Kisah Syekh Ibrahim bin Adham Menjadi Penjaga
Kebun Buah
Dalam kitab Tadzkirah al-Auliyâ’ tercatat
kisah menarik ketika Imam Ibrahim bin Adham menjadi penjaga kebun. Berikut
kisahnya:
نقل
أنه قال: كنت حافظا علي البستان فجاء في بعض الأيام صاحب البستان وطلب منّي الرمان
الحلو، فأتيته بالرُّمان وكان حامضا فطلب الرّمان الحلو، فأتيته طبقا آخر من
الرمان وكان حامضا، فقال مالك البستان: كم زمان أنت في هذا البستان ولا تميّز بين
حلو الرمان وحامضه؟ قلت: أنا حافظ للبستان لا آكل للرمان حتي أعرف الحامض من
الحلو. فقال صاحب البستان: مع هذا الزهد، أنت إبراهيم بن أدهم! فتركت البستان،
ومضيت
Dikisahkan, Imam Ibrahim bin Adham berkata:
“Aku pernah menjadi penjaga kebun. Suatu waktu pemilik kebun datang dan
memintaku untuk mencarikan buah delima yang masak. Aku mengambilkannya buah
delima, dan ternyata rasanya masam. Kemudian aku mencari lagi buah delima yang
masak, lalu kuberikan sekeranjang buah delima lainnya, ternyata rasanya masam
juga.”
Sang pemilik kebun berkata (kepadaku): “Kau
sudah lama menjadi penjaga kebun, tapi kau masih tak bisa membedakan mana
delima yang masak dan mana yang masam?”
Aku menjawab: “Aku ini penjaga kebun, (tugasku)
bukan memakan buah delima hingga tahu mana yang masam dan mana yang masak.”
Pemilik kebun berkata: “Dengan kezuhudan semacam ini, kau pasti Ibrahim bin
Adham.” Kemudian aku pergi meninggalkan kebun itu. (Imam Fariduddin Attar,
Tadzkirah al-Auliya’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashiliy al-Wasthani
al-Syafi’i (836 H), Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hal. 146)
****
Jangan salah memahami zuhud sebagai sinonim
dari miskin. Zuhud bukan miskin, dan seorang zahid tidak disyaratkan untuk
menjadi orang miskin. Orang kaya pun memiliki peluang yang sama dalam berzuhud.
Zuhud adalah salah satu maqam tasawuf (terminal) yang dihasilkan melalui
kontemplasi ketat, tidak serta merta muncul dengan sendirinya. Dengan kata
lain, zuhud adalah penjinak kerakusan yang berlebihan dan penggerak kepasrahan
mutlak kepada Allah. Kepasrahan yang hadir karena pilihan hidup, bukan karena
malas berbuat. Imam Ibrahim bin Adham pernah mengatakan:
إذا
أردت أن تكون في راحة فكل ما أصبت والبس ما وجدتَ وارض بما قضي الله عليك
“Jika kau ingin berada dalam kenyamanan,
makanlah apa saja yang kaudapatkan, pakailah apa saja yang kautemukan, dan
terimalah (ridha) dengan apa yang telah ditetapkan Allah atasmu.” (Imam Abdul
Wahhab al-Sya’rani, Thabaqât al-Auliyâ’, h. 14)
Kata-kata di atas bukanlah bentuk “kepasifan
berlebihan” seperti yang banyak disalah-pahami dari para sufi. Kalimat,
“makanlah apa saja yang kaudapatkan,” tidak mungkin terealisasi tanpa adanya
usaha mencari makan. Titik pentingnya terletak pada lepasnya hati dari
keterikatan keinginan yang mengharuskan. Begitu pula dengan kalimat, “terimalah
(ridha) dengan apa yang telah ditetapkan Allah,” yang sebenarnya merupakan
motivasi luar biasa dalam hidup manusia. Sebagus atau sejelek apa pun ketetapan
Allah, semuanya adalah misteri (ghaib), tidak dapat diketahui secara
terpetinci.
Jika ada orang yang bermalas-malasan dengan
alasan takdir, ia tidak termasuk orang yang menerima atau ridha akan semua
ketetapan Allah. Untuk sampai pada fase ridha (menerima), manusia harus
mengalami terlebih dahulu. Untuk mengalami, manusia harus berusaha terlebih
dahulu. Jika pun mengalami kegagalan, penerimaan akan ketetapan-Nya membuatnya
terus maju ke depan. Karena itu, keghaiban takdir harus dimaknai dengan
perspektif baik, sebab Allah berfirman dalam hadits qudsi (HR Imam al-Bukhari):
“Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku.” Inilah yang seharusnya dipahami oleh
manusia.
Dalam kisah di atas, kezuhudan Imam Ibrahim
bin Adham (w. 161 H) membuatnya menghindari makanan yang bukan haknya. Katanya,
ia ditugasi sebagai penjaga kebun, bukan pencicip buah delima, meskipun memakan
buah delima barang satu atau dua biji dalam pandangan umum dapat diwajari,
termasuk oleh pemilik kebun. Namun, Imam Ibrahim bin Adham memilih tidak
melakukannya.
Kisah di atas juga menunjukkan bahwa seorang
praktisi zuhud dapat memegang amanah dengan sangat baik. Perilaku Imam Ibrahim
bin Adham merupakan buktinya. Amanah yang ia pegang bukanlah amanah tertulis.
Pemilik kebun memperbolehkan penjaganya memakan buah delima sewajarnya. Tapi,
karena itu tidak termasuk dalam akad tugasnya, Imam Ibrahim bin Adham tidak
melakukannya.
Dalam tingkatan yang lebih rendah, zuhud
harus dipahami sebagai amal yang harus terus diasah dengan kontinuitas
riyadlah. Sebab, melihat kerangka kejiwaan manusia, hampir tidak ada manusia
yang tidak memiliki ketertarikan terhadap sesuatu. Tuhan sendiri menggambarkan
kehidupan dunia dengan kalimat (Q.S. al-An’âm: 32), “wa mâl hayâtud dunyâ illâ
la’ibun wa lahwun—kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau
belaka.” Kata “la’ibun—permainan” dan “lahwun—senda gurau” merupakan simbol
yang mewakili watak manusia yang serba tertarik akan sesuatu.
Dengan demikian, dalam level yang lebih
rendah, zuhud harus dipraktikkan sebagai amal. Karena tidak mungkin bagi semua
orang berhasil menghapus ketertarikan kepada dunia beserta isinya. Jikapun
mungkin, makna dari perjuangan melawan kerakusan diri menjadi hilang. Orang
yang hebat bukan orang yang tidak memiliki kerakusan sama sekali, tapi orang
yang bisa menjinakkannya. Begitupun sebaliknya, orang yang hebat bukan orang
yang berderma tanpa rasa berat sedikit pun, tapi orang yang meski berat, ia
tetap berderma. Sebab, dalam diri manusia terdapat perasaan yang berlawanan;
rakus-dermawan, tulus-pamrih, dan lain sebagainya. Persoalannya adalah,
perasaan mana yang lebih sering diberi makan, maka perasaan itulah yang lebih
berkuasa.
Apa yang ditampilkan Imam Ibrahim bin Adham
dalam kisah di atas adalah zuhud yang sudah mencapai level terbaiknya, sehingga
kecintaannya terhadap dunia dikalahkan oleh besarnya cinta kepada Allah. Jadi,
bukan cinta terhadap dunianya yang hilang tapi dikalahkan oleh cinta kepada
Allah yang lebih besar, sehingga ucapan Imam Yahya bin Mu’adz (w. 258 H)
tentang zuhud dapat diberlakukan di sini:
لا
يبلغ أحد حقيْقةَ الزهد حتي يكون فيه ثلاث خصال: عمل بلا علاقة، وقول بلا طمع، وعز
بلا رباسة
“Seseorang tidak akan sampai pada hakikat
zuhud hingga orang tersebut berhasil mendapatkan tiga hal: (1) amal tanpa
pamrih, (2) ucapan tanpa kepura-puraan, dan (3) kekuatan tanpa melemahkan.”
(Imam Abdul Karîm Hawazin al-Qusyairi, al-Risâlah al-Qusyairiyyah, Kairo:
Mathabi’ Muassasah Dar al-Sya’b, tt, hal. 221)
Semoga bermanfaat... []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok
Pessantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar