Rabu, 14 Agustus 2019

Sekolah Asasut Ta’mir, Mendidik di Zaman Pergerakan


SEJARAH SD TA’MIRUL ISLAM SURAKARTA (3)
Sekolah Asasut Ta’mir, Mendidik di Zaman Pergerakan

Seperti yang telah dipaparkan pada tulisan sebelumnya, tentang sejarah awal berdirinya sekolah di lingkup Kampung Tegalsari, Kelurahan Bumi, Laweyan, Kota Surakarta, pada tahun 1928 berdiri sebuah sekolah (dasar) partikelir atau swasta yang bernama Mardi Busono. Sekolah ini dipimpin oleh Prof Kiai Raden Haji Mohammad Adnan atau biasa dipanggil Den Kaji Ngadnan, dibantu beberapa orang lainnya.

Den Kaji Ngadnan yang kelak menjadi Rektor pertama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (kini namanya menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, red), waktu itu mendapatkan izin dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk mendirikan sekolah sekaligus diberikan izin mengajar.

Sebagai catatan, pada era itu, tidak semua pihak dapat mendirikan sekolah tanpa terlebih dahulu mendapat izin dari pemerintah. Belanda yang menjajah bangsa Indonesia khawatir akan banyaknya sekolah-sekolah partikelir yang berdiri. Mereka khawatir dengan adanya hal tersebut, bangsa Indonesia menjadi lebih terdidik, serta dapat membuka jalan untuk tumbuhnya semangat nasionalisme pada masyarakat pribumi.

Hal ini pula, yang kemudian pada tahun 1932 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ordonasi yang dikenal dengan sebutan “ordonasi sekolah liar” (Wilden Scholen Ordonatie). Keputusan tersebut mewajibkan setiap guru untuk meminta izin melapor agar pemerintah mengetahui apa yang diajarkan pada sekolah tersebut.

Pemerintah juga mempunyai kewenangan untuk menutup secara langsung sekolah partikelir yang dianggap menyalahi aturan dan dianggap membahayakan ketertiban umum, dalam arti mengancam eksistensi kedudukan pemerintah kolonial.

Sesepuh Masjid Tegalsari, H. Ahmaduhidjan, mengungkapkan setelah berdirinya sekolah Mardi Busono, Kiai Adnan bahkan juga dipercaya untuk memberikan “sertifikat layak mengajar”.

“Akhirnya banyak dari daerah luar yang datang ke Tegalsari untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Tidak hanya itu, bahkan mereka juga menamakan sekolah mereka, dengan nama yang sama, yaitu Mardi Busono,” terang Mbah Ahmadu. Di Solo sendiri terdapat dua sekolah yang bernama Mardi Busono, yakni di Tegalsari dan Keprabon.

Berganti Nama

Mardi Busono kemudian berganti nama menjadi Al-Madrasah Al-Islamiyah Asasut Ta’mir (اساس التّعمير) Tegalsari. Belum diketahui alasan mengapa dan sejak kapan awal mula pergantian nama ini. Akan tetapi, dari beberapa literatur sejarah, serta penuturan dari saksi hidup yang pernah menjadi murid di sekolah tersebut, diperkirakan nama Asasut Ta’mir sudah ada sejak zaman 1930-an. Ini artinya, sekolah Asasut Ta’mir telah melalui tiga masa pemerintahan, yakni masa Kolonial Belanda, Jepang, dan Negara Indonesia setelah kemerdekaan.

Terkait dengan tahun keberadaan sekolah ini dapat dibuktikan dari sebuah foto bersama beberapa guru dan murid Asasut Ta’mir di depan tempat wudhu (tempatnya dibandingkan dengan sekarang, hampir tidak ada perubahan, red), yang berlatar belakang papan tulis berlambang bola dunia dan bertuliskan Asasut Ta’mir. Dari foto itu pula, tertera pada sebelah atas papan tulis angka 1868 (tahun Jawa) dan 1937 (Masehi). Kemungkinan tahun tersebut merupakan tahun di mana gambar atau foto tengah diambil.

Dalam foto tersebut, terlihat sebagian besar murid Asasut Ta’mir, seperti halnya Mardi Busono, masih berasal dari wilayah Tegalsari dan sekitarnya. Dalam keseharian, para murid perempuan memakai kebaya, ada yang berkerudung namun sebagian tidak. Sedangkan para guru pria berpakaian beskap, bawahan batik panjang dan meski haji, tetap mengenakan memakai blangkon. Pakaian dinas ini mungkin agak mirip dengan yang dikenakan para guru Mamba’ul Ulum. (Zuhri, 2013: 152-153)

Bangunan sekolah terletak di selatan masjid (sekarang kantor guru), dan sebagian bertempat di sekitar jedhing pawudhon (tempat wudhu) yang hanya dibatasi dengan kayu-kayu. Pada zaman pendudukan Belanda, kelas sempat dipindah ke sebelah utara masjid, karena bangunan sekolah digunakan sebagai markas Belanda.

Salah satu tokoh yang ikut mengelola sekolah Asasut Ta’mir, yakni KH Mudzakkir, seorang saudagar dan dikenal pula sebagai tokoh Islam terkemuka di Kota Solo. Kiai Mudzakkir ini juga menjadi salah satu perintis berdirinya masjid di Tegalsari. []

Sumber:
- Wawancara Bapak H. Ahmaduhidjan, 16 Juni 2015
- Wawancara Ibu Siti Sudarmi, 2015
- Zuhri, Saifuddin, Berangkat dari Pesantren, (LKiS, Yogyakarta, 2013)

(Ajie Najmuddin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar