Status Indonesia sebagai
Negeri Islam dalam Kajian Fiqih Maliki
Setelah pernah dibahas status Indonesia
sebagai negeri Islam menurut mazhab Syafi’i dan Hanafi, muncul pertanyaan
bagaimana menurut mazhab Maliki yang juga menjadi salah satu mazhab yang diakui
eksistensinya oleh NU?
Karena itulah tulisan ini diperlukan untuk
mengeksplornya sehingga semakin memperkokoh pemahaman bahwa Indonesia adalah
negeri Islam sesuai mazhab fiqih di lingkungan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Berkaitan dengan hal itu, sangat menarik
hikayat ulama multidisipin asal kota Thabaristan, Iran sekarang, Ibnu Ja’far
At-Thabari (224-301 H/839-923 M) tentang pendapat Imam Malik (93-179 H/712-795
M) yang berkaitan dengan urgensi azan: “Bila penduduk suatu kota sengaja
meninggalkan azan, maka mereka harus mengulangi shalatnya.”
Kemudian dalam konteks ini secara lebih jauh
Abu Umar ibn Abdil Barr, salah seorang pemuka Mazhab Maliki (368-463 H/978-1071
M) menerangkan:
وَلَا
أَعْلَمُ خِلَافًا فِي وُجُوبِ الْأَذَانِ جُمْلَةً عَلَى أَهْلِ الْأَمْصَارِ،
لِأَنَّهُ مِنَ الْعَلَامَةِ الدَّالَةِ الْمُفَرِّقَةِ بَيْنَ دَارِ الْإِسْلَامِ
وَدَارِ الْكُفْرِ. كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
بَعَثَ سَرِيَةً يَقُولُ لَهُمْ: إِذَا سَمِعْتُمُ الْأذَانَ فَأَمْسِكُوا
وَكُفُّوا وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوا الْأَذَانَ فَأَغِيرُوا، أَوْ قَالَ: فَشِنُوا
الْغَارَّةَ.
Artinya, “Saya tidak mengetahui perbedaan
pendapat para ulama tentang wajibnya azan secara umum bagi penduduk kota, sebab
azan merupakan tanda yang menunjukkan dan membedakan antara negeri Islam dan
negeri kufur. Rasulullah SAW sendiri ketika mengutus suatu pasukan sering
berpesan kepada mereka: ‘Ketika kalian mendengar azan (dari tempat yang akan
kalian serang) maka tahanlah dan urungkanlah, dan bila kalian tidak
mendengarnya maka serbulah’, atau beliau bersabda: ‘Maka seranglah secara
mendadak’.” (Lihat Abu Umar Yusuf bin Abdillah bin Abdil Barr Al-Qurthubi,
Al-Istidzkar Al-Jami’ li Madzahib Fuqaha Al-Amshar, [Beirut, Darul Kutub
Al-‘Ilmiyyah: 2000 M], tahqiq: Salim Muhammad Atha dan Muhammad Ali Mu’awwad,
juz I, halaman 371-372).
Menurut pakar fiqih Maliki asal Cordova
Spanyol, azan merupakan pertanda yang membedakan bahwa suatu negeri adalah
negeri Islam atau bukan. Hal ini berdasarkan kebijakan Rasulullah SAW yang
melarang pasukannya untuk menyerang suatu negeri yang di dalamnya
dikumandangkan azan.
Dalam keterangan lain dijelaskan bahwa hadits
yang disampaikan Ibnu Abdil Barr selaras dengan hadits shahih riwayat Imam
Muslim sebagaimana penjelasan Imam Al-Qurthubi Al-Maliki (w 671 H/1273 M),
(Lihat Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an,
[Riyadh, Daru Alam Al-Kutub: 1423 H/2003 M], tahqiq: Hisyam Samir Al-Bukhari,
juz IV, halaman 225-226).
Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُغِيرُ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ، وَكَانَ يَسْتَمِعُ الأَذَانَ فَإِنْ سَمِعَ
أَذَانًا أَمْسَكَ وَإِلاَّ أَغَارَ. فَسَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ اللهُ أَكْبَرُ
اللهُ أَكْبَرُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَى
الْفِطْرَةِ. ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
خَرَجْتَ مِنَ النَّارِ.
فَنَظَرُوا
فَإِذَا هُوَ رَاعِى مِعْزًى. رواه مسلم
Artinya, “Diriwayatkan dari Anas bin Malik,
ia berkata, ‘Rasulullah SAW sering melakukan penyerangan ketika terbit fajar,
dan ia berupaya mendengarkan azan (dari tempat yang akan diserang). Bila
mendengarnya, maka beliau mengurungkannya. Bila tidak mendengarnya, maka ia
melanjutkannya. Lalu beliau mendengar seseorang mengumandangkan azan, ‘Allahu
akbar, allahu akbar.’ Rasulullah SAW lalu bersabda, ‘Orang itu menetapi Islam.’
Orang itu melanjutkan, ‘Asyhadu allā ilāha illallāh, asyhadu allā ilāha
illallāh.’ Rasulullah SAW lalu menegaskan, ‘Anda keluar dari neraka (karena
kalimat tauhid itu)’. Kemudian para sahabat melihatnya, kemudian ternyata orang
yang mengumandangkan azan itu adalah seorang penggembala kambing,” (HR Muslim).
(Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj,
[Beirut, Dar Ihya At-Turats Al-‘Arabi: 1392 H], cetakan kedua, juz IV, halaman
84).
Dari uraian ini menjadi jelas, bahwa standar
suatu negeri dinilai sebagai negeri Islam atau tidak adalah di sana
dikumandangkan azan atau tidak. Demikian kesimpulan dari penjelasan Ibn Abdil
Barr Al-Maliki.
Penjelasan serupa dapat dijumpai dalam
kitab-kitab fiqih Maliki semisal At-Taj wal Iklil karya Al-Mawaq Abu Abdillah
Al-Abdari (w. 898 H/1492 M) dan Al-Fawakih Ad-Dawani karya Ahmad bin Ghunaim
An-Nafrawi (1044-1126 H/1634-1714 M), yang di sana dijelaskan, di antara fungsi
azan adalah menunjukkan bahwa negerinya adalah negeri Islam. (Lihat Muhammad
bin Yusuf bin Abi Al-Qasim al-‘Abdari, At-Taj wal Iklil li Mukhtashar
Al-Khalil, [Beirut, Darul Fikr: 1398 H], juz I, halaman 451; dan Ahmad bin
Ghunaim bin Salim An-Nafrawi, Al-Fawakih Ad-Dawani ‘ala Risalah Ibnu Abi Zaid
Al-Qairawani, [tanpa keterangan tempat, Maktabah At-Tsaqafah Ad-Diniyyah: tanpa
keterangan tahun], tahqiq: Ridha Farahat, juz I, halaman 449).
Selain itu, penjelasan serupa juga dapat
dibaca dalam Keputusan Bahtsul Masail Konferensi Wilayah NU Jawa Timur di PP
Bumi Shalawat Lebo Sidoarjo 31 Mei-2 Juni 2013. (Tim PW LBM NU Jawa Timur, NU
Menjawab Problematika Umat: Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur 2009-2014
Jilid 2, [Surabaya, PW LBM NU Jawa Timur: 2015], editor: Ahmad Muntaha AM,
halaman 739-753).
Karena itu, mengingat standar suatu negeri
dapat disebut sebagai negeri Islam adalah adanya azan atau tidak, maka menjadi
jelas bahwa Indonesia adalah negeri yang sangat Islam, sebab azan tidak hanya
satu, bahkan bersahut-sahutan di mana-mana.
Bila demikian adanya, masihkah kita terpedaya
dengan klaim-klaim tak berdasar yang memvonis Indonesia sebagai negeri kafir
dan negeri taghut? Wallahu a’lam. []
Ahmad Muntaha AM, Sekretaris LBM NU Jawa
Timur 2018-2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar