Imam Abu Hanifah dan Adab di Saat Sunyi
Dalam kitab Tadzkirah al-Auliya terekam
riwayat tentang adab Imam Abu Hanifah yang diceritakan oleh Imam Dâwud al-Thâ’i
(w. 165 H/781 M):
قال
داود الطائي رضي الله عنه: لازمت أبا حنيفة عشرين سنة وراعيته سرّا وجهرًا وليلا
ونهارا, ما رأيته في هذه المدّة مكشوف الرأس ولا مدّ رجله استراحة، قلتُ له: يا
إمام المسلمين إن مددت رجلك لحفظة في الخلوة، ماذا يكون؟ قال: رعاية الأدب من الله أولي.
Imam Dawud al-Tha’i radliyaallah ‘anhu
berkata:
Aku bersama Imam Abu Hanifah dua puluh tahun
lamanya. Aku mengamatinya di saat sepi dan ramai, malam dan siang. Aku tidak
pernah melihatnya membuka tutup kepalanya dan menyelonjorkan kakinya saat
beristirahat.
Aku bertanya kepadanya: “Wahai Imam
al-Muslimin, andai tuan menyelonjorkan kaki tuan sesaat saja ketika
sendirian, apa yang akan terjadi?”
Imam Abu Hanifah menjawab: “Menjaga adab
kepada Allah jauh lebih utama.” (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’,
alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashiliy al-Wasthani al-Syafi’i (836 H),
Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hlm 261-262).
****
Jika kita lakukan analisis mendalam, tindakan
Imam Abu Hanifah bisa dijelaskan dalam dua aspek penting: pertama,
sebagai sebuah cara, dan kedua, sebagai ekspresi dari maqamnya (posisi
spiritual). Kita bahas yang pertama terlebih dahulu.
Apa maksud “sebagai sebuah cara”? Maksudnya
adalah, tindakan menjaga adab di saat ramai ataupun sepi merupakan metode dalam
mengontrol riya’. Riya’, dalam arti sederhana, identik dengan pamer, beramal
dalam keramaian untuk mendapatkan pujian. Orang yang riya’ akan malas beramal
ketika dalam kesendirian, apalagi mempraktikkan adab yang cakupannya tidak
selalu berimplikasi hukum (dosa). Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah
mengatakan:
إن
للمرائي ثلاث علامات: يكسل إذا كان وحده ويصلي النوافل جالسا، وينشط إذا كان مع
الناس ويزيد في العمل إذا مدحوه كما ينقص منه إذا ذموه
“Sesungguhnya orang-orang riya’ memiliki tiga
ciri-ciri: (1) malas ketika sendirian, (2) mengerjakan shalat sunnah sambil
duduk, dan (3) bersemangat jika bersama orang banyak dan akan menambahkan
amalnya jika mereka memujinya sebagaimana ia akan mengurangi amalnya jika
mereka mengejeknya.” (Imam Abdul Wahhab bin Ahmad al-Sya’rani, Tanbîh
al-Mughtarrin, Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyah, hlm 29)
Tiga ciri-ciri riya’ di atas harus
diperlakukan sebagai pengetahuan, sehingga sifatnya mencegah dan memahamkan
(menilai diri sendiri). Jangan diperlakukan sebagai dalil untuk menilai orang
lain. Jika itu dilakukan, berarti kita tengah berada dalam keriyaan, karena
berani menilai keriyaan orang lain tanpa menilai diri sendiri.
Dari tiga ciri di atas, ciri yang paling
menarik adalah yang kedua, karena mengerjakan shalat sunnah sambil duduk itu
sah secara fiqih, tapi kurang elok dilakukan jika menggunakan ukuran adab.
Apalagi jika dilihat dari rangkaian kalimatnya, dapat dipahami bahwa orang yang
melakukan shalat sunnah dengan duduk itu menampilkan wajah berbeda ketika
shalat sunnah dengan ada banyak orang (berdiri). Ia menampakkan wajah ganda
yang saling bertentangan satu sama lainnya, seperti yang disebutkan dalam ciri
yang ketiga.
Kedua, sebagai ekspresi
dari maqam spiritualnya. Maksudnya adalah, apa yang dilakukan oleh Imam Abu
Hanifah sudah mendarah dan mendaging dalam dirinya. Bermula dari pengetahuan
yang luas, kemudian diikuti oleh pengamalan yang hati-hati dan istiqamah.
Mengamalkan seluruh pengetahuannya dalam berbagai kondisi. Tak peduli keadaan
di sekitarnya, entah ramai atau sepi. Kesunyian tidak membuatnya malas dan
lalai. Keramaian tidak mengubahnya berpura-pura dan berpamer ria. Ia tahu betul
bahwa Allah selalu mengawasinya. Karena itu ia sadar, akan sangat tidak sopan
jika ia berselonjor di hadapan pengawasan-Nya.
Maqam spiritual Imam Abu Hanifah tidak muncul
begitu saja, tapi melalui sebuah proses panjang, dari mempelajari berbagai
sendi-sendi agama sampai mempelajari musim-musim hati manusia yang berubah-ubah
dan saling berlawanan; duka-senang, benci-cinta, riya’-ikhlas, dan lain
sebagainya. Semua manusia memiliki musim hati semacam itu. Karena itu, penting
sekali mengenali musim apa yang sedang melanda hati kita.
Penjelasan sederhananya begini, orang yang
tawaduk (rendah hati) bukanlah orang yang tidak memiliki kesombongan sama
sekali dalam dirinya, tapi orang yang mengenali kesombongannya disaat
kesombongan itu berusaha menguasainya, seakan-akan hatinya berteriak “kau
sedang sombong, hentikanlah dan mohon ampunlah!”
Karena pada dasarnya, tidak ada orang yang
terlahir rendah hati, pun sebaliknya, tidak ada orang yang terlahir sombong.
Kedua watak itu sudah ada dalam diri kita masing-masing. Dan ini bukan soal
pilihan, tapi soal bagaimana mengenalkan dan mendamaikan keduanya. Bayangkan
saja, jika di hati manusia hanya terdapat kerendahan-hati tanpa ada sifat
sombong, maka kerendahan-hati akan kehilangan standar ukurnya, begitupun
sebaliknya.
Bagi orang yang sudah berada di maqam ini, ia
telah memasuki dimensi ihsân (keindahan), dan adab bergerak di wilayah ini.
Salah satu contohnya adalah kebiasaan Imam Abu Yazid al-Busthami yang memiliki
dua pakaian khusus untuk dua keadaan yang berbeda:
أنه
كان له ثوب لصلاته وثوب لخلائه
“Sesungguhnya Imam Abu Yazid memiliki pakaian
khusus untuk shalat dan pakaian khusus untuk ke toilet.” (Imam Abdul Wahhab bin
Ahmad al-Sya’rani, Tanbîh al-Mughtarrin, hlm 24).
Meskipun secara hukum, shalat menggunakan
pakaian yang dikenakan kedalam toilet itu sah selama tidak terkena najis, tapi
Imam Abu Yazid al-Busthami menyediakan pakaian khusus. Ia mempertimbangkan
haramnya buang hajat menghadap atau membelakangi kiblat. Ia pun
mempertimbangkan hukum syariat yang menjelaskan:
أن
لا تكون جهة قضاء الحاجة هي جهة الوقوف للصلاة
“Bahwa jangan samakan arah menghadap ketika
buang hajat dengan arah menghadap ketika shalat.” (Imam Abdul Wahhab bin Ahmad
al-Sya’rani, Tanbîh al-Mughtarrin, hlm 24).
Karena itu ia berpandangan bahwa tidak
bolehnya menyamakan arah menghadap ketika shalat dan buang hajat bisa dijadikan
dasar etika (adab) dalam beribadah dengan cara memakai pakaian yang berbeda,
yaitu jangan samakan pakaian yang kau kenakan untuk buang hajat dengan pakaian
yang akan kau kenakan untuk shalat. Pertanyaannya, berada di level manakah adab
kita?
Semoga bermanfaat… []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar