Kebingungan Imam Ibnu Wahb karena Hafal
Banyak Hadits
Dalam kitab Tartîb al-Madârik wa Taqrîb
al-Masâlik karya Qâdi ‘Iyâd (w. 544 H) tercatat pernyataan kebingungan Imam
Abdullah bin Wahb (w. 197 H):
وكنت
أنا آتي مالك وهو شاب قوي، يأخذ كتابي فيقرأ منه، وربما وجد فيه الخطأ فيأخذ خرقة
بين يديه فيبلها في الماء فيمحوه، ويكتب لي الصواب. قال ابن وهب: لولا أن الله
أنقذني بمالك والليث لضللت. فقيل له: كيف ذلك؟ قال: أكثرت من الحديث فحيرني. فكنت أعرض ذلك على مالك والليث،
فيقولان لي: خذ هذا ودع هذا
Aku mendatangi Malik, seorang pemuda luar
biasa. Dia mengambil bukuku dan membacanya. Ketika dia menemukan kesalahan di
dalamnya, dia mengambil kain di antara tangannya lalu menyelubkannya ke dalam
air dan menghapusnya. Dia pun mencatatkan untukku apa yang benar.
Ibnu Wahb berkata: “Jika saja Allah tidak
menyelamatkanku melalui perantara Malik dan al-Laitsi, aku pasti telah sesat.”
Kemudian dikatakan kepadanya: “Kenapa bisa
begitu?”
Ibnu Wahb menjawab: “Aku hafal banyak hadits
hingga membuatku bingung. Lalu kusampaikan kebingunganku kepada Malik dan
al-Laitsi. Keduanya berkata kepadaku: “Ambil ini dan tinggalkan yang ini.” (Abû
al-Fadl al-Qâdi ‘Iyâd bin Mûsâ, Tartîb al-Madârik wa Taqrîb al-Masâlik,
Mohammedia (Marokko): Mathba’ah Fadlalah, tt, juz 3, hlm 236)
****
Abdullah bin Wahb adalah ulama terkemuka.
Murid dari ulama-ulama besar seperti Sufyan al-Tsauri (97-161 H), Sufyan bin
‘Uyainah (107-198 H), al-Laits bin Sa’d (94-175 H), Malik bin Anas (93-179 H)
dan lain sebagainya. Ia juga menghasilkan banyak murid luar biasa seperti Sa’id
bin Manshur (w. 227 H), Ali bin al-Madini (161-234 H), Qutaibah bin Sa’id
(150-240 H), dan masih banyak murid lainnya.
Para ulama sangat menghormatinya. Ia dikenal
sebagai ahli fiqih dan hadits yang mumpuni. Imam Bukhari dan Imam Muslim
meriwayatkan hadits darinya. Kejujuran dan keilmuannya tidak diragukan sehingga
membuat hadits-hadits yang disampaikannya berkedudukan tinggi. Imam Yahya bin
Ma’in (w. 233 H) dan Imam al-Nasa’i (w. 303 H) mengatakan, “Ibn Wahb
tsiqqah—Ibnu Wahb terpercaya.” Imam Abu Hatim al-Razi (w. 277 H) memberinya
predikat sangat terpercaya. Menurut Imam Ahmad bin Shalih, Ibnu Wahb hafal
ratusan ribu hadits. ((Abû al-Fadl al-Qâdi ‘Iyâd bin Mûsâ, Tartîb al-Madârik wa
Taqrîb al-Masâlik, juz 3, hlm 232)
Jika seorang Ibnu Wahb yang hafal ratusan
ribu hadits dan belajar agama secara tradisional (berjenjang) masih terserang
kebingungan dalam memahami agama, bagaimana dengan kita yang mempelajari agama
sepotong-potong. Hanya bermodalkan satu hadits sudah berani menyalahkan dan
menghakimi lainnya. Padahal, bangunan hukum tidak cukup hanya mengandalkan satu
hadits saja.
Contohnya hadits, “lahm al-baqar dâ’un—daging
sapi adalah penyakit.” Hadits ini dipandang bermasalah oleh banyak ulama
meskipun dipandang shahih oleh Syekh al-Albani (w. 1999 M). Salah satu kritik
datang dari Syekh Muhammad al-Ghazali (w. 1996 M) yang mengatakan:
وفي هذه الأيام صدر
تصحيح من الشيخ الألباني لحديث "لحم البقر داء", وكل متدبر للقرآن
الكريم يدرك أن الحديث لا قيمة له, مهما كان سنده. إن الله تعالي في موضعين من
كتابه أباح لحم البقر, وامتنّ به علي الناس, فكيف يكون داءً؟
“Akhir-akhir ini telah muncul penshahihan
dari Syekh al-Albani terhadap hadits “daging sapi adalah penyakit.’ Padahal,
setiap orang yang mencermati Al-Qur’an akan tahu bahwa hadits tersebut tidak
ada nilainya, bagaimanapun keadaan sanadnya. Sesungguhnya Allah, dalam dua
tempat di kitabNya menghalalkan daging sapi dan mengaruniakannya kepada
manusia, maka bagaimana mungkin daging sapi adalah penyakit?” (Syekh Muhammad
al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah bain Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, Kairo:
Darul Kitab al-Mishr, 2011, hlm 22)
Dua tempat dalam kitabNya yang dimaksud Syekh
Muhammad al-Ghazali adalah Surah Al-An’am ayat 142-144 dan Al-Hajj ayat 36.
Surah Al-An’am 142-144 berisi keterangan bahwa binatang ternak itu ada dua
macam; untuk pengangkutan dan disembelih. Kemudian Allah memerintahkan manusia
agar memakan rizki halal yang dikaruniakan Allah kepada mereka termasuk di
dalamnya domba, kambing, unta, sapi dan seterusnya. Surah berikutnya, Al-Hajj
ayat 36 berisi tentang penjelasan bahwa Allah telah menjadikan hewan-hewan
al-budn sebagai bagian dari syiarnya dan manusia memperoleh kebaikan darinya,
serta perintah menyebut nama Allah ketika menyembelihnya. Maksud dari
hewan-hewan al-budn adalah unta, sapi, dan kerbau.
Ini baru contoh kecil saja, belum memasuki
aspek metodelogi yang lebih kompleks. Kita perlu hati-hati membaca terjemahan
ayat atau hadits, karena teks asli dengan terjemahan itu tidak setara.
Terjemahan Al-Qur’an tidak bisa lepas dari pemaknaan mufassir. Sedangkan satu
mufassir dengan mufassir lainnya bisa berbeda dalam memaknainya, bahkan di
kalangan sahabat nabi pun terjadi perbedaan itu.
Maka, seperti yang dilakukan Imam Abdullah
bin Wahb, kita harus mendengar dan membaca pandangan para pakar yang
benar-benar ahli di bidangnya. Seorang Ibnu Wahb saja kebingungan untuk memilih
mana hadits yang harus diamalkan karena bermacam-macamnya tipe hadits.
Terkadang, di hadits yang bertema sama, satunya bersifat ‘amm (umum), satunya bersifat
khas (khusus). Belum lagi jika terjadi ta’ârudl bainal adillah (kontradiksi
antar dalil), yang menurunkan sekian banyak konsep penyelesaiannya, dari mulai
al-jam’u bainahumâ (dikompromikan antara keduanya) sampai nashul mutaqaddim bil
muta’ahhir (menghapus yang lebih dulu dengan yang belakangan). Lalu ada al-nash
wal mansûh dan seterusnya.
Karena itu, ia bertanya kepada Imam Malik dan
Imam al-Laitsi, dua orang mujtahid besar tentang hadits-hadits yang dihafalnya.
Dalam gambaran ringkas, Imam Malik dan Imam al-Laistsi menjawab: “ambil ini,
dan tinggalkan yang ini.” Artinya, terjadi proses belajar-mengajarnya yang
panjang. Apa yang dikemukakan di atas adalah gambaran sederhana dari proses
panjang itu. Sebab, untuk bisa mengatakan, “ambil ini dan tinggalkan yang ini,”
Imam Malik dan Imam al-Laitsi harus terlebih dahulu mendengarkan puluhan ribu
hadits yang dihafal Ibnu Wahb, agar hadits-hadits itu dapat diukur dengan
standar metodelogi yang dipakai keduanya. Sejak saat itu, ia menjadi murid Imam
Malik yang sangat berpengaruh dalam penyebaran Mazhab Maliki. Ia tidak lagi
sekedar ahli hadits, tapi juga ahli fiqih seperti gurunya.
Riwayat di atas menunjukkan pentingnya
belajar agama secara berkala pada guru yang jelas sanad keilmuannya. Karena
itu, kita harus tetap berpegang teguh pada tradisi beragama yang ditinggalkan
para salafus shalih, yaitu beragama dengan ilmu, belajar secara berjenjang,
serta selalu memohon petunjuk Allah agar dimudahkan mengamalkan ilmu yang telah
dipelajari. Semoga kita bisa terus melestarikannya. Amin.
Semoga bermanfaat.... []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar