SEJARAH SD TA’MIRUL ISLAM SURAKARTA (3)
Sekolah Asasut Ta’mir, Mendidik di Zaman
Pergerakan
Seperti yang telah dipaparkan pada tulisan
sebelumnya, tentang sejarah awal berdirinya sekolah di lingkup Kampung
Tegalsari, Kelurahan Bumi, Laweyan, Kota Surakarta, pada tahun 1928 berdiri
sebuah sekolah (dasar) partikelir atau swasta yang bernama Mardi Busono. Sekolah
ini dipimpin oleh Prof Kiai Raden Haji Mohammad Adnan atau biasa dipanggil Den
Kaji Ngadnan, dibantu beberapa orang lainnya.
Den Kaji Ngadnan yang kelak menjadi Rektor
pertama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (kini namanya menjadi UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, red), waktu itu mendapatkan izin dari Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda untuk mendirikan sekolah sekaligus diberikan izin mengajar.
Sebagai catatan, pada era itu, tidak semua
pihak dapat mendirikan sekolah tanpa terlebih dahulu mendapat izin dari
pemerintah. Belanda yang menjajah bangsa Indonesia khawatir akan banyaknya
sekolah-sekolah partikelir yang berdiri. Mereka khawatir dengan adanya hal
tersebut, bangsa Indonesia menjadi lebih terdidik, serta dapat membuka jalan
untuk tumbuhnya semangat nasionalisme pada masyarakat pribumi.
Hal ini pula, yang kemudian pada tahun 1932
pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ordonasi yang dikenal dengan sebutan
“ordonasi sekolah liar” (Wilden Scholen Ordonatie). Keputusan tersebut
mewajibkan setiap guru untuk meminta izin melapor agar pemerintah mengetahui
apa yang diajarkan pada sekolah tersebut.
Pemerintah juga mempunyai kewenangan untuk
menutup secara langsung sekolah partikelir yang dianggap menyalahi aturan dan
dianggap membahayakan ketertiban umum, dalam arti mengancam eksistensi
kedudukan pemerintah kolonial.
Sesepuh Masjid Tegalsari, H. Ahmaduhidjan,
mengungkapkan setelah berdirinya sekolah Mardi Busono, Kiai Adnan bahkan juga
dipercaya untuk memberikan “sertifikat layak mengajar”.
“Akhirnya banyak dari daerah luar yang datang
ke Tegalsari untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Tidak hanya itu, bahkan
mereka juga menamakan sekolah mereka, dengan nama yang sama, yaitu Mardi
Busono,” terang Mbah Ahmadu. Di Solo sendiri terdapat dua sekolah yang bernama
Mardi Busono, yakni di Tegalsari dan Keprabon.
Berganti Nama
Mardi Busono kemudian berganti nama menjadi
Al-Madrasah Al-Islamiyah Asasut Ta’mir (اساس التّعمير) Tegalsari. Belum diketahui alasan mengapa
dan sejak kapan awal mula pergantian nama ini. Akan tetapi, dari beberapa
literatur sejarah, serta penuturan dari saksi hidup yang pernah menjadi murid
di sekolah tersebut, diperkirakan nama Asasut Ta’mir sudah ada sejak zaman
1930-an. Ini artinya, sekolah Asasut Ta’mir telah melalui tiga masa pemerintahan,
yakni masa Kolonial Belanda, Jepang, dan Negara Indonesia setelah kemerdekaan.
Terkait dengan tahun keberadaan sekolah ini
dapat dibuktikan dari sebuah foto bersama beberapa guru dan murid Asasut Ta’mir
di depan tempat wudhu (tempatnya dibandingkan dengan sekarang, hampir tidak ada
perubahan, red), yang berlatar belakang papan tulis berlambang bola dunia dan
bertuliskan Asasut Ta’mir. Dari foto itu pula, tertera pada sebelah atas papan
tulis angka 1868 (tahun Jawa) dan 1937 (Masehi). Kemungkinan tahun tersebut
merupakan tahun di mana gambar atau foto tengah diambil.
Dalam foto tersebut, terlihat sebagian besar
murid Asasut Ta’mir, seperti halnya Mardi Busono, masih berasal dari wilayah
Tegalsari dan sekitarnya. Dalam keseharian, para murid perempuan memakai
kebaya, ada yang berkerudung namun sebagian tidak. Sedangkan para guru pria
berpakaian beskap, bawahan batik panjang dan meski haji, tetap mengenakan
memakai blangkon. Pakaian dinas ini mungkin agak mirip dengan yang dikenakan
para guru Mamba’ul Ulum. (Zuhri, 2013: 152-153)
Bangunan sekolah terletak di selatan masjid
(sekarang kantor guru), dan sebagian bertempat di sekitar jedhing pawudhon
(tempat wudhu) yang hanya dibatasi dengan kayu-kayu. Pada zaman pendudukan
Belanda, kelas sempat dipindah ke sebelah utara masjid, karena bangunan sekolah
digunakan sebagai markas Belanda.
Salah satu tokoh yang ikut mengelola sekolah
Asasut Ta’mir, yakni KH Mudzakkir, seorang saudagar dan dikenal pula sebagai
tokoh Islam terkemuka di Kota Solo. Kiai Mudzakkir ini juga menjadi salah satu
perintis berdirinya masjid di Tegalsari. []
Sumber:
- Wawancara Bapak H. Ahmaduhidjan, 16 Juni
2015
- Wawancara Ibu Siti Sudarmi, 2015
- Zuhri, Saifuddin, Berangkat dari Pesantren,
(LKiS, Yogyakarta, 2013)
(Ajie Najmuddin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar