Jangan Hanya Kuantitas Anak, Berpikirlah Pula
soal Kualitasnya!
Indonesia diprediksi akan mengalami masa
bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun)
lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15
tahun dan di atas 64 tahun). Diperkirakan jumlah penduduk Indonesia akan
mencapai jumlah 271 juta jiwa pada tahun 2020. Indonesia menempati ranking ke-4
dengan jumlah penduduk terbesar dunia setelah Tiongkok, India dan Amerika
Serikat.
Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim
terbesar di dunia seharusnya masyarakat berpikir untuk tidak hanya memompa
kuantitas penduduk namun juga kualiltas, baik dalam hal keilmuan dan amaliyah
mereka.
Salah satu Rais Syuriyah Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Nurul Huda Djazuli menyatakan bahwa masalah yang
cukup memperihatinkan adalah tidak berjalannya program KB.
“Penyakit paling kronis di Indonesia hanya
satu, tidak berjalannya (secara maksimal) program KB (Keluarga Berencana). Itu
menurut saya,” kata kiai sepuh yang juga pengasuh Pesantren Al-Falah, Ploso,
Mojo, Kediri tersebut.
Program ini, katanya, dari zaman Pak Harto
hingga sekarang masih sulit berjalan. “Jadi kalau saya di acara walimah
(resepsi) mantenan, doa saya adalah ‘Semoga pengantin ini ditambahi ilmu, amal,
doa yang mudah terkabul, hati yang khusyu’. Dan kalau sudah waktunya,
mendapatkan dzurriyyah thayyibah (keturunan yang baik). Jadi, keturunan yang
baik itu adalah doa paling terakhir.”
Pada konteks zaman yang seperti ini, menurut
Yai Da, sapaan akrab KH Nurul Huda, seharusnya tidak lagi selalu mengulang-ulang
hadits berikut:
تَنَاكَحُوا،
تَكْثُرُوا، فَإِنِّي أُبَاهِي بِكُمُ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya: “Saling menikahlah kalian,
perbanyaklah anak. Sesungguhnya aku akan membanggakan kalian besok pada hari
kiamat.” (Mushnaf Abdur Razzaq As-Shan’aniy: 10391)
Adapun yang paling tepat jika sudah mempunyai
anak adalah membesarkannya. Tidak cukup dengan besar secara fisik saja, namun
harus dibarengi dengan keilmuan yang mendalam. Ilmu saja juga tidak cukup jika
tidak bisa bermanfaat buat masyarakat. Jadi perjuangan mempunyai anak yang
terberat adalah membekali ilmunya yang bermanfaat, bisa mendekatkan mereka
kepada Allah subhânahû wa ta’âlâ. Setelah beberapa tahun itu, baru kemudian
mempunyai anak berikutnya. Jadi tenang.
Kiai Huda menyarankan dalil yang fleksibel
dengan kondisi sosial yang terkini. Misalnya menggunakan hadits berikut
ini:
خَيْرُكُمْ
فِي الْمِائَتَيْنِ كُلُّ خَفِيفِ الْحَاذِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا
الْخَفِيفُ الْحَاذِ؟ قَالَ: الَّذِي لَا أَهْلَ لَهُ، وَلَا وَلَدَ
Artinya: “Sebaik-baik kalian di tahun 200 H
(ke belakang) adalah setiap orang yang khafîfil hâdz (orang yang ringan beban).
Lalu para sahabat bertanya apa itu khafîful hâdz, wahai Rasul?” Dijawab oleh
Nabi, “Yaitu orang yang tak punya keluarga dan tak punya anak.” (Mu’jam Ibnul
Arabiy: 1830)
Hadits tentang memperbanyak keturunan,
konteksnya pada waktu itu Baginda Nabi membutuhkan pasukan yang banyak untuk
perang, sebagai teman, dan dijadikan santri. Tapi problemnya sekarang anaknya
banyak tapi tidak ada yang jadi santri (tidak ada yang mau memperdalam ilmu
agama).
“Apabila anaknya banyak dan dimasukkan ke
pesantren, mâ fî musykilât (tidak ada masalah). Namun realitasnya tidak.
Anaknya tujuh, satu pun tidak ada yang memperdalam ilmu agama. Oleh karena itu,
lebih baik anaknya sedikit tapi berkualitas bagus, ilmunya dalam, bermanfaat
untuk masyarakat daripada banyak tapi tidak ada yang berkualitas sama
sekali.
Jadi, dari paparan Kiai Nurul Huda Djazuli di
atas, rasanya ingin mengajak kita, bahwa dalam memahami hadits perlu juga
mendalami konteks zaman. Kapan hadits itu turun. Masihkan hadits itu relevan
sampai sekarang. Adakah hadits yang lebih relevan yang lebih pas dengan zaman.
Bagaimana cara memahami hal itu? Mestinya kita harus mendengarkan atau bertanya
kepada ulama yang berkompeten di bidangnya. []
Disarikan dari ceramah KH Nurul Huda Djazuli
dalam haflah di Pondok Pesantren al-Falah Trenceng, Sumbergempol, Kabupaten
Tulungagung, pada 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar