Penentuan Jumlah Bilangan
Suatu Wirid
Beberapa orang menganggap bahwa seluruh
bilangan wirid haruslah ada tuntunan teks ayat atau hadits yang secara literal
menunjukkan jumlah tertentu. Mereka menyangka bahwa jumlah bacaan wirid sama
saja dengan jumlah rakaat shalat yang sudah ditentukan tanpa sedikit pun boleh
dikurangi atau ditambah, apalagi ditentukan sendiri bilangannya. Anggapan
seperti ini akan bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan kaum
muslimin di seluruh dunia di mana terdapat banyak bacaan wirid yang disarankan
agar dibaca dalam jumlah tertentu yang tak ditemukan dasar haditsnya, misalnya
anjuran membaca shalawat Nariyah sebanyak 4.444 kali. Tak pelak, banyak tuduhan
bid’ah yang keluar dari orang-orang yang belum mengerti.
Sebenarnya, penentuan bilangan suatu wirid
tak harus berdasarkan hadits semata, namun bisa juga ditentukan melalui
petunjuk ilham yang didapat hamba Allah yang shalih. Ini bisa terjadi secara
akal dan tidak berlawanan dengan syariat. Dan, kenyataannya hal semacam ini
memang terjadi bahkan di masa para sahabat. Simak riwayat berikut yang
diceritakan dan dijadikan dalil pembenar oleh Syekh Ibnu Qayyim al-Jauziyah
dalam kitabnya yang berjudul Jilâ' al-Afhâm:
عَن
زيد بن وهب قَالَ لي ابْن مَسْعُود رَضِي الله عَنهُ يَا زيد بن وهب لَا تدع إِذا
كَانَ يَوْم الْجُمُعَة أَن تصلي على النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم ألف مرّة
تَقول اللَّهُمَّ صل على مُحَمَّد النَّبِي الْأُمِّي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم
"Dari Zain bin Wahb, Sahabat Ibnu Mas'ud
berkata padaku: Wahai Zaid, bila hari jumat jangan engkau tinggalkan membaca
shalawat atas nabi 1000 kali, katakan allahumma shalli ala Muhammad an-nabiyyi
al-ummiyyi shallallahu alaihi wasallam." (Ibnu Qayyim, Jilâ'
al-Afhâm, halaman 87)
Amaliyah wirid yang dianjurkan sahabat Ibnu
Mas'ud di atas sama sekali tidak ada haditsnya, tidak redaksinya dan tidak pula
jumlahnya. Yang bisa kita dapati hanyalah sebuah hadits dlaif (lemah)
yang memerintahkan untuk membaca shalawat sebanyak 1000 kali tanpa pengkhususan
hari tertentu dan hadits dlaif lain yang memerintahkan agar banyak-banyak
membaca shalawat di hari Jumat. Bila kedua hadits dlaif ini digabung, maka
hasilnya adalah sunnah memperbanyak shalawat di hari jumat, tanpa ada
pembatasan bahwa jumlahnya harus seribu dan tak ada penentuan bagaimana redaksi
shalawatnya. Bila memakai konsep bid'ah ala sebagian kelompok yang berlebihan
dalam memahami tema bid'ah, maka tindakan Sahabat Ibnu Mas'ud ini tergolong
bid'ah dan demikian juga dengan tindakan Syekh Ibnu Qayyim yang menukil dan
berhujjah dengan itu. Namun teori mereka ini salah dan gegabah sehingga tak
layak diperhitungkan. Tentu bukan suatu yang sederhana menganggap amalan
seorang sahabat besar sekaliber Ibnu Mas’ud sebagai bid’ah.
Soal pembatasan jumlah bacaan wirid ini,
harus diketahui bahwa ada dua jenis wirid yang berbeda:
Jenis pertama, adalah bacaan wirid yang
jumlahnya telah ditentukan secara khusus (muqayyad) oleh Rasulullah ﷺ dalam bilangan
tertentu tanpa ada satu pun hadits lain yang menunjukkan kemutlakan jumlahnya.
Bacaan tipe ini tak boleh kita modifikasi jumlahnya, jangan dikurangi atau
ditambahi bila ingin mendapat keutamaan sunnah. Contohnya adalah bacaan tasbih,
tahmid dan takbir sehabis shalat yang masing-masing berjumlah 33 kali.
Penentuan bilangan 33 kali ini disebutkan secara literal oleh Nabi Muhammad
sendiri sehingga tak layak kita modifikasi.
Jenis kedua, adalah bacaan yang jumlahnya
dimutlakkan tanpa ada batasan khusus dari Rasulullah atau ada batasannya namun
longgar. Jenis wirid ini kita bebas membacanya berapa kali sesuka dan sekuat
kita setiap harinya. Dalil dari kebebasan penentuan bilangan ini dapat dilihat
dari hadits berikut:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" مَنْ قَالَ: حِينَ يُصْبِحُ وَحِينَ يُمْسِي: سُبْحَانَ اللهِ
وَبِحَمْدِهِ، مِائَةَ مَرَّةٍ، لَمْ يَأْتِ أَحَدٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ،
بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ، إِلَّا أَحَدٌ قَالَ مِثْلَ مَا قَالَ أَوْ زَادَ
عَلَيْهِ
"Dari Abi Hurairah, dia berkata:
Rasulullah bersabda: Siapa pun yang membaca ketika pagi dan sore Subhânallah wa
bihamdihi seratus kali, maka tak akan datang seorang pun di hari kiamat yang
membawa amal melebihinya kecuali seseorang yang membaca semisal itu atau lebih
dari itu." (HR. Muslim)
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:
" مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ
الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، فِي يَوْمٍ
مِائَةَ مَرَّةٍ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ، وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ
حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ، وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ
الشَّيْطَانِ، يَوْمَهُ ذَلِكَ، حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ أَفْضَلَ
مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ
"Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah
bersabda: Siapa pun yang membaca la ilaha illallah wahdahu lâ syarîka lahu lahu
al-mulku walahu al-hamdu wahua 'ala kulli syai'in qadîr dalam sehari seratus
kali, maka pahalanya menyamai memerdekakan sepuluh budak dan dicatat seratus
kebaikan dan dihapus darinya seratus kesalahan dan dijaga dari setan di hari
itu sampai sore. Dan, tidak ada seorang pun yang datang [di hari kiamat] dengan
amal yang lebih utama dari orang itu kecuali orang yang membaca lebih banyak
dari jumlah itu." (HR. Muslim)
Dari redaksi kedua hadits di atas kita bisa
tahu bahwa jumlah seratus kali setiap hari yang diajarkan Rasulullah ternyata
bukanlah batasan tetapi hanyalah sebuah pilihan. Bila ada orang yang setiap
hari malah membaca 200, 300, atau semakin banyak wirid yang disebutkan dalam
hadits, maka pahalanya juga semakin banyak sesuai jumlahnya. Karena jumlahnya
tidak ditentukan, maka tidak dibenarkan adanya orang yang menuduh bahwa jumlah
tertentu setiap hari adalah bid'ah.
Harus dipahami bahwa kemutlakan jumlah itu
artinya bebas sebebas-bebasnya mau dibaca dengan jumlah berapa pun setiap
waktunya, mau bilangannya selalu sama atau tidak. Mau tiap hari dibaca 5 kali,
10 kali 1000 kali, 2000 kali atau berapa pun bebas. Mau dibaca kadang 100 kali,
kadang 50 kali, kadang 20 kali juga terserah. Tak ada alasan untuk menyatakan bahwa
konsisten akan jumlah tertentu semisal selalu seratus kali, selalu seribu kali
atau jumlah lain setiap hari termasuk tindakan bid'ah atau membuat-buat syariat
baru. Justru vonis bid’ah itulah yang malah bid'ah itu sendiri sebab pelakunya
telah menyempitkan makna kemutlakan yang diberikan oleh Rasulullah ﷺ tanpa adanya izin
spesifik dari Rasulullah ﷺ.
Sebab itulah, para ulama sering sekali
memberikan nasihat untuk membaca bacaan tertentu dengan jumlah tertentu yang
nanti akan berkhasiat tertentu pula. Penentuan redaksi, khasiat, waktu dan
jumlah ini biasanya berdasarkan ilham yang sudah diuji coba berulang kali,
bukan berdasarkan hadits. Yang harus dicatat, tak ada satu pun jumlah bacaan
yang ditentukan ulama berdasarkan ilham tersebut yang
tergolong muqayyad atau sudah ditentukan oleh Rasulullah sehingga
memang mubah hukumnya menentukan jumlah tertentu sendiri.
Pertimbangan lainnya, dalam berbagai hadits
dijelaskan bahwa kaum muslimin diperintah agar menjaga keistiqamahan
(konsistensi dalam beramal baik). Juga disebutkan bahwa Allah kurang menyukai
apabila seseorang melakukan suatu amal kebaikan lantas kendor atau putus di
tengah jalan. Salah satu redaksi haditsnya demikian:
فَإِنَّ
اللهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا، وَأَحَبُّ الدِّينِ مَا دُوِمَ عَلَيْهِ
“Maka sesungguhnya Allah tidaklah kendor
[dalam memberi pahala] hingga kalian menjadi kendor [untuk melakukan amal] dan
amal agama yang paling disukai adalah apa yang dilakukan terus-menerus
(istiqamah).” (HR. al-Baihaqi)
Untuk mengukur kadar keistiqamahan atau
kekendoran suatu wirid tentu saja harus dihitung dengan jelas berapa jumlahnya
setiap hari. Tanpa hitungan yang jelas, tak mungkin hal ini dapat diketahui
pengamalnya. Tentu saja penentuan jumlah bilangan dengan niat semacam ini tak
bisa masuk dalam kategori bid’ah menurut teori manapun atau perspektif siapa
pun. Justru inilah cara untuk merealisasikan perintah agar istiqamah dalam
berdzikir tersebut. Wallahu a'lam. []
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember
dan Peneliti di Aswaja NU Center Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar