Hukum Jual Beli Barang yang
Belum Pernah Dilihat
Dalam pembahasan sebelumnya, kita sudah
mengkaji praktik akad salam. Akad salam disebut juga dengan akad jual beli
pemesanan barang yang belum ada di tempat transaksi namun diketahui
spesifikasinya dan bisa dijamin (bai’u maushûfin fi al-dzimmah). Hukum dari
memakainya dalam praktik muamalah adalah boleh. Sementara itu jual beli barang
yang belum pernah disaksikan (‘ainun ghâib) maka hukumnya tidak boleh.
Sebagaimana keterangan dalam kitab Matan Abi Syujja’:
وبيع
شيء موصوف في الذمة فجائز وبيع عين غائبة لم تشاهد فلا يجوز
Artinya: “Jual beli barang yang bisa disifati
dalam tanggungan hukumnya boleh (jaiz). Dan jual beli barang ghaib (tidak ada
ditempat) yang belum pernah disaksikan, maka hukumnya tidak boleh.” (Lihat:
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli
Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/240)
Frasa ‘ainun ghâib pada ibarat di atas
bisa dipahami dalam dua pengertian, yaitu:
1. Barang yang hendak diperjualbelikan
benar-benar tidak ada dan belum pernah terlintas dalam benak kedua orang yang
berakad.
2. Sebenarnya barangnya ada, hanya saja
barangnya tidak ada di tempat saat akad dilangsungkan dan belum pernah
disaksikan (terlintas dalam pengalaman) sama sekali baik oleh pembeli maupun
oleh penjualnya, atau belum pernah dilihat oleh salah satu dari keduanya. Ini
nanti yang membutuhkan pembedaannya dengan bai’u maushûfin fi al-dzimmah,
atau jual beli salam.
Untuk jenis ‘ainun ghâib yang pertama,
maka sudah pasti hukumnya adalah tidak boleh. Ketidakbolehan disebabkan barangnya
yang tidak ada dan sama sekali belum terlintas gambarannya dalam kedua benak
penjual dan pembeli.
Adapun untuk jenis ‘ainun ghâib yang
kedua, maka ada dua pendapat. Dan pendapat yang paling sahih adalah tidak sah.
Pendapat ini disampaikan oleh Imam Al-Syafi’i dalam qaul qadim dan qaul
jadid-nya (pendapat lama dan pendapat baru).
Pendapat yang sama (tidak sah) juga
disampaikan oleh ketiga imam mazhab yang lain dan sejumlah sebagian ulama
Syafi’iyah, seperti al-Baghawi dan al-Ruyani. Imam Nawawi menyatakan bahwa
pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in.
Menurut Imam al Mawardi, pendapat yang disampaikan oleh Al-Syafi’i dalam qaul
qadim diambil berdasarkan nash yang statusnya dipandang lemah oleh
muhaditsin, khususnya al-Baihaqy dan Al-Daraquthny. Dasar yang paling jelas,
justru terdapat dalam qaul jadid-nya. Dalam qaul jadid, Imam
Syafii menyatakan bahwa ketidaksahan jual beli jenis barang yang kedua, adalah
disebabkan keberadaan unsur menipu (gharâr) yang kemungkinan terjadi.
Gharar bisa terjadi disebabkan ketidaktahuan terhadap barang yang
diperjualbelikan.
Masalahnya kemudian, bagaimana bila penjual
dan pembeli masing-masing sebenarnya sudah tahu contoh barang yang sejenis,
namun barangnya belum ada di tempat. Kita ambil contoh misalnya: Pak Ahmad
seorang pedagang. Secara kebetulan ia ada di Surabaya. Mengetahui ia ada di
Surabaya, Pak Anton memesan kepadanya kompor LPG dua tungku. Kebetulan Pak
Anton tinggal di Bawean. Untuk berangkat sendiri ke Surabaya, ia harus menghabiskan
uang banyak. Jika memesan ke Pak Anton, maka ia bisa hemat ongkos kapal.
Melihat deskripsi masalah seperti ini, wujud
kompor LPG dua tungku sudah diketahui sifatnya oleh Pak Ahmad juga oleh Pak
Anton. Hanya saja, kompor tersebut belum menjadi milik Pak Ahmad, karena Pak
Ahmad masih harus mencarinya. Nah, bolehkah akad seperti ini? Bagaimana bila
Pak Ahmad juga mengambil laba dari hasil pencariannya tersebut?
Untuk menghadapi kasus sebagaimana di atas,
ternyata para ulama memberikan perincian lagi terhadap maksud dari ibarat عين غائبة لمتشاهد (barang
yang tidak ada di tempat yang belum pernah disaksikan). Pemahaman kalimat
tersebut adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Taqiyuddin Al-Hushny,
sebagai berikut:
وقوله
لم تشاهد يؤخذ منه أنه إذا شوهدت ولكنها كانت وقت العقد غائبة أنه يجوز
Artinya: “Maksud dari Qaul Abi Syujja’ “belum
pernah disaksikan”, difahami sebagai “apabila barang yang dijual pernah
disaksikan, hanya saja saat akad dilaksanakan barang tersebut masih ghaib”
(tidak ada), maka hukumnya adalah boleh.”(Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin
Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr,
Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/240)
Jika mencermati pernyataan di atas, maka kita
bisa membedakannya dengan jual beli salam sebagaimana sudah kita kupas
sebelumnya, yaitu:
- Dalam akad salam, jual beli hanya dilakukan
pada barang yang sudah menjadi “milik penjual”, atau barang tersebut menjadi
milik orang lain sementara penjual berperan selaku “wakil pemilik aslinya untuk
menjualkan”.
- Sementara itu, untuk jual beli barang yang
ghaib sebagaimana yang dimaksud dalam contoh soal, barangnya saja yang belum
ada di tempat serta belum dilihat baik oleh penjual atau oleh pembeli, atau
oleh salah satu dari keduanya. Kondisi barangnya belum menjadi milik, namun
masing-masing bisa mengetahui deskripsinya.
Berdasarkan perincian ini, maka berlaku
rincian hukum. Syekh Taqiyuddin al-Hushny menjelaskan dalam ibarat berikut:
إن
كانت العين مما لا تتغير غالبا كالأواني ونحوها أو كانت لا تتغير في المدة المتخللة
بين الرؤية والشراء صح العقد لحصول العلم المقصود
Artinya: “Jika barang “‘ain ghaibah” adalah
berupa barang yang umumnya tidak mudah berubah, misalnya seperti wadah
(tembikar) dan sejenisnya, atau barang tersebut tidak mudah berubah oleh waktu
ketika mulai dilihat (oleh yang dipesani) dan dilanjutkan dengan membeli (oleh
yang memesan), maka akad (jual beli ‘ain ghaibah) tersebut adalah sah
disebabkan tercapainya pengetahuan barang yang dimaksud.”(Lihat: Taqiyuddin Abu
Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati
al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/241)
Ibarat ini menjelaskan bahwa praktik
sebagaimana dicontohkan oleh Pak Ahmad dan Pak Anton diputusi sebagai boleh
disebabkan hal:
1. Barang yang dipesan berupa barang yang tidak
mudah berubah dalam adat bentuknya
2. Barang yang dipesan terdiri atas barang
yang tidak berubah saat pertama kali dilihat oleh yang dipesani sampai dengan
saat dibeli oleh yang memesan.
Adapun untuk barang yang ada dalam kondisi
antara berubah dan tidak berubah, yakni antara waktu “barang dilihat oleh yang
dipesani” dan “barang dibeli oleh yang memesan” maka qaul yang paling shahih
menyebutnya sebagai sah akad transaksinya. Contohnya adalah pemesanan hewan.
Saat hewan dilihat oleh yang dipesani dengan saat hewan tersebut dibeli oleh
yang memesan, baik sedikit atau banyak, pasti terjadi perubahan. Terhadap kasus
seperti ini, dalam kitab yang sama, Syekh Taqiyuddin Al-Hushny
menjelaskan:
وإن
مضت مدة يحتمل أن تتغير فيها وألا تتغير أو كان حيوانا فالأصح الصحة لأن الأصل عدم
التغير
Artinya: “Jika telah lewat suatu masa yang
memungkinkan terjadinya perubahan terhadap “ain ghaibah” atau tidak terjadi
perubahan padanya, atau barang tersebut berupa hewan, maka qaul yang paling
shohih adalah sah berdasar qaidah : “Hukum asal adalah ketiadaan
berubah”.”(Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu
al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993:
1/241).
Kesimpulan akhir dari pembahasan jual beli
barang yang bersifat ghaib (tidak ada saat akad), namun masing-masing pihak
punya pengalaman tahu terhadap wujud barang yang diperjualbelikan tersebut
hukumnya adalah boleh dengan catatan: barang tersebut terdiri atas barang yang
tidak gampang berubah, baik oleh waktu maupun oleh masa, serta masing-masing
pihak (penjual dan pembeli) punya pengalaman melihat barang, atau bahkan salah
satunya saja yang memiliki pengalaman tahu.
Adapun bila barang yang diperjualbelikan
terdiri atas barang yang sama-sama belum pengalaman melihat wujud barang, dan
barang memiliki ciri dan sifat yang tidak umum berlaku sehingga tidak terlintas
dalam pengetahuan pemesan dan yang dipesani, atau wujud barang mudah berubah /
rusak akibat waktu, maka hukum jual beli ‘ain ghaibah semacam ini dihukumi
sebagai bathil. Tidak sah akadnya karena menyimpan unsur gharar. Wallahu
a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar