Wujud Karakter Aswaja
dalam Kehidupan Bernegara
Ahlussunnah wal
Jamaah (Aswaja) sebagai sebuah akidah yang muncul dari pemikiran Abu Hasan
Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi tidak membatasi diri dari kehidupan
bernegara. Bahkan fiqih siyasah menjadi dasar bagi para ulama untuk mengonsep
korelasi hukum Islam dengan prinsip kebangsaan dan kenegaraan.
Salah satu penyusun
Naskah Khittah NU, KH Achmad Siddiq dalam bukunya Khittah Nahdliyyah
menjelaskan perwujudan atau manisfestasi Ahlussunnah wal Jamaah dalam konteks
kehidupan bernegara. Manifestasi tersebut sangat terkait dengan kedudukan
negara yang didirikan atas dasar tanggung bersama sebagai sebuah bangsa
(nation), sikap terhadap kedudukan pemimpin, dan etika ketika pemimpin perlu
diingatkan atas kesalahannya.
Manifestasi Aswaja
terhadap kehidupan bernegara terdiri dari tiga hal. Pertama, Negara nasional
(yang didirikan bersama oleh seluruh rakyat) wajib dipelihara dan dipertahankan
eksistensinya.
Kedua, penguasa
negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang terhormat
dan ditaati, selam tidak menyelewengkan, memerintah ke arah yang bertentangan
dengan hukum dan ketentuan Allah SWT.
Ketiga, kalau terjadi
kesalahan dari pihak pemerintah, cara memperingatkannya melalui tata cara yang
sebaik-baiknya.
Ketiga menifestasi
Aswaja dalam konteks kehidupan bernegara yang juga menjadi prinsip akidah
Nahdlatul Ulama memainkan peran penting untuk memperkuat suatu bangsa. NU
sebagai civil society telah mempraktikkan bagaimana agama dan nasionalisme
tidak bertentangan, bahkan saling memperkuat sehingga nasionalisme tidak kering
dan mempunyai pijakan moral, sedangkan agama tidak kehilangan pijakan
dakwahnya.
Konsep negara
nasional atau negara bangsa (nation state) dalam catatan Abdul Muni’im DZ
(Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011) pernah dipersoalkan ketika para pemuda
mengikrarkan sumpah kebangsaan pada 28 Oktober 1928. Hal itu dianggap menjadi
persoalan yang masih krusial bagi sebagian umat Islam yang kala itu masih
mempunyai semangat mendirikan negara Islam.
Karena persoalan ini
menjadi pembahasan di kalangan umat Islam, sebagai tanggung jawab sosial
sebagai organisasi sosial keagamaan, maka NU membawa persoalan tersebut ke
dalam Muktamar ke-11 NU tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Setelah diadakan
penyelidikan, baik secara historis dan kawasan, NU lewat Muktamar tersebut
menyepakati bahwa Indonesia adalah darul Islam. Darul Islam di sini bukan
berarti negara Islam, tetapi wilayah di mana penduduknya memeluk agama Islam
yang masih bertahan dengan keyakinannya sejak kerajaan-kerajaan Islam berdiri
dan berkuasa di Nusantara.
Artinya, Islam telah
lama menjadi pijakan pemerintahan, bahkan telah membudaya dan mengakar pada
diri orang-orang Nusantara dengan teguh menjalankan prinsip-prinsip ajaran
Islam tanpa memformalisasikan Islam ke dalam sistem bernegara. Sehingga
mengenai cita-cita Indonesia sebagai negara bangsa sebagaimana yang dirumuskan
oleh para aktivis pergerakan pemuda itu dianggap sudah memenuhi aspirasi umat
Islam.
Sebab di dalam
prinsip negara bangsa ada jaminan bagi umat Islam untuk mengajarkan dan
menjalankan agamanya secara bebas sesuai aturan syariat. Dengan demikian umat
Islam tidak perlu membuat negara lain yang berdasarkan syariat Islam, karena
negara bangsa yang dirumuskan telah memenuhi aspirasi Islam. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar