Apakah Jual Beli Valas
Termasuk Riba?
Yang dimaksud dengan valuta asing atau valas
dalam hal ini adalah mata uang asing, yaitu sebuah alat tukar-menukar luar
negeri yang nilainya ditentukan oleh kepercayaan pasar. Ada tiga fungsi utama
uang, yaitu:
1. Sebagai medium alat tukar (medium of
exchange) sehingga mempermudah proses pertukarannya. Menurut fungsi ini,
secara tidak langsung uang juga berfungsi sebagai satuan alat jual beli dan
sekaligus sebagai alat pembayar utang.
2. Sebagai satuan hitung (unit of account)
yang menunjukkan nilai barang atau jasa.
3. Sebagai alat penyimpan nilai (valuta).
Ditinjau dari sejarahnya, mata uang telah
mengalami banyak perubahan arti. Mulai dari keberadaannya pada masa barter
hingga masa uang modern yang terdiri atas uang fiat dan uang giral. Saat ini
sudah muncul istilah baru uang virtual. Sejarah mencatat bahwa uang mengalami
perkembangan arti, fungsi dan nilai uang. Perubahan ini otomatis membawa imbas
pada perubahan hukum yang berlaku atasnya.
Dalam pembahasan ini, kita mengacu pada
pengertian dan definisi uang modern yang menyatakan bahwa uang tidak lagi
berjamin emas (underlying gold). Uang modern disamakan kedudukannya
dengan surat berharga dalam muamalah syariah yang berperan sebagai instrumen
pertukaran.
Uang modern memiliki fungsi sebagai
komoditas. Di mana letak ‘illat (alasan dasar hukum) kesamaan uang
modern dengan komoditas ini? Mari kita kaji bersama!
Pertama, komoditas memiliki
nama lain sebagai suatu produk yang diperdagangkan. Jadi, komoditas adalah sama
artinya dengan barang niaga.
Karakteristik barang niaga adalah harganya
ditentukan oleh penawaran dan permintaan pasar. Oleh karena itu, dalam sistem
perniagaan, berlaku hukum ekonomi pasar yang menyatakan bahwa harga turun
manakala jumlahnya banyak, dan harga naik manakala jumlah komoditas di pasaran
adalah sedikit.
Contoh: harga premium di Jawa hanya berkisar
6.600-an rupiah per liter. Sementara harga premium di wilayah Indonesia bagian
timur bisa mencapai 20 ribu per liter. Perbedaan harga premium di Jawa dan di
Indonesia bagian timur di pengaruhi jumlah stok komoditas premium di
masing-masing unit pemasaran, dan dipengaruhi oleh cara dan akses
mendapatkannya. Semakin sulit cara mendapatkan, semakin mahal harga premium.
Dan semakin mudah cara mendapatkan, maka semakin murah harga premium.
Uang juga memiliki karakteristik yang serupa
dengan contoh di atas. Manakala jumlah devisa yang terdiri atas stok mata uang
dolar di Indonesia ada dalam jumlah banyak, maka harga jual komoditas mata uang
dolar atas rupiah menjadi turun. Demikian pula sebaliknya, maka manakala jumlah
stok komoditas mata uang dolar berada dalam jumlah sedikit, maka harga dan
nilai jual komoditas tersebut menjadi turun. Keduanya dipengaruhi oleh jumlah
stok di masing-masing negara.
Kedua, setiap komoditas
memiliki nilai manfaat yang ditawarkan. Oleh karena alasan ini, maka uang bisa
disebut sebagai harta.
Komoditas mata uang memiliki nilai manfaat
sebagai alat tukar (umulatu al-tijâry). Sebuah mata uang dipandang tidak sah
sebagai medium pertukaran bilamana di negara tersebut tidak menggunakan mata
uang yang dimaksud sebagai medium pertukaran resmi. Anda ingin membeli TV di
Malaysia. Tentu mata uang yang dipergunakan adalah Ringgit yang merupakan
medium resmi pertukaran di negara tersebut. Dan setiap anda pergi ke Malaysia
dan ingin melakukan transaksi jual beli di Malaysia, maka anda harus menukarkan
mata uang rupiah ke Malaysia. Hal yang sama juga berlaku bagi warga Malaysia
yang menghendaki melakukan transaksi pertukaran di Indonesia.
Apakah dengan demikian mata uang rupiah tidak
berlaku lagi? Tentu saja masih berlaku. Akan tetapi karena pertukaran terjadi
pada wilayah yang tidak melegalkan penggunaannya, maka ia menjadi tidak
memiliki nilai guna/nilai manfaat. Dalam fiqih, syarat sah jual beli adalah
bahwa barang yang dipertukarkan harus memiliki nilai manfaat, bukan?
Ketiga, setiap komoditas
dinilai berdasarkan nilai bahan yang dimilikinya. Komoditas kopi dinilai karena
kopinya. Komoditas bijih tembaga dinilai karena unsur tembaganya. Komoditas
uang dinilai berdasarkan status legal formalnya. Selembar uang rupiah, dinilai
karena bahan kertas yang dimilikinya mendapatkan legalitas dari Bank Indonesia.
Apabila penanda dari Bank Indonesia itu hilang, maka tinggallah bahan yang
tidak memiliki nilai apa-apa lagi. Ia tidak lagi menjadi barang yang memiliki
nilai tukar. Sekaarang bandingkan dengan mata uang emas! Bilamana penanda
cetaknya hilang, maka ia masih memiliki nilai tukar berupa bahan sebagai barang
berharga.
Mencermati dari ketiga alasan ini, maka uang
modern tidak lagi bisa dikelompokkan sebagai barang ribawi. Dengan begitu, akad
tukar-menukar antara mata uang dengan mata uang negara lain, tidak bisa
diputuskan sebagaimana layaknya bai‘ sharfi, yaitu akad jual
beli/tukar-menukar barang ribawi yang mensyaratkan harus hulul (kontan)
dan taqabudl (saling terima) atau bahkan mumatsalah (harus sama
takarannya), sebagaimana hal ini merupakan syarat dari bai‘ sharfi.
والصرف
على ثلاثة أنواع أحدها بيع الذهب بالذهب والثاني بيع الفضة بالفضة والثالث بيع
الذهب بالفضة
Artinya: “As-sharfi terdiri atas tiga
macam, yaitu: pertama, jual beli emas dengan emas; kedua, jual beli antara
perak dengan perak; dan ketiga jual beli antara emas dan perak.” (Abu Al-Hasan
Al Muhamily, Al-Lubab fi al-Fiqhi Al-Syafi’i, Beirut: Daru al-Fikr, tt:
1: 217!)
Mata uang menjadi barang ribawi manakala
telah dipertukarkan menjadi emas, perak atau bahan makanan. Jika belum
dipertukarkan, maka mata uang tidak memiliki unsur ribawi. Emas perak dan bahan
makanan adalah bahan yang mauzûn (barang yang ditimbang) dan al-makyal (barang
yang ditakar). Adanya jeda “harus dipertukarkan” terlebih dulu ini menjadi
sebab tidak bisanya disamakannya uang dengan emas disebabkan keharusan tersebut
adalah masuk amrun khorij (urusan di luar haq barang) sehingga menjadi unsur ‘aridly
(sesuatu yang baru). Sesuatu yang baru tersebut berupa emas yang sudah
memiliki ketentuan hukum sendiri yang tidak sama dengan ketentuan yang berlaku
pada uang sebagai komoditas dagang (umulat al-tijariyah).
Sebuah pengandaian, misalnya dari hasil
penjualan barang dagang toko dengan total habis, diketahui bahwa total
kekayaan/asset toko adalah sebesar 1 miliar rupiah. Apakah uang yang terkumpul
ini kemudian harus ditukarkan/dibelikan emas terlebih dahulu? Jika diputuskan
bahwa harus dibelikan emas, maka terjadi akad baru yang mengikat pada uang.
Akad baru tersebut adalah jual beli emas. Ia masuk dikenai wajib zakat apabila
sudah mencapai 1 tahun. Sementara uang yang dipergunakan untuk membeli adalah
hasil dari penjualan toko, yang berarti ia merupakan harta dagang (‘urudl
al-tijârah) dan harus dikeluarkan zakatnya saat tiba haul (genap 1 tahun
hijriyah). Merupakannya menjadi emas yang baru adalah sama saja dengan mengubah
status ‘urudl al-tijaarah menjadi harta kanzun (harta simpanan).
Oleh karenanya, hal itu tidak bisa diterima karena dianggap menghindar dari
zakat urudl al-tijaarah.
Lantas, bagaimana dengan pendapat yang
menganggap bahwa jual valas adalah sama dengan bai‘ sharfi dengan
mendasarkan pada qaul Syekh Abdurrahman Al-Jaziry (w. 1359 H)? Pendapat yang
dikutip, misalnya adalah sebagai berikut:
جمهور
الفقهاء يرون وجوب الزكاة في الأوراق المالية، لأنها حلت محل الذهب والفضة في
التعامل، ويمكن صرفها بصرف بدون عسر، فليس من المعقول أن يكون لدى الناس ثروة من
الأوراق المالية، ويمكنهم صرف نصاب الزكاة منها بالفضة، ولا يخرجون منها زكاة؛
ولذا أجمع فقهاء ثلاثة من الأئمة على وجوب الزكاة فيها؛ وخالف الحنابلة فقط
Artinya: “Jumhur ulama berdapat wajib zakat
pada uang kestas, karena uang kertas menggantikan posisi emas dan perak sebagai
alat tukar dan mudah untuk ditukarkan dengan perak. Sangat tidak masuk akal bahwa
pada manusia ada sekumpulan harta berbentuk kertas yang bisa ditukar dengan
nishab zakat perak dan mereka tidak mengeluarkan zakatnya. Karena itulah para
fuqaha tiga mazhab sepakat tentang kewajiban zakatnya. Hanya ulama mazhab
Hanbali saja yang tidak sepakat.” (Abdurrahman Al-Jaziry, Al-Fiqhu ‘ala
al-Madzâhib al-Arba’ah, Beirut: Daru al-Fikr, 1990: 1/549)
Jika menyimak dari tahun wafat beliau Syekh
Abdurrahman Al-Jaziry di atas, yakni tahun 1359 H, maka bisa disimpulkan bahwa
pendapat beliau ini adalah dikeluarkan pada masa ketika uang masih memiliki
nilai cadangan emas (underlying asset), yaitu sekitar tahun 1960-an.
Oleh karena itu, pendapat di atas adalah berlaku pada saat mata uang masih
belum menjadi ‘umulatu al-tijary (komoditas dagang). Dengan demikian,
pendapat ini tidak bisa dipergunakan untuk memutuskan kewajiban yang berlaku
atas uang modern hari ini disebabkan ‘illat-nya berbeda.
Sebagai kesimpulan akhir dari tulisan ini
adalah: bahwa jual beli mata uang sekarang tidak bisa disamakan dengan jual
beli barang ribawi, sehingga tidak berlaku baginya akad al-sharf. Perdagangan
valuta yang terdiri atas uang dolar (valas) dengan rupiah dan sebaliknya rupiah
dengan dolar tidak masuk akad bai‘ sharfi. Akad yang berlaku atas jual
beli valas ini adalah akad ‘urudl al-tijaarah, karena ia merupakan
komoditas tijârah yang berlaku atasnya karakteristik barang niaga. Wallâhu
a’lam bish shawâb. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian
Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Gresik,
Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar