagaimana nasib kantin sekolah di sekolah-sekolah dasar, raudlatul athfal, dan sejenisnya yang melayani konsumen mereka yang terdiri dari anak kecil? Fakta inilah yang kemudian mengundang perdebatan di kalangan ulama’ dewasa ini. 

Sebenarnya ada beberapa peluang alasan fiqih yang bisa dijadikan dasar pedoman keabsahan transaksinya anak kecil sebagaimana dimaksud dalam fakta kejadian di atas. 

1. Yang melakukan transaksi adalah anak yang kadang sudah memasuki usia tamyiz, berakal, cakap, namun belum baligh. Maksud dari tamyiz adalah anak yang sudah bisa membedakan baik dan buruk apa yang dilakukan terhadap dirinya. 

2. Barang yang dibeli oleh anak kecil adalah barang yang memiliki nilai rendah (remeh), serta tidak mengandung mudarat. Bila mengandung mudarat, orang tua biasanya terlibat dalam mengawasi penggunaannya. 

3. Fakta belanjanya anak kecil sudah berlaku umum di masyarakat.

4. Fakta belanjanya anak kecil kadang merupakan wujud orang tua dalam mendidik anaknya agar mengenal uang.

5. Adanya anak disuruh melakukan profesi tertentu adakalanya dengan tujuan membantu nafkah orang tua yang dalam kondisi pas-pasan. 

6. Orang tua tetap berada sebagai wali yang senantiasa mengawasi apa yang dibeli oleh anaknya.

Keenam alasan ini selanjutnya dijadikan dasar landasan hukum akan bolehnya transaksi jual-beli yang melibatkan anak kecil tersebut. Dalam Kifâyatul Akhyâr 1/240, Syekh Taqiyuddin al-Hushny menyatakan:

قلت ومما عمت به البلوى بعثان الصغائر لشراء الحوائج واطردت فيه العادة فى سائر البلاد وقد تدعو الضرورة الى ذلك فينبغى الحاق ذلك بالمعاطة اذا كان الحكم دائر مع العرف مع ان المعتبر فى ذلك التراضى ليخرج بالصيغة عن اكل مال الغير بالباطل فانها دلة على الرضا فاذا وجد المعنى الذى اشترطت الصيغة لاجله فينبغي ان يكون هو المعتمد بشرط ان يكون الماخوذ بعدل الثمن اهـ

Artinya: “Aku berkata: Termasuk dari fakta kejadian umum (balwa) yang berlaku di masyarakat adalah disuruhnya anak kecil untuk membeli beberapa kebutuhan. Adat ini sudah berlaku di semua negara dan seperti sudah berjalan pasti karena kebutuhan (dlarurat). Oleh karenanya, sepatutnya dalam menyikapi hal ini perlu menyamakan hukum masalah ini dengan jual beli mu’athah. Hal ini ditengarai ketika ada indikasi bahwa hukum berjalan beriringan dengan adat kebiasaan setempat yang mana hal yang diarusutamakan adalah unsur saling ridha dalam jual beli. (Mengapa demikian?) Agar supaya keharusan jual beli disertai dengan shighat menjadi terkecualikan dari alasan memakan harta orang lain dengan jalan bathil. Karena sesungguhnya inti dari shighat adalah menunjukkan keridhaan. Sehingga, jika sudah ditemukan maksud dari disyaratkannya shighat karenanya (yakni: saling ridha), maka alangkah baiknya jika pendapat yang paling ditekankan adalah maksud (mencari ridha itu), dengan catatan: jika barang yang diambil anak kecil adalah sebanding dengan harganya.”

Kesimpulan dari pernyataan Syekh Taqiyuddin di atas, adalah memberi kelonggaran dengan menyamakan jual belinya anak (shabî) dengan jual beli mu'athah (yaitu: jual beli tanpa ijab kabul). Syaratnya adalah bila terbit rasa ridha, dan tidak ada unsur saling mendhalimi. Contoh saling mendhalimi adalah harga barang yang dibeli tidak sesuai dengan uang yang diserahkan. Harga jajannya Rp2.000, namun uang yang diserahkan sebesar Rp20.000, dan penjual yang tahu tidak mengasihkan kembaliannya. Ini namanya ada unsur menzalimi. 

Terhadap syarat barang yang dibeli oleh anak kecil, di dalam kitab Bughyatu al-Mustarsyidin: 124, dijelaskan:

نقل أبو فضل في شرح القواعد عن الجوزي الإجماع على جواز إرسال الصبي لقضاء الحوائج الحقيرة وشرائها ونقل في المجموع صحة بيعه وشرائه الشيء اليسير عن أحمد وإسحاق بغير إذن وليه وبإذنه حتى في الكثير عنهما، وعن الثوري وأبي حنيفة، وعنه رواية ولو بغير إذنه

Artinya: “Abu Fadlal telah menukil dalam kitab Syarah al-Qawa’id, dari Al-Jauzy: Ijma’ ulama menyatakan bolehnya mengutus anak kecil (shabî) untuk memenuhi beberapa kebutuhan dan membeli perkara yang remeh. Abu Fadlal juga menukil dari Kitab al Majmu’ tentang sah jual belinya anak kecil, termasuk membeli sesuatu dengan jumlah sedikit. Imam Ahmad dan Ishaq menambahi: baik tanpa seidzin wali maupun dengan idzinnya sehingga banyak jumlahnya. Dinukil dari Al-Tsaury dan Abu Hanifah ada sebuah riwayat: meskipun tanpa seizin wali” (Lihat: Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Ba’alawy, Bughyatu al-Mustarsyidin, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt: 124)

Dalam nukilan di atas, syarat yang harus dipenuhi agar muamalah anak kecil berlangsung sah, adalah bila barang yang dibeli adalah bersifat remeh, seperti jajanan dan makanan ringan dan jumlahnya sedikit. Untuk yang berjumlah sedikit ini, semua ulama’ madzhab menyatakan kebolehannya. Hanya dari Imam Ahmad yang menyatakan meskipun sampai banyak nominalnya. 

Dengan demikian, mengacu pada pendapat-pendapat di atas, maka hukum jual belinya anak kecil adalah sah untuk barang–barang yang umumnya bersifat remeh (al-haqîr) dan tidak mahal. Apalagi hal seperti ini sudah berlaku umum di masyarakat dan bahkan dijadikan alasan mendidik oleh orang tuanya. Hukumnya disamakan dengan jual beli mu’athah, yaitu jual beli saling mengulurkan sesuatu tanpa shighat ijab qabul. Kelonggaran hukum ini sudah pasti harus disertai catatan bahwa: wajib bagi orang tua bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan dan pendampingan. Misalnya: mengawasi unsur manfaat dan tidaknya barang yang dibeli oleh si anak, mengawasi segi mudlarat dan tidaknya barang yang dibeli, baik terhadap anak itu sendiri, bahkan terhadap sesama. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar