Kisah Imam Ma’ruf al-Karkhi dan Para Pemabuk
Dalam kitab Tadzkirah al-Auliyâ’, Imam
Fariduddin Attar memasukkan kisah unik dari Imam Ma’rûf al-Karkhi. Berikut
kisahnya:
نقل
أنه يوما يمرّ مع جماعة بساحل دجلة, وجماعة من الشبان كانوا في زورق علي دجلة
يشربون الخمر ويضربون الرباب ويجاهرون بالفسق، فقال الأصحاب لمعروف: يا شيخ، ادع الله عليهم لعلّه يهلكهم بالغرق، لئلا يصل
شؤمهم إلي الخلائق وينقطع عن النّاس فسقهم. فقال: ارفعوا أيديكم. فلمّا رفعوا،
قال: إلهي، كما طيّبتَ عيشهم في الدنيا فطيّبْ كذلك عيشهم في الآخرة. فتعجّب
الأصجاب عن هذا الأمر، وقالوا: يا شيخ نحن لا نبلغ إلي سرّ هذا الدعاء. قال:
توقّفوا ليتبيّن لكم الأمر. فلمّا رأي حماعة الشبان الشيخ، كسروا الرباب وأراقوا
الخمر ووقعوا في البكاء وجاؤوا إليه مسرعين وتابوا، فقال الشيخ: انظروا إلي هذا
الشأن البديع حصل مراد الجميع بلا غرق
Dikisahkan bahwa Imam Ma’ruf al-Karkhi
berjalan bersama murid-muridnya di tepian sungai Tigris, dan sekelompok pemuda
sedang asyik minum-minum khamr, menabuh rebab (sejenis alat musik), dan
menampakkan kefasikan secara terbuka di atas perahu sungai Tigris. Berkata
sebagian murid kepada Imam Ma’ruf: “Wahai guru, berdoalah kepada Allah agar
mereka binasa dengan tenggelam, agar kesialan mereka tidak mengenai makhluk
lainnya dan kefasikan mereka berhenti (mempengaruhi) orang lain.”
Imam Ma’ruf al-Karkhi berkata: “Angkatlah
tangan kalian.” Ketika mereka semua mengangkatnya, Imam Ma’ruf berdoa:
“Tuhanku, sebagaimana Kau senangkan hidup mereka di dunia, maka senangkan juga
hidup mereka di akhirat kelak.” Maka murid-muridnya terkejut dengan isi doa
Imam Ma’ruf al-Karkhi, dan berkata: “Wahai guru, kami tidak memahami rahasia
doa ini.” Imam Ma’ruf al-Karkhi menjawab: “Tunggulah, maka kalian akan memahami
rahasia di balik doa tersebut.”
Kemudian, ketika sekelompok pemuda itu
melihat Imam Ma’ruf al-Karkhi, seketika mereka menghancurkan rebabnya, membuang
khamarnya, menjatuhkan diri menangis, dan menghampiri Imam Ma’ruf al-Karkhi
dengan terburu-buru, lalu mereka semua bertobat. Setelah itu, Imam Ma’ruf
al-Karkhi berkata (pada murid-muridnya): “Lihatlah peristiwa mengagumkan ini,
tujuannya tercapai tanpa harus ada yang ditenggelamkan.” (Imam Fariduddin
Attar, Tadzkirah al-Auliyâ’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashiliy
al-Wasthani al-Syafi’i [836 H], Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hal. 346-347)
****
Kisah di atas harus dihidupi dengan pemahaman
menyeluruh, jangan hanya terjebak pada “mungkin” atau “tidak mungkin” pengaruh
doa bisa secepat itu. Keterjebakan semacam itu akan membuat kita terlewat sisi
baik kisah tersebut. Kita perlu memahaminya dengan terbuka, membuka pandangan
selebar-lebarnya untuk mencerap hikmahnya. Lagi pula, Allah telah berjanji
bahwa siapa pun yang berdoa kepadaNya akan dikabulkan, apalagi yang berdoa
adalah orang yang saleh lagi berilmu.
Dalam kisah di atas, Imam Ma’ruf al-Karkhi
(w. 200 H) menampilkan pengajaran akhlak dalam doanya. Di saat murid-muridnya
memintanya untuk mendoakan keburukan, Imam Ma’ruf al-Karkhi meresponsnya dengan
cara yang tidak diharapkan. Ia berdoa memohon kebaikan bagi para pemabuk itu di
dunia dan akhirat. Tentu saja ini tidak dipahami oleh murid-muridnya. Bagaimana
mungkin para pendosa bisa bersenang-senang di akhirat? Bukankah hidupnya bergelimang
dosa? Begitulah kira-kira yang bergulir di benak mereka.
Namun, jika dicermati dengan baik, kalimat
doa, “Tuhanku, sebagaimana Kau senangkan hidup mereka di dunia, maka senangkan
juga hidup mereka di akhirat kelak,” mengandung makna yang sangat dalam. Tidak
mungkin seseorang bisa bersenang-senang di akhirat jika mereka ahli maksiat dan
tidak pernah beramal baik. Artinya, dengan doa tersebut Imam Ma’ruf al-Karkhi
sedang memohonkan tobat untuk mereka, tapi dengan cara yang halus dan beradab.
Pertanyaannya, kenapa harus dengan cara halus dan beradab?
Jawabannya sederhana, Imam Ma’ruf al-Karkhi
melihat kebencian dalam murid-muridnya. Mereka menginginkan kebinasaan para
pemabuk itu dengan cara ditenggelamkan, meskipun tujuan mereka baik. Oleh
karenanya, Imam Ma’ruf al-Karkhi membacakan doa yang tidak mereka mengerti,
bahkan mungkin mereka kritisi. Sisi menariknya, Imam Ma’ruf al-Karkhi
melibatkan murid-muridnya dalam proses pengajaran akhlak melalui doa ini.
Dengan demikian, murid-muridnya turut mendapat pahala dari tobatnya para
pemabuk itu, yang akhirnya membuat mereka lebih sadar terhadap tanggung jawab
seorang muslim kepada muslim lainnya.
Di samping itu, ada juga soal adab dan seni
bertutur kepada Allah. Contohnya ketika seseorang mohon kaya, ada yang berdoa,
“Tuhan, berikanlah aku kekayaan dua ratus miliar,” tapi ada juga yang berdoa,
“Tuhan, berikanlah aku kemampuan berzakat dan bersedekah lima miliar.” Ini
sekedar contoh, soal mana yang lebih beradab dan berseni tutur tinggi, silahkan
dinilai sendiri, yang jelas ada nilai lebih yang terkandung di dalamnya.
Karena itu, Imam Ma’ruf al-Karkhi menegaskan
pada baris terakhir kisah di atas, “Lihatlah peristiwa mengagumkan ini,
tujuannya tercapai tanpa harus ada yang ditenggelamkan.” Tujuan yang dimaksud
di sini adalah tujuan dalam arti sebenarnya, bukan tujuan yang diharapkan oleh
murid-muridnya, yaitu kebinasaan para pemabuk. Dengan kata lain, Imam Ma’ruf
al-Karkhi berusaha menyelarasi kehendak Tuhan untuk membawa para pendosa
kembali ke jalan-Nya, bukan membinasakan mereka atas namaNya. Sebab, jika Imam
Ma’ruf al-Karkhi membinasakan mereka sekarang, berarti ia telah merenggut
peluang tobat para pemabuk itu.
Penegasan tersebut juga berarti peringatan
kepada murid-muridnya, agar jangan sampai kebencian mereka pada perilaku buruk
orang lain membuat mereka terjangkiti virus ujub dan takabbur. Dua virus yang
sangat berbahaya bagi seorang salik yang sedang mencari Tuhan karena bisa
menutup pintu kerendahan hati (tawaduk). Agar lebih mudah memahaminya, kita
perlu merenungkin dialog Imam Abu Yazid al-Busthami dengan seekor anjing.
Katanya:
يا
شيخ, إن تلوّث ذيلك بمثلي يتنظّف بغسله سبع مرات, وإن تلوّثت بنفسك لا تطهر بسبعين
بحرا. فقال الشيخ: أنت نجس الظاهر طاهر الباطن وأنا طاهر الظاهر نجس الباطن.
“Wahai tuan guru, jika ujung (jubah)mu
terkotori olehku, bisa dibersihkan dengan membasuhnya tujuh kali saja, tapi
jika kau terkotori oleh egomu sendiri, tujuh lautan pun tak bisa
menbersihkannya.” Imam Abu Yazib berkata: “Kau memang najis secara zahir, tapi
batinmu suci. Sementara aku suci secara zahir, tapi batinku najis.” (Imam
Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliyâ’, hal. 193-194)
Dialog di atas adalah sebuah gambaran, bahwa
hati manusia teramat sangat rumit, dipenuhi dengan berbagai macam watak dan
rasa. Tidak seperti binatang yang hanya memiliki naluri sehingga selalu
mengerjakan hal yang sama (monoton). Oleh karena itu, Imam Ma’ruf al-Karkhi
memperingatkan murid-muridnya agar mengambil pelajaran dari peristiwa
mengagumkan ini, bahwa ada pilihan lain dalam menghadapi manusia, tidak selalu
menghukum yang akhirnya merenggut peluang mereka menjadi baik. Jadi, seberapa
besarkah peluang kita? []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Petanahan, Kritig, Kebumen dan Pondok Pesantren al-Islah,
Kaliketing, Doro, Pekalongan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar