Agar Terhindar dari Riba,
Apa Jenis Akad untuk Obligasi Syariah?
Istilah lain dari obligasi syariah adalah
syuquq. Syuquq merupakan bentuk plural dari syuq yang berarti pasar. Dengan
demikian arti dari syuquq adalah kumpulan efek yang berbasis pasar. Menurut
istilah kajian fiqih transaksi, syuquq ini merupakan lembaran surat berharga
yang berisi pernyataan pengakuan utang perusahaan kepada pemegangnya. Bagaimana
ia bisa dimasukkan sebagai efek yang berbasis pasar, yang artinya ia bisa
diperjualbelikan? Simak ulasan berikut ini!
Pada tulisan terdahulu telah dijelaskan bahwa agar perusahaan dalam
ekspansi usahanya mendapatkan pembiayaan, maka salah satu alternatif yang
dimilikinya adalah ia dapat menerbitkan obligasi (surat pernyataan utang).
Selanjutnya, surat pernyataan utang ditawarkan kepada khalayak umum melalui
mekanisme pelelangan. Karena di dalam obligasi ada nisbah bagi hasil atau imbal
jasa yang ditawarkan ke pemegangnya, maka ia bisa disebut barang manfaat.
Karena memiliki manfaat inilah, maka obligasi masuk dalam kategori aset (mâl).
Hal ini sebagaimana syarat suatu barang dapat disebut sebagai harta, sehingga
boleh diperjualbelikan, manakala ia memiliki aspek manfaat.
Karena obligasi adalah sebuah surat
pernyataan utang dari perusahaan syariah kepada pemegangnya dan mensyaratkan
harus ada imbal jasa kepada pemegangnya, serta anti terhadap konsep kerugian
sehingga uangnya tidak kembali, maka akad apakah yang bisa dipakai oleh perusahaan
penerbit obligasi tersebut agar ia tidak terjebak di dalam konsep riba?
Persoalan inilah yang hendak ditekankan dalam tulisan kali ini.
Apabila di dalam obligasi dicantumkan besaran
pendapatan yang harus diterima oleh pemegang obligasi, misalnya adalah suku
bunga sebesar 2,5% dari modal yang ada, maka tak urung bahwa obligasi jenis ini
adalah masuk tataran barang ribawi. Syariat kita tidak menghendaki konsep imbal
yang ditentukan besarannya di muka. Dengan demikian, maka konsep imbal jasa
yang ditentukan di belakang hanya memungkinkan dalam bentuk bagi hasil (revenue
sharing). Dalam syariat kita, konsep revenue sharing hanya ada pada akad
mudlarabah. Dengan demikian, maka konsep bagi hasil yang bisa diadopsi oleh
obligasi adalah obligasi mudlarabah, sehingga pihak pemegang obligasi berhak
mendapatkan bagi hasil keuntungan perusahaan.
Dengan demikian, jika kita ringkas, maka
ketentuan dalam obligasi mudlarabah memiliki penjelasan sebagai berikut:
1. Obligasi mudlarabah diterapkan mengikuti
prinsip mudlarabah.
2. Pihak emiten berperan selaku penerbit
obligasi sekaligus sebagai mudlarib.
3. Ada jenis usaha yang diketahui secara
bersama baik antara emiten dengan investor.
4. Tata cara bagi hasil disepakati bersama
oleh kedua belah pihak–emiten dan investor
5. Emiten berkewajiban mengembalikan uang
yang diberikan oleh investor karena status pernyataan utang tersebut.
Berangkat dari ketentuan nomor 5 ini, apabila
setelah jatuh tempo, perusahaan penerbit obligasi (emiten) tidak bisa
mengembalikan uang dari pemegang obligasi, maka pihak emiten bisa melakukan
konversi obligasi menjadi saham perusahaan. Ketika konversi ini terjadi, maka
prinsip obligasi mudlarabah berubah menjadi prinsip musyarakah musahamah
sehingga investor posisinya berubah dari selaku shâhibul mâl (pemilik aset)
menjadi syarik (peserta musyarakah).
Hal yang perlu dicatat adalah ketika konversi
hendak dilakukan, maka antara emiten dan pemegang obligasi harus melakukan akad
perjanjian yang baru sebagaimana pernah dijelaskan dalam akad musyarakah mutanaqishah muntahiyah bit tamlik.
6. Investor menerima bagi hasil bukan dari
deviden (sisa hasil usaha / laba bersih), melainkan diperoleh dari seluruh
total hasil usaha (laba kotor) yang menggunakan dana dari investor.
7. Dana dari investor (shâhibul mâl )
seluruhnya 100% digunakan untuk membiayai proyek yang disepakati
Jika demikian, apa bedanya dengan musyarakah
musahamah?
Di dalam musyarakah musahamah, konsep yang
diterapkan adalah konsep profit and loss sharing (bagi untung-rugi), sementara dalam
akad mudlarabah, konsep yang diterapkan adalah konsep revenue sharing (bagi
hasil). Di dalam musyarakah mensyaratkan pencampuran modal, sementara di dalam
mudlarabah, tidak mensyaratkan adanya penyampuran modal. Kita harus menggaris
bawahi konsep ini agar ke belakang tidak membuat kita terjebak dalam kerancuan
dalam memahaminya.
Sebenarnya, dalam syariat agama kita ada juga
konsep imbal jasa yang ditentukan di depan. Nama dari akad ini adalah akad
ijarah (sewa-menyewa). Jika akad ini diterapkan dalam bentuk obligasi, maka
pihak pemegang saham berhak mendapatkan ujrah (upah) berupa hasil sewa.
Yang jadi persoalan adalah, bagaimana mungkin
obligasi bisa disewakan sementara ia masih berupa surat pernyataan utang dari
perusahaan penerbit (emiten) untuk mewujudkan barang? Barang belum ada, akan
tetapi sudah diambil sewa. Padahal, jika kita menyewakan mobil misalnya, maka
mobilnya harus ada dan tidak boleh tidak. Mobil sendiri juga diketahui
manfaatnya oleh orang yang menyewa sehingga orang yang menyewakan berhak
mendapatkan hasil sewanya. Namun dalam obligasi, keberadaan barang yang berupa
mobil ini masih belum wujud. Apakah boleh menyewakan barang yang belum
berwujud? Apalagi dalam obligasi, pihak pemegang obligasi syariah adalah
berperan selaku pihak yang menyewakan, sementara ia hanya menyetorkan barang
berupa nilai mata uang sejumlah lembar obligasi yang dibeli. Inilah dilematika
obligasi jika diwujudkan dalam akad ijarah tersebut. Mungkinkah ada solusinya,
padahal keuangan dari hasil lelang obligasi tersebut sangat dibutuhkan oleh
perusahaan syariah untuk kepentingan ekspansi usahanya? []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar