Dahulukan Haji Pribadi atau
Membiayai Haji Orang Tua?
Berkunjung ke Tanah Suci merupakan impian
semua orang. Di haramain (dua tanah haram/mulia, Makkah dan Madinah) banyak
tempat-tempat bersejarah yang penuh dengan keberkahan. Impian mengunjunginya
tidak hanya merupakan cita-cita pribadi, tetapi juga menyertakan orang-orang
yang dicintai, semisal kedua orang tua.
Merupakan harapan kebanyakan orang bisa
membiayai haji orang tuanya. Dilema muncul ketika dana yang dimiliki hanya
cukup untuk menghajikan dirinya. Satu sisi sang anak yang belum pernah haji
masih terkena beban menjalankan rukun Islam yang kelima tersebut. Namun di sisi
yang lain, ia juga punya tekad kuat membahagiakan orang tuanya. Dalam kondisi
demikian, manakah yang lebih utama didahulukan? Mendahulukan haji pribadi atau
membiayai haji orang tua?
Dalam khazanah fiqih mazhab Syafi’i, orang
yang memiliki kemampuan fisik dan finansial, berkewajiban melaksanakan haji,
tapi ia tidak diharuskan berhaji secepatnya, boleh ia tunda di tahun-tahun
mendatang dengan syarat adanya tekad kuat untuk melaksanakannya dan tidak ada
dugaan kegagalan disebabkan suatu hal misalkan lumpuh atau kebangkrutan. Oleh karenanya,
dalam konteks ini sah-sah saja bagi sang anak untuk memilih antara mendahulukan
hajinya sendiri atau menghajikan orang tuanya, sebab tidak ada kewajiban
baginya untuk menyegerakan haji pribadi.
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menegaskan:
وَهُمَا
عَلَى التَّرَاخِي بِشَرْطِ الْعَزْمِ عَلَى الْفِعْلِ بَعْدُ وَأَنْ لَا
يَتَضَيَّقَا بِنَذْرٍ أَوْ خَوْفِ عَضْبٍ أَوْ تَلَفِ مَالٍ بِقَرِينَةٍ وَلَوْ
ضَعِيفَةً كَمَا يُفْهِمُهُ قَوْلُهُمْ لَا يَجُوزُ تَأْخِيرُ الْمُوَسَّعِ إلَّا
إنْ غَلَبَ عَلَى الظَّنِّ تَمَكُّنُهُ مِنْهُ أَوْ بِكَوْنِهِمَا قَضَاءً عَمَّا
أَفْسَدَهُ
“Haji dan umrah (kewajibannya) bisa ditunda,
dengan syarat tekad yang kuat mengerjakannya dan tidak menjadi sempit dengan
nadzar, kekhawatiran lumpuh atau rusaknya harta dengan sebuah tanda-tanda meski
lemah, sebagaimana yang dipahami dari ucapan para ulama: ‘tidak boleh
mengakhirkan kewajiban yang dilapangkan kecuali menduga kuat bisa
melakukannya’. Atau (kewajiban haji dan umrah menjadi sempit) dengan status
qadha dikarenakan ia merusaknya,” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah
al-Muhtaj Hamisy Hasyiyah al-Syarwani, Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, juz 4,
hal. 4-5).
Namun bila melihat pertimbangan keutamaan,
yang lebih baik dilakukan adalah mendahulukan hajinya sendiri, sebab
mendahulukan orang lain dalam urusan ibadah adalah makruh. Dalam sebuah kaidah
fiqih dinyatakan:
الْإِيثَارُ
فِي الْقُرْبِ مَكْرُوهٌ وَفِي غَيْرِهَا مَحْبُوبٌ
“Mendahulukan orang lain dalam ibadah adalah
makruh, dan di dalam urusan lain disunnahkan.”
Berkaitan dengan kaidah tersebut, Syekh
Izzuddin bin Abdissalam sebagaimana dikutip al-Imam al-Suyuthi mengatakan:
قَالَ
الشَّيْخُ عِزُّ الدِّينِ لَا إيثَارَ فِي الْقُرُبَاتِ، فَلَا إيثَارِ بِمَاءِ
الطَّهَارَةِ، وَلَا بِسَتْرِ الْعَوْرَةِ وَلَا بِالصَّفِّ الْأَوَّلِ ; لِأَنَّ
الْغَرَضَ بِالْعِبَادَاتِ: التَّعْظِيمُ، وَالْإِجْلَالُ. فَمَنْ آثَرَ بِهِ،
فَقَدْ تَرَكَ إجْلَالَ الْإِلَهِ وَتَعْظِيمِهِ
“Berkata Syekh Izzuddin; tidak baik
mendahulukan orang lain di dalam ibadah-ibadah, maka tidak baik mendahulukan
dalam urusan air bersuci, menutup aurat, dan shaf awal. Sebab tujuan
ibadah-ibadah adalah mengagungkan Allah. Barangsiapa mendahulukan orang lain di
dalam urusan tersebut, maka sungguh ia telah meninggalkan pengagungan kepada
Tuhan,” (al-Imam al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
hal. 180).
Pilihan untuk mendahulukan haji pribadi juga
dilakukan atas dasar menjaga perbedaan pendapat ulama yang menyatakan kewajiban
haji adalah segera, tidak boleh ditunda, bahkan ini adalah pendapat tiga imam
madzahib al-arba’ah selain Imam Syafi’i. Syekh Ibnu Quddamah menegaskan:
مَسْأَلَةٌ
قَالَ: فَمَنْ فَرَّطَ فِيهِ حَتَّى تُوُفِّيَ، أُخْرِجَ عَنْهُ مِنْ جَمِيعِ
مَالِهِ حَجَّةٌ وَعُمْرَةٌ
“Berkata sang pengarang; barangsiapa teledor
di dalam haji sampai wafat, maka dikeluarkan dari seluruh hartanya untuk
melaksanakan haji dan umrah atas nama dia.”
وَجُمْلَةُ
ذَلِكَ أَنَّ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَجُّ، وَأَمْكَنَهُ فِعْلُهُ، وَجَبَ
عَلَيْهِ عَلَى الْفَوْرِ، وَلَمْ يَجُزْ لَهُ تَأْخِيرُهُ. وَبِهَذَا قَالَ أَبُو حَنِيفَة، وَمَالِكٌ. وَقَالَ
الشَّافِعِيُّ: يَجِبُ الْحَجُّ وُجُوبًا مُوَسَّعًا، وَلَهُ تَأْخِيرُهُ
“Detail persoalan tersebut adalah bahwa
seseorang yang berkewajiban haji dan mungkin baginya untuk melaksanakan, maka
wajib baginya melakukan segera, tidak boleh mengakhirkannya. Ini juga pendapat
Abu Hanifah dan Malik. Berkata Imam al-Syafi’i; wajin haji baginya dengan
kewajiban yang dilapangkan, dan boleh mengakhirkannya,” (Syekh Ibnu Quddamah,
al-Mughni, juz 3, hal. 232).
Dalam sebuah kaidah fiqih disebutkan:
اَلْخُرُوْجُ
مِنَ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ
“Keluar dari perbedaan ulama adalah
disunnahkan”.
Demikian penjelasan yang dapat kami
sampaikan. Mendahulukan haji pribadi dalam konteks ini bukan berarti su’ul adab
kepada orang tua. Kewajiban berangkat haji pribadi dan berbakti kepada orang
tua bukanlah sebuah hal yang patut dipertentangkan, karena seorang anak tetap
bisa berbakti kepada orang tuanya dengan mendoakannya saat ia berada di
tempat-tempat mustajab seperti Multazam, orang tua yang berada di tanah air
pasti senang dengan hal itu. Bila punya kemampuan finansial berlebih, mengajak
orang tua secara bersama-sama menunaikan ibadah haji tentu lebih utama. Wallahu
a'lam. []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina
Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar