Senin, 08 Juli 2019

Buya Syafii: Jalan Panjang Demokrasi Indonesia (2)


Jalan Panjang Demokrasi Indonesia (2)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Teori Prof Tan itu mengingatkan kita kepada Trilogi Bung Karno: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Gagasan nasionalistik ini adalah gagasan besar yang belum sempat direalisasikan oleh penciptanya. Dan gagasan itu baru muncul tahun 1964, saat kekuasaan Bung Karno mulai melemah untuk kemudian tumbang tahun berikutnya.
Prof Tan menamakan enam komponen di atas sebagai enam arena penting bagi berhasil atau gagalnya konsolidasi demokrasi di suatu negara, tidak saja di Indonesia, tetapi di mana pun di muka bumi. Negara yang kuat menjadi arena pertama yang perlu ditegakkan sebagai syarat bagi kemantapan konsolidasi demokrasi yang sehat dan kuat.

Menyusul kemudian, terbentuknya masyarakat sipil yang independen sehingga negara sekalipun kuat tidak menjurus kepada sistem negara kekuasaan. Dengan demikian, masyarakat sipil punya ruang bebas untuk menyuarakan aspirasi politiknya tanpa tekanan apa pun dari negara.

Arena berikutnya adalah masyarakat politik. Kita kutip Prof Tan: Sebagai tambahan bagi masya rakat sipil, konsolidasi demokrasi juga akan terjadi di arena masyarakat politik; di sinilah warga negara mengatur diri untuk berhadapan dengan kekuasaan negara. Pascajatuhnya Soeharto, ratusan [puluhan?] partai politik baru dibentuk. Jika era Soeharto bercorak sentralistik, menurut Tan, pada era reformasi, politik bercorak desentralistik dengan kekuasaan dan wewenang yang lebih besar yang tersedia di tingkat peme rin tahan lokal dan regional.

Sistem pemerintahan berdasarkan hukum adalah arena lain yang diperlukan bagi konso lidasi demokrasi, tulis Prof Tan. Sistem ini telah semakin membaik pada era pasca-Soeharto yang pada masa itu hukum hanyalah sekadar ornamen, tulis Tan, dengan mengutip pendapat Prof Hikmahanto Yuwana dari Universitas Indonesia. Sekalipun sudah membaik, sisa masalah masih belum lagi hilang. Tan mengatakan, Rule of Law Index menemukan Indonesia pada tingkat 63 dari 113 negara dalam sistem pemerintahan berdasarkan hukum. Skor terlemah Indonesia terletak pada peradilan kriminal dan korupsi.

Birokrasi negara haruslah efektif. Lalu, Prof Tan bertanya: Siapa yang akan mendukung demokrasi baru jika ia tidak mampu secara efektif menjalankan kewajibannya? Tetapi dengan sega la kelemahannya itu, Indonesia masih bertahan, tulis Tan, sekalipun menurut Transparency International's 2017 Corruption Perception Index, persepsi korupsi di Indonesia masih berada pada tingkat 96 dari 180 negara. Jadi, korupsi di Indonesia, jika kita pinjam istilah Kuasa Hukum 02 yang lagi populer masih TSM (terstruktur, sistematis, dan masif).

Arena penting terakhir yang perlu dibenahi untuk berhasilnya konsolidasi demokrasi adalah masyarakat ekonomi. Demokrasi, tulis Tan, menuntut bahwa semua warga negara punya kapasitas ekonomi untuk memengaruhi proses politik. Penguasaan yang berlebihan atas sum ber-sumber [ekonomi] oleh satu entitas (negara) atau kelompok (para oligar) dapat membuat konsolidasi demokrasi bermasalah. Lalu Tan mengatakan bah wa ketimpangan pendapatan yang tinggi merupa kan tantangan terberat bagi masyarakat ekonomi di Indonesia.

Akhirnya, dalam menyoroti Jalan Panjang Demokrasi Indonesia, ada baiknya kita kutip bagian akhir tulisan dari Krithika Varagur di bawah judul: Indonesia's Fragile Festival Democracy yang dimuat dalam New York Review Daily, 24 April 2019: ...kemampuan demokrasi Indonesia untuk menyerap politik berdasarkan iman (faith-based politics) tampaknya merupakan tanda dari sebuah era ketika banyak negara berkembang telah bergerak melampaui kekeliruan model demokrasi sekuler tidak lama setelah periode kolonial.

Sekalipun Varagur menggunakan perkataan`fragile' (rapuh, rentan) yang sedikit bernada pesimistis, kutipan di atas adalah sebuah harapan bahwa demokrasi Indonesia pada saatnya akan mampu mengatasi segala hambatan dan tantangan yang sering saja muncul secara bertubi-tubi itu.

Semoga demikian, suatu peringatan yang mesti disadari secara sungguh-sungguh oleh politisi pengendali parpol sebagai salah satu pilar utama demokrasi yang berkembang sekarang. Semakin cepat dan tinggi proses kesadaran itu, semakin baik bagi konsolidasi demokrasi khas Indonesia, sejalan dengan dinamika proses politik modern di negeri ini. []

REPUBLIKA, 04 Jul 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar