Perhatikanlah dari Mana
Hartamu Diperoleh?
Allah menciptakan kita dari golongan manusia
dan semua makhluk dari golongan jin adalah semata-mata untuk beribadah
kepada-Nya (QS Al-Dzariyat: 56). Ibadah merupakan pengakuan bahwa seorang insan
hanyalah seorang hamba dari Dzat yang berhak untuk disembah. Karena ia hanya
seorang hamba maka wajib thaat kepada yang dihambai, yakni Allah subhanahu
wata’ala (QS Al-Nisa: 59).
wujud ketaatan kita kepada Allah SWT? Secara
umum jawabnya adalah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya. Jika kita tarik masalah ini dalam praktik fiqih muamalah, maka
langkah ketaatan ini adalah dengan melaksanakan segala apa yang diperintahkan
oleh Allah dan Rasul-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, salah satunya
menjauhi praktik muamalah yang dilarang.
Sebuah keniscayaan, agar manusia memiliki
kekuatan dalam melaksanakan ibadah, maka ia wajib bekerja untuk memperoleh
pendapatan (QS al-Naba’: 11, QS Al-A’raf: 10, QS Jum’ah: 10, QS Al-Mulk: 15, QS
Al-Muzammil: 20). Karena tugas manusia adalah mengabdi kepada Allah subhanahu
wata’ala, maka pendapatan yang diperoleh dari hasil bekerja juga menghendaki
pemfilterannya (imtinan) (QS Al-Baqarah: 168). Mana dari kesekian pendapatan
yang diperoleh seorang hamba masuk kategori halal secara jelas, remeng-remeng
(syubhat), atau haram. Pendapatan yang halal adalah pendapatan yang diperoleh
dengan cara yang baik lagi diperbolehkan oleh syara’ (halâlan thayyiban).
Ibnu Katsir memaknai halâlan thayyiban ini
sebagai:
فذكرذلكفي
مقام الامتنان أنه أباح لهم أن يأكلوا مما في الأرض في حال كونه حلالا من الله
طيبا ، أي : مستطابا في نفسه غير ضار للأبدان ولا للعقول
Artinya: “Allah menyebut [halaalan thayyiban
secara bersamaan ini] dalam maqam imtinan [kehendak filter], bahwasanya
sesungguhnya memakan rezeki dari hasil bumi adalah diperbolehkan (mubah)
manakala rezeki tersebut adalah halal lagi “baik”. Maksud dari kalimat baik ini
adalah baik untuk diri sendiri, tidak membahayakan badan serta aqal.” (Imam
Ibnu Katsir, al-Yasiir fi Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Jedah, Daru
al-Huda li al-Nasyr, 1426 H, Juz 2, halaman 182)
Shahabat ‘Iyadl bin Himar dalam sebuah hadits
riwayat Imam Muslim berkata bahwasannya hikmah dari adanya perkara halal dan
haram, adalah Allah hendak menguji hamba-Nya dari segi keteguhan
agamanya.
عن
رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: يقول الله تعالى: إن كل ما أمنحه عبادي فهو
لهم حلال”فيه: وإني خلقت عبادي حنفاء فجاءتهم الشياطين فاجتالتهم عن دينهم ، وحرمت
عليهم ما أحللت لهم
Artinya: “Dari Rasulillah SAW sesungguhnya
beliau bersabda: Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya segala apa yang Aku
anugerahkan kepada hambaku pada dasarnya ia halal .” Di dalam hadits
disinggung: “Dan sesungguhnya Aku telah ciptakan hamba-Ku sebagai hunafa’
(bersih lagi ikhlas), kemudian Aku datangkan syaithan, lalu aku jadikan ujian
untuk agama mereka, lalu aku haramkan atas mereka sebagian yang telah aku
halalkan untuk mereka.” (Imam Ibnu Katsir, al-Yasiir fi Ikhtishari Tafsir
Ibnu Katsir, Jedah, Daru al-Huda li al-Nasyr, 1426 H, Juz 2, halaman 182)
Dalam setiap ujian ada kenaikan derajat
seorang hamba. Salah satu wujud kenaikan derajat itu adalah mudahnya
diijabahinya doa. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Hafidh Abu
Bakar bin Mardawih dari jalur sanad Ibnu ‘Abbas radliyallahhu ‘anhu, suatu
ketika sahabat Sa’ad bin Abi Waqas radliyallahu ‘anhu berkata kepada baginda
Rasulillah SAW:
عن
ابن عباس قال: تليت هذه الآية عند النبي صلى الله عليه وسلم: ياأيها الناس كلوا
مما في الأرض حلالا طيبا - فقام سعد بن أبي وقاص ، فقال : يا رسول الله ، ادع الله
أن يجعلني مستجاب الدعوة ، فقال: يا سعد ، أطب مطعمك تكن مستجاب الدعوة ، والذي
نفس محمد بيده ، إن الرجل ليقذف اللقمة الحرام في جوفه ما يتقبل منه أربعين يوما ،
وأيما عبد نبت لحمه من السحت والربا فالنار أولى به "
Artinya: “Dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu
berkata: [Suatu ketika] ayat ini dibaca di sisi baginda Nabi SAW - “Wahai
manusia, makanlah dari apa yang dihasilkan bumi dengan cara halal lagi baik” –
maka berdirilah Sa’ad bin Abi Waqash radliyallahu ‘anhu lalu berkata: “Wahai
Rasulullah, berdoalah tuan kepada Allah agar menjadikan aku orang yang
dikabulkan doanya!” Kemudian Nabi menjawab: “Wahai Sa’ad, baguskanlah makananmu
maka niscaya dikabulkan doamu. Demi Dzat yang diri Muhammad ada ditangan-Nya,
sesungguhnya seorang laki-laki yang memasukkan satu suapan haram ke dalam
perutnya, tidak akan diterima doa darinya selama 40 hari. Daripada daging
seorang hamba tumbuh dari perkara haram (suht) dan riba, maka api adalah lebih
utama dengannya.” (Imam Ibnu Katsir, al-Yasiir fi Ikhtishari Tafsir Ibnu
Katsir, Jedah, Daru al-Huda li al-Nasyr, 1426 H, Juz 2, halaman 183)
Sampai di sini jelas sudah bahwasanya di
dalam mencari rezeki, Allah SWT dan Rasul-Nya menghendaki agar kita mencarinya
dari jenis rezeki yang halal. Cara memperoleh rezeki juga diperintahkan dengan
jalan yang baik (thayyiban). Dengan demikian, segala rezeki yang masuk ke dalam
jasad seorang hamba tergantung seberapa kuat dan ketat ia memfilternya. Namun,
di dalam memfilter rezeki, Allah SWT juga menggariskan agar tidak menjadikan
perkara yang jelas diperbolehkan oleh syariat menjadi haram, atau sebaliknya
yang haram menjadi diperbolehkan. Untuk maksud inilah, sangat penting bagi
seorang muslim mendalami dan menekuni fiqih muamalah.
Wallahu a’lam. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar