Membagikan Daging Kurban
dalam Bentuk Masak atau Kemasan Kornet
Sebelum adanya konsensus ulama, kurban
disyariatkan berdasarkan beberapa dalil, di antaranya firman Allah:
فَصَلِّ
لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Shalatlah (di hari raya) dan berkurbanlah,” (QS. Al-Kautsar, ayat 2).
Menurut pendapat yang paling masyhur, shalat
dalam ayat di atas ditafsiri dengan shalat hari raya, dan kata “Nahar”
ditafsiri dengan menyembelih binatang-binatang kurban.
Dan sabda Nabi:
مَا
عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ مِنْ عَمَلٍ أَحَبَّ إلَى اللهِ تَعَالَى
مِنْ إرَاقَةِ الدَّمِ، إنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا
وَأَظْلَافِهَا، وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ
يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
“Tidaklah anak cucu Adam beramal di hari
Nahar yang lebih disukai Allah dari pada mengalirkan darah (kurban).
Sesungguhnya binatang kurban datang di hari kiamat dengan tanduk-tanduk dan
kuku-kukunya. Sesungguhnya darahnya jatuh pada suatu tempat tinggi atas
ridloNya sebelum jatuh di tanah. Maka ikhlaskanlah hati kalian dalam
berkurban,” (HR. al-Tirmidzi dan al-Hakim).
Karena kurban merupakan ibadah, tentu ia
memiliki ketentuan yang harus dipenuhi dalam sudut pandang syariat, di antaranya
berkaitan dengan cara menyedekahkan dagingnya. Umumnya masyarakat membagikan
daging kurban dalam kondisi mentah, tapi tidak jarang pula yang
memberikannya dalam kondisi masak, di antaranya didistribusikan dalam bentuk
kemasan kornet, yaitu daging sapi yang diawetkan dalam air garam dan kemudian
dimasak dengan cara direbus. Bagaimana hukumnya?.
Menurut pendapat kuat dalam mazhab Syafi’i,
standar minimal daging kurban yang wajib disedekahkan adalah kadar daging yang
mencapai standar kelayakan pada umumnya, misalnya satu plastik daging. Tidak
mencukupi memberikan kadar yang remeh seperti satu atau dua suapan. Kadar
daging paling minimal tersebut wajib diberikan kepada orang fakir/ miskin,
meski hanya satu orang. Selebihnya dari standar minimal ini, mudlahhi (orang yang
berkurban) diperkenankan untuk memakannya sendiri atau diberikan kepada orang
kaya sebatas untuk dikonsumsi.
Namun yang lebih utama adalah menyedekahkan
semuanya kecuali beberapa suap yang dimakan mudlahhi
untuk tujuan tabarruk
(mengambil keberkahan). Kebolehan memakan ini berlaku untuk kurban sunnah,
sementara kurban wajib (semisal disebabkan nadzar) harus disedekahkan semuanya,
mudlahhi dan
orang-orang yang wajib ia nafkahi tidak diperbolehkan memakannya sedikitpun.
Berkaitan dengan distribusi daging kurban
dalam keadaan masak, ulama memerincinya sebagai berikut. Untuk kadar yang wajib
diberikan kepada fakir miskin (sekiranya disebut pemberian daging secara layak
menurut keumumannya), tidak diperbolehkan diberikan dalam kondisi masak, sebab
haknya fakir miskin adalah memiliki daging tersebut secara penuh, bukan hanya
mengkonsumsi. Dengan memberinya daging mentah, fakir miskin dapat leluasa
memanfaatkan daging tersebut.
Sedangkan untuk kadar daging yang melebihi
batas minimal tersebut, mudlahhi
diberi kebebasan dalam mendistribukannya, bisa dalam keadaan mentah
atau masak, baik diberikan kepada orang kaya atau miskin. Dalam titik ini,
diperbolehkan pula pendistribusian dalam bentuk kemasan kornet atau dendeng.
Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli menegaskan:
وَيَجِبُ
دَفْعُ الْقَدْرِ الْوَاجِبِ نِيئًا لَا قَدِيدًا
“Wajib memberikan kadar daging yang wajib
disedekahkan dalam bentuk mentah, bukan berupa dendeng,” (Syekh Muhammad bin
Ahmad al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 8, hal. 142).
Syekh Khathib al-Syarbini mengatakan:
(وَالْأَصَحُّ
وُجُوبُ التَّصَدُّقِ بِبَعْضِهَا) وَلَوْ جُزْءًا يَسِيرًا مِنْ لَحْمِهَا
بِحَيْثُ يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ الِاسْمُ عَلَى الْفُقَرَاءِ،
“Menurut pendapat al-Ashah (yang kuat), wajib
menyedekahkan sebagian kurban, meski bagian yang sedikit dari dagingnya,
sekiranya bisa disebut pemberian daging (yang pantas), kepada orang fakir,
meski satu orang.
وَيُشْتَرَطُ
فِي اللَّحْمِ أَنْ يَكُونَ نِيئًا لِيَتَصَرَّفَ فِيهِ مَنْ يَأْخُذُهُ بِمَا
شَاءَ مِنْ بَيْعٍ وَغَيْرِهِ كَمَا فِي الْكَفَّارَاتِ، فَلَا يَكْفِي جَعْلُهُ
طَعَامًا وَدُعَاءُ الْفُقَرَاءِ إلَيْهِ؛ لِأَنَّ حَقَّهُمْ فِي تَمَلُّكِهِ لَا
فِي أَكْلِهِ وَلَا تَمْلِيكُهُمْ لَهُ مَطْبُوخًا
“Disyaratkan
di dalam daging (yang wajib disedekahkan) harus mentah, supaya fakir/ miskin
yang mengambilnya leluasa mentasarufkan dengan menjual dan sesamanya, seperti
ketentuan dalam bab kafarat
(denda), maka tidak cukup menjadikannya masakan (matang) dan memanggil orang
fakir untuk mengambilnya, sebab hak mereka adalah memiliki daging kurban, bukan
hanya memakannya. Demikian pula tidak cukup memberikan hak milik kepada mereka
daging masak.”
(وَالْأَفْضَلُ)
التَّصَدُّقُ (بِكُلِّهَا)؛ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إلَى التَّقْوَى وَأَبْعَدُ عَنْ
حَظِّ النَّفْسِ (إلَّا) لُقْمَةً أَوْ لُقْمَتَيْنِ أَوْ (لُقَمًا يَتَبَرَّكُ
بِأَكْلِهَا) عَمَلًا بِظَاهِرِ الْقُرْآنِ، وَلِلِاتِّبَاعِ كَمَا مَرَّ
وَلِلْخُرُوجِ مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَ الْأَكْلَ
“Lebih
utama menyedekahkan semuanya, karena lebih mendekatkan kepada ketakwaan dan
menjauhkan dari kepentingan nafsu, kecuali satu, dua atau beberapa suap yang
dimakan untuk mengambil keberkahan, karena mengamalkan bunyi eksplisit Al-Qur’an
dan mengikuti Nabi seperti keterangan yang lalu, dan karena keluar dari ikhtilaf ulama yang
mewajibkan memakan,” (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 6, hal. 135).
Simpulannya, hukum mendistribusikan daging
kurban dalam bentuk masak atau sejenis kemasan kornet adalah diperbolehkan
asalkan sebagian daging kurban sudah ada yang disedekahkan kepada orang
fakir/miskin dalam bentuk mentah. Wallahu
a'lam. []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih,
Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun,
Cirebon, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar