Hukum Jual Belinya Anak
Kecil
Salah satu syarat jual beli adalah bahwa jual
beli harus dilakukan oleh ahlinya. Syekh Taqiyuddin Al-Hushny dalam kitab
Kifayatul Akhyar menyebutkan:
ويشترط
مع هذا أهلية البائع والمشتري فلا يصح بيع الصبي والمجنون والسفيه
Artinya: “Disyaratkan dalam jual beli sifat
ahlinya penjual dan pembeli. Tidak sah jual belinya anak kecil, orang gila, dan
orang bodoh (safiih).” (Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny,
Kifâyatu al-Akhyar fi Hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993:
1/239).
Jika menilik dhahir teks di atas, maka salah
satu syarat sah-nya jual beli adalah apabila tidak dilakukan oleh anak kecil
(shabî), yang mafhumnya berarti harus dilakukan oleh orang dewasa (baligh),
berakal, cakap (rasyid) dan bukan orang yang dipaksa (mukrah). Empat kriteria
terakhir ini selanjutnya dibahasakan sebagai syarat mutlak pengelolaan harta
(mutlaqu al-tasharuf).
Masalahnya adalah, di masyarakat kita,
Indonesia umumnya, kita banyak melihat anak kecil yang belum mencapai usia
dewasa sudah dilatih oleh orang tuanya untuk berbelanja. Bahkan, tidak hanya
itu. Jika kita pergi ke terminal bus di Surabaya misalnya, kita akan melihat
banyak anak kecil yang berprofesi sebagai pedagang asongan. Ada juga yang
berprofesi sebagai pengamen, tukang semir sepatu, atau bahkan sekadar membantu
orang tua menjadi penjaga toko. Sebagai profesi, tentu mereka akan sedikit banyak
menerima sekadar persen upah dari konsumen yang membeli dagangannya. Bagi yang
menjaga toko, terkadang mereka harus melayani orang yang membeli dengan jumlah
yang banyak. Kemampuan menghitungnya tidak kalah dengan orang dewasa. Bahkan,
berbekal kalkulator, ia bisa menghitung dagangan yang laku hari itu dengan
mudah. Ini menunjukkan bahwa dari segi kecakapan, mereka sudah memenuhi
syarat.
Sebagian lagi, ada anak kecil yang diserahi
orang tuanya untuk membeli barang dagangan yang remeh, misalnya hanya jajanan
sekolah yang seharga Rp1000 sampai dengan Rp5.000. Apakah muamalah mereka ini
bisa diputus sebagai tidak sah? Jika diputus sebagai tidak sah, maka bagaimana
nasib kantin sekolah di sekolah-sekolah dasar, raudlatul athfal, dan sejenisnya
yang melayani konsumen mereka yang terdiri dari anak kecil? Fakta inilah yang
kemudian mengundang perdebatan di kalangan ulama’ dewasa ini.
Sebenarnya ada beberapa peluang alasan fiqih
yang bisa dijadikan dasar pedoman keabsahan transaksinya anak kecil sebagaimana
dimaksud dalam fakta kejadian di atas.
1. Yang melakukan transaksi adalah anak yang
kadang sudah memasuki usia tamyiz, berakal, cakap, namun belum baligh. Maksud
dari tamyiz adalah anak yang sudah bisa membedakan baik dan buruk apa yang
dilakukan terhadap dirinya.
2. Barang yang dibeli oleh anak kecil adalah
barang yang memiliki nilai rendah (remeh), serta tidak mengandung mudarat. Bila
mengandung mudarat, orang tua biasanya terlibat dalam mengawasi
penggunaannya.
3. Fakta belanjanya anak kecil sudah berlaku
umum di masyarakat.
4. Fakta belanjanya anak kecil kadang
merupakan wujud orang tua dalam mendidik anaknya agar mengenal uang.
5. Adanya anak disuruh melakukan profesi
tertentu adakalanya dengan tujuan membantu nafkah orang tua yang dalam kondisi
pas-pasan.
6. Orang tua tetap berada sebagai wali yang
senantiasa mengawasi apa yang dibeli oleh anaknya.
Keenam alasan ini selanjutnya dijadikan dasar
landasan hukum akan bolehnya transaksi jual-beli yang melibatkan anak kecil
tersebut. Dalam Kifâyatul Akhyâr 1/240, Syekh Taqiyuddin al-Hushny menyatakan:
قلت
ومما عمت به البلوى بعثان الصغائر لشراء الحوائج واطردت فيه العادة فى سائر البلاد
وقد تدعو الضرورة الى ذلك فينبغى الحاق ذلك بالمعاطة اذا كان الحكم دائر مع العرف
مع ان المعتبر فى ذلك التراضى ليخرج بالصيغة عن اكل مال الغير بالباطل فانها دلة
على الرضا فاذا وجد المعنى الذى اشترطت الصيغة لاجله فينبغي ان يكون هو المعتمد
بشرط ان يكون الماخوذ بعدل الثمن اهـ
Artinya: “Aku berkata: Termasuk dari fakta
kejadian umum (balwa) yang berlaku di masyarakat adalah disuruhnya anak kecil
untuk membeli beberapa kebutuhan. Adat ini sudah berlaku di semua negara dan
seperti sudah berjalan pasti karena kebutuhan (dlarurat). Oleh karenanya,
sepatutnya dalam menyikapi hal ini perlu menyamakan hukum masalah ini dengan
jual beli mu’athah. Hal ini ditengarai ketika ada indikasi bahwa hukum berjalan
beriringan dengan adat kebiasaan setempat yang mana hal yang diarusutamakan
adalah unsur saling ridha dalam jual beli. (Mengapa demikian?) Agar supaya
keharusan jual beli disertai dengan shighat menjadi terkecualikan dari alasan
memakan harta orang lain dengan jalan bathil. Karena sesungguhnya inti dari
shighat adalah menunjukkan keridhaan. Sehingga, jika sudah ditemukan maksud
dari disyaratkannya shighat karenanya (yakni: saling ridha), maka alangkah
baiknya jika pendapat yang paling ditekankan adalah maksud (mencari ridha itu),
dengan catatan: jika barang yang diambil anak kecil adalah sebanding dengan
harganya.”
Kesimpulan dari pernyataan Syekh Taqiyuddin
di atas, adalah memberi kelonggaran dengan menyamakan jual belinya anak (shabî)
dengan jual beli mu'athah (yaitu: jual beli tanpa ijab kabul). Syaratnya adalah
bila terbit rasa ridha, dan tidak ada unsur saling mendhalimi. Contoh saling
mendhalimi adalah harga barang yang dibeli tidak sesuai dengan uang yang
diserahkan. Harga jajannya Rp2.000, namun uang yang diserahkan sebesar
Rp20.000, dan penjual yang tahu tidak mengasihkan kembaliannya. Ini namanya ada
unsur menzalimi.
Terhadap syarat barang yang dibeli oleh anak
kecil, di dalam kitab Bughyatu al-Mustarsyidin: 124, dijelaskan:
نقل
أبو فضل في شرح القواعد عن الجوزي الإجماع على جواز إرسال الصبي لقضاء الحوائج
الحقيرة وشرائها ونقل في المجموع صحة بيعه وشرائه الشيء اليسير عن أحمد وإسحاق
بغير إذن وليه وبإذنه حتى في الكثير عنهما، وعن الثوري وأبي حنيفة، وعنه رواية ولو
بغير إذنه
Artinya: “Abu Fadlal telah menukil dalam
kitab Syarah al-Qawa’id, dari Al-Jauzy: Ijma’ ulama menyatakan bolehnya
mengutus anak kecil (shabî) untuk memenuhi beberapa kebutuhan dan membeli
perkara yang remeh. Abu Fadlal juga menukil dari Kitab al Majmu’ tentang sah
jual belinya anak kecil, termasuk membeli sesuatu dengan jumlah sedikit. Imam
Ahmad dan Ishaq menambahi: baik tanpa seidzin wali maupun dengan idzinnya
sehingga banyak jumlahnya. Dinukil dari Al-Tsaury dan Abu Hanifah ada sebuah
riwayat: meskipun tanpa seizin wali” (Lihat: Sayyid Abdurrahman bin Muhammad
al-Ba’alawy, Bughyatu al-Mustarsyidin, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt: 124)
Dalam nukilan di atas, syarat yang harus
dipenuhi agar muamalah anak kecil berlangsung sah, adalah bila barang yang
dibeli adalah bersifat remeh, seperti jajanan dan makanan ringan dan jumlahnya
sedikit. Untuk yang berjumlah sedikit ini, semua ulama’ madzhab menyatakan
kebolehannya. Hanya dari Imam Ahmad yang menyatakan meskipun sampai banyak
nominalnya.
Dengan demikian, mengacu pada
pendapat-pendapat di atas, maka hukum jual belinya anak kecil adalah sah untuk barang–barang
yang umumnya bersifat remeh (al-haqîr) dan tidak mahal. Apalagi hal seperti ini
sudah berlaku umum di masyarakat dan bahkan dijadikan alasan mendidik oleh
orang tuanya. Hukumnya disamakan dengan jual beli mu’athah, yaitu jual beli
saling mengulurkan sesuatu tanpa shighat ijab qabul. Kelonggaran hukum ini
sudah pasti harus disertai catatan bahwa: wajib bagi orang tua bertanggung
jawab dalam melakukan pengawasan dan pendampingan. Misalnya: mengawasi unsur
manfaat dan tidaknya barang yang dibeli oleh si anak, mengawasi segi mudlarat
dan tidaknya barang yang dibeli, baik terhadap anak itu sendiri, bahkan
terhadap sesama. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar