Ekspansi
Usaha dengan Obligasi Syariah
Sebuah perusahaan
perseroan syariah, ingin mengembangkan sayap usahanya. Untuk melakukan hal itu,
perusahaan memerlukan modal yang sangat besar. Pimpinan perusahaan bingung,
bagaimana cara mengupayakannya? Akhirnya dilakukanlah sebuah rapat komisaris
perusahaan yang terdiri atas sejumlah perwakilan pemilik modal.
Karena tujuan utama
rapat adalah upaya mencari jalan keluar soal hambatan dana untuk mengembangkan
usaha, maka materi yang dibahas di dalam rapat pasti akan berkisar seputar tiga
persoalan ini, yaitu:
Pertama, upaya
melihat simpanan hasil usaha/laba usaha perusahaan lalu mengukur seberapa
kekuatannya bila dibandingkan dengan kebutuhan proyek pengembangan yang hendak
dijalankan. Dalam ranah musyarakah musahamah, cara pertama ini merupakan cara
yang tidak banyak risiko dan cara yang paling mudah dan praktis. Selain
pengembang tidak perlu mendapatkan dana dari luar perusahaan, komposisi saham
kepemilikan modal antara masing-masing pemodal juga tidak ikut bertambah.
Problem barangkali
terjadi karena faktor tidak semua pemodal menyetujui penggunaan laba perusahaan
sebagai modal pengembangan. Bisa jadi dalam perusahaan, ada pemodal yang
menghendaki agar laba perusahaan dibagikan saja kepada pemodal sebagai deviden
(sisa hasil usaha). Oleh karena itu, syarat agar mekanisme ini bisa
dilaksanakan, pihak pengembang hanya memerlukan langkah melakukan rapat bersama
untuk membahasnya. Bila sebagian pemodal menyetujui sementara sebagian lain
tidak menyetujui, maka imbasnya adalah komposisi kepemilikan saham dan modal
menjadi berubah.
Kedua, jika mengambil
dari laba/keuntungan perusahaan tidak memungkinkan untuk dilakukan, maka upaya
lain mengatasi besarnya kebutuhan biaya adalah dengan menerbitkan efek berupa
obligasi atau saham. Jika menerbitkan obligasi, berarti perusahaan syariah
sejatinya sedang berutang ke pihak lain yang mana kelak bila jatuh tempo, pihak
yang menerbitkan obligasi (emiten) wajib untuk mengembalikan dana tersebut
disertai dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Lho, ini kan riba!? Tunggu
dulu. Kita akan lihat dulu bagaimana bentuk akadnya.
Perlu diketahui bahwa
obligasi adalah surat berharga yang berupa nota pengakuan utang oleh perusahaan
penerbit (emiten) kepada “pihak yang diutangi” (pemegang obligasi).
Perumpamaannya adalah perusahaan butuh dana untuk ekspansi usaha. Karena jumlah
kebutuhan dananya yang besar, maka tidak mungkin ia meminjam ke satu pihak
saja. Sebut misalnya butuh dana 8 triliun rupiah. Berapa orang yang punya uang
8 triliun dari 1 juta penduduk suatu daerah? Tentu tidak banyak, bukan? Karena
dana tersebut sangat besar, maka dilakukanlah pinjam dana secara berjamaah.
Caranya, 8 triliun rupiah kebutuhan dana dirupakan efek yang berupa lembar
surat berharga pengakuan utang. Surat berharga inilah yang selanjutnya
dinamakan obligasi. Jika diterbitkan 1.000 lembar obligasi, maka itu berarti
per lembar obligasi bernilai sebesar 8 miliar rupiah. Jika diterbitkan 1 juta
lembar obligasi, maka per lembar obligasi bernilai 8 juta rupiah. Karena
obligasi ini adalah pada dasarnya adalah pengakuan utang, maka sudah pasti ada
masa jatuh tempo pengembalian utang oleh pihak penerbit obligasi (emiten)
kepada pemegangnya.
Kita simpulkan
terlebih dahulu unsur-unsur yang terdapat di dalam obligasi. Dengan demikian,
unsur-unsuryang termuat di dalam obligasi terdiri dari hal-hal sebagai berikut:
1. Nilai per lembar
obligasi
2. Masa jatuh tempo
Manusia adalah
makhluk ekonomi. Dalam setiap geraknya, ia senantiasa berpikir bagaimana uang
yang dikeluarkan juga memiliki imbal balik berupa nilai keuntungan bagi
dirinya. Uang 8 triliun bukanlah uang yang berjumlah sedikit dan tidak banyak
pihak yang memilikinya. Beberapa kasus yang melibatkan terjadinya korupsi hingga
mencapai triliunan rupiah juga disebabkan karena watak dasar itu sehingga tugas
para fuqaha’ adalah menyikapi watak dasar itu menjadi sesuai dengan
syariah.
Pengembalian utang
dengan menetapkan persentase keuntungan di awal adalah tidak mungkin karena
menabrak rambu-rambu riba. Solusi agar dapat keluar adalah dengan jalan bagi
hasil. Oleh karenanya, maka di dalam obligasi syariah, selain kedua unsur yang
sudah kita sebut di muka, maka di dalamnya bertambah dengan unsur besaran
nisbah pembagian keuntungan selama utang dalam bentuk obligasi tersebut masih
dipegang oleh yang bersangkutan dan belum tiba masa jatuh tempo. Dengan
demikian unsur yang terdapat di dalam obligasi akan berubah menjadi seperti
berikut ini:
• Nilai per lembar
obligasi
• Masa jatuh tempo
obligasi, dan
• Besaran nisbah
pembagian keuntungan
Kalau begitu, apa
beda antara saham dan obligasi?
Saham merupakan surat
berharga yang berisi pernyataan pengikutsertaan modal ke sebuah perusahaan oleh
pemegangnya. Oleh karenanya, ia berhak mendapatkan pembagian deviden dari
perusahaan sesuai dengan nisbah modal yang dia miliki. Sementara itu, obligasi
adalah surat pernyataan utang perusahaan (emiten) ke pemegang obligasi. Karena
ia berisi pernyataan utang, maka pada dasarnya ia tidak dapat terlibat di dalam
kerugian. Dengan begitu tidak boleh ditentukan besar imbal jasa. Masalahnya
adalah, apa mungkin jika uangnya besar? Jika tidak mungkin, bagaimana supaya
menjadi boleh?
Persoalan-persoalan
tidak bisa terlibat di dalam kerugian inilah yang nantinya akan menjadi problem
sah atau tidaknya obligasi di dalam praktik transaksi syariah. Bagaimana uraian
lebih lanjut? Tunggu pembahasan di kanal ekonomi syariah berikutnya! Insyaallah
Wallahu a’lam bi
al-shawab
[]
Muhammad Syamsudin,
Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P.
Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar