Yang Hilang dari Diri
Kita: Akhlak!
Judul
: Yang Hilang dari Kita: Akhlak
Penulis
: Muhammad Quraish Shihab
Penerbit
: Lentera Hati
Cetakan
: II, Februari 2017
Tebal
: xvi+303 halaman
ISBN
: 978-602-7720-48-0
“Innama buitstu
liutamima makarimal akhlak”, sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak. Begitulah bunyi salah satu hadits Nabi Muhammad SAW. Sabda Rasulullah
tersebut menunjukkan bahwa akhlak yang baik atau akhklakul karimah menjadi
pondasi penting orang-orang beragama.
Akhlak ini berbasis
nilai. Nilai merupakan sesuatu yang bersifat universal. Sehingga pada dasarnya,
akhlak yang baik ada pada diri setiap orang beragama, setiap manusia. Apalagi
ajaran Rasulullah penuh dengan teladan-teladan akhlak yang baik di tengah
masyarakat.
Membahas persoalan
akhlak, globalisasi yang disertai dengan perubahan sosial yang begitu cepat
salah satunya berdampak pada pergeseran nilai sekaligus mendegradasi akhlak
manusia. Tidak terhitungnya jumlahnya krisis kemanusiaan dan kemerosotan akhlak
dalam kehidupan sehari-hari menjadi perhatian Pakar Tafsir Prof Dr Muhammad
Quraish Shihab untuk menulis buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak.
Dalam buku setebal
303 halaman itu, Quraish Shihab tidak hanya memaparkan epistemologi akhlak,
tetapi juga memberikan teladan sehari-hari tentang akhlak berdasarkan Al-Qur’an
dan Hadits. Dalam Islam, akhlak menjadi disiplin ilmu tersendiri yang kadang
diintegrasikan tasawuf dan filsafat karena terkait erat dengan konsep etika,
dan lain-lain.
Akhlak dan budi
pekerti yang luhur sangat dibutuhkan untuk mengisi kehidupan masyarakat. Buku
ini menjelaskan bahwa akhlak luhur merupakan keniscayaan dari kedudukan manusia
sebagai makhluk sosial. Semakin luhur akhlak seseorang, maka semakin mantap
kebahagiaannya. Demikian juga dengan masyarakat, semakin kompak
anggota-anggotanya secara bersama-sama melaksanakan nilai-nilai akhlak yang
disepakati bersama, maka semakin bahagia masyarakat tersebut.
Dalam buku terbitan
Lentera Hati ini, Quraish Shihab juga menjelaskan Akhlak secara filosofis. Ia
mengemukakan sejumlah konsep etika dan nilai dari para filsuf Yunani dan filsuf
Barat. Tentu saja penguatan ilmu akhlak banyak ia kutip dari Al-Qur’an, Hadits,
dan kitab-kitab klasik para ulama. Secara historis, para filsuf Yunani kuno
sangat menjunjung tinggi etika dan kemanusiaan. Langkah-langkah kaki mereka
tidak pernah berhenti mencari ruang-ruang kehidupan manusia, dimana akhlak,
etika, dan kemanusiaan dihidupkan.
Dalam buku ini juga
dijelaskan terkait konsep Nurani. Nurani sangat terkait dengan perkembangan
akhlak luhur pada diri manusia. Layaknya pelita yang selalu menerangi, nurani
merupakan pencerah hati dan perasaaan manusia sehingga memungkinkan dirinya
terhindar dari hal-hal negatif. Namun demikian, hati nuarani bukan hasil dari
pemikiran teoritis akliah. Tetapi ia lahir dari kerja perasaaan yang bisa jadi
tidak mudah untuk didefinisikan substansinya. Namun, setiap orang dapat
merasakan hati nurani dan tidak mudah untuk mengabaikannya.
Akhlak juga berkaitan
dengan kebaikan dan keburukan/kejahatan. Keburukan atau kejahatan adalah lawan
dari kebaikan. Ia mencakup dua hal pokok, pertama, sakit/perih, baik jasmani
maupun rohani, seperti musibah kebakaran atau tenggelam. Kedua, adalah yang
mengantar pada sakit atau perih seperti kebodohan dan kedurhakaan. Keburukan
dan kejahatan itu bisa jadi bersumber dari pihak lain dan bisa juga akibat ulah
yang mengalaminya sendiri.
Quraish Shihab
mengungkapkan salah satu doa yang diamalkan dan diajarkan Rasulullah ketika
akan keluar rumah, ialah: “Ya Allah, kami memohon perlindungan-Mu sehingga kami
tidak sesat, tidak juga disesatkan, tidak tergelincir atau digelincirkan, tidak
menganiaya tidak juga dianiaya, serta tidak berbuat jahil (picik), tidak juga
kami diperlakukan dengan picik.” (Halaman 57). Doa tersebut mengisyaratkan
potensi terjadinya keburukan dan kejahatan akibat ulah pihak lain maupun ulah
kita sendiri.
Dalam konteks
keterbukaan informasi dan perkembangan teknologi digital, Quraish Shihab
juga menekankan akhlak bertabayun atau melakukan kroscek kebernaran terhadap
informasi dan berita yang beredar melalui media cetak, website, maupun media
sosial. Dalam hal ini, Allah SWT dalam QS Al-Hujurat [49] ayat 6 memerintahkan
manusia untuk senantiasa melakukan tabayyun atau check and richeck.
“Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita, maka
bersungguh-sungguhlah mencari kejelasan agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan yang menyebabkan kamu atas
perbuatan kamu menjadi orang-orang yang menyesal.” (QS Al-Hujurat: 6)
Tanpa upaya
bertabayun terlebih dahulu, tidak terhitung orang-orang yang aktif di media
sosial termakan oleh berita-berita palsu dan bohong. Agaknya pasar netizen yang
mudah dibohongi makin marak, dampaknya seolah kebohongan dalam bentuk informasi
menjadi sebuah industri. Lagi-lagi, di sinilah akhlak luhur harus dikedepankan.
Jika sebelum era digital langsung dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari,
saat ini akhlak juga harus dijunjung tinggi ketika berinteraksi di media
sosial.
Quraish Shihab dalam
buku ini mengisahkan bahwa pada masa Rasulullah SAW, ada sekelompok orang yang
menyebarkan rumor tentang istri Nabi SAW, Aisyah ra yang cukup meresahkan Nabi
dan sahabat-sahabat karib beliau. Setelah sebulan rumor itu berkembang, baru
Allah SWT ayat-ayat yang membantah rumor tersebut sambil memberi pengajaran
kepada umat bagaimana langkah yang harus ditempuh jika tabayyun tidak
menghasilkan apa yang diharapkan atau bila rumor itu menyangkut orang yang
selama ini dikenal baik.
Allah berpesan dalam
QS An-Nur [24]: 12 yang maksudnya antara lain menyatakan bahwa mestinya sewaktu
kamu mendengar rumor itu, kamu selaku orang-orang mukmin dan mukminah bersangka
baik terhadap yang dicemarkan namanya karena yang dicemarkan namanya itu adalah
bagian kamu sesama orang beriman. Pada ayat 24 dalam surat di atas, Allah
dengan jelas memperingatkan bahwa orang-orang yang senang tersebarnya
berita-berita yang mencemarkan dalam masyarakat Islam, mereka itu akan ditimpa
siksa yang pedih.
Krisis akhlak yang
semakin akut terutama di kalangan generasi muda, menjadikan buku ini penting
untuk dibaca, dipahami, dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari. Bangsa
Indonesia, terutama umat Islam perlu memperhatikan tradisi keilmuan dan
pendidikan di pesantren yang integratif antara akhlak, ilmu, dan amal. Bahkan,
pengembangan adab dan budi pekerti luhur sangat ditekankan di pesantren
sehingga lembaga pendidikan asli Indonesia tersebut mampu menjadi benteng moral
bagi generasi bangsa sejak berabad-abad lalu hingga saat ini. (Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar