“Kompas” dan Nurani Kecendekiaan
Oleh: Haedar Nashir
Tanggal 28 Juni 2019, Harian “Kompas” merayakan ulang tahun ke-54.
Suatu rentang umur yang panjang dalam perjalanan media cetak, yang sarat
pergumulan suka duka. Usia itu jejak hidup, bukan sekadar deret tambah waktu.
Berusia panjang, berarti anugerah berharga dari segala akumulasi keberadaan dan
retasan jalan yang ditempuh Harian “Kompas” untuk terus hadir dalam ikhtiar
mencerdaskan nurani bangsa.
Ketika Kompas selalu memberi penghargaan pada kisah sukses
kecendekiaan anak-anak bangsa, sesungguhnya terbersit spirit untuk senantiasa
merawat nalar. Nalar sebagai kekuatan nurani autentik agar tetap mengedepankan
akal pikiran, pengetahuan, ilmu, dan peradaban umat manusia dalam segala
lintasan ruang dan waktu. Kompas dan segenap media kiranya dapat terus menjadi
penyala obor kecendekiaan di negeri ini.
Mendewasakan nalar
Insan Indonesia saat ini masih perlu mengasah kematangan dirinya
selaku manusia dewasa, bukan hanya dalam bersikap dan bertindak, tetapi mulai
dari merajut nalar. Nalar sebagai potensi berakal dan berpikir, baik
memfungsikan akal sehat dalam kehidupan sehari-hari terlebih dalam pola pikir
keilmuan.
Ketika sebagian anak negeri kehilangan kewarasan nalar karena
pilihan politik dan kepentingan-kepentingan jangka pendek, hal itu sesungguhnya
berhulu dari lemahnya daya nalar yang autentik dan tercerahkan. Nalar autentik
bersumber pada pikiran jernih yang bersumber di hati, sementara pencerahan
akarnya pada kematangan akal-budi secara umum.
Kehidupan berbangsa akhir-akhir ini menunjukkan banyak kontroversi
dan keriuhan yang dangkal. Mereka yang berilmu dalam sosok cendekiawan,
akademisi, bahkan ulama terpapar virus “post-truth” hingga luruh pikiran jernih
dan keilmuannya karena dibalut oleh kecenderungan partisan. Lantas terjebak
pada kenaifan dan kekerdilan berpikir dan bertindak.
Ketika Nabi mengingatkan agar manusia bertanya pada “hatinya yang
jernih” dalam sabda “istafti qalbaka”, terbersit perintah membebaskan hati dari
segala virus inderawi yang membelenggu diri. Ilmu verbalnya dari A sampai Z
tidak menyinari nuraninya, malah menutupinya seperti daki di tubuh.
Ketika masyarakat di zaman mitis —meminjam van Perseun— bertumpu
pada takhayul klasik, boleh jadi saat ini sebagian warga dan elite bangsa
terjangkiti virus takhayul kontemporer dalam pemberhalaan pilihan politik dan
berebut tahta bernuansa kultus atau primordialisme sempit yang mematikan nalar
sehat, keadaban, dan masa depan hidup bersama. Politik dan jabatan kuasa menjadi
perburuan mutlak yang mematikan nurani dan nalar jernih baik atas nama agama,
golongan, maupun kepentingan. Mereka yang secara akademik berlevel tinggi pun
menjadi luruh kecendekiaannya.
Kehidupan politik bukan semata mengalami liberalisasi yang semakin
menggurita, tetapi disertai perangai-perangai elite politik oligarkis dan
kerdil wawasan kenegarawanan. Sulit menghentikan praktik politik transaksional
yang menyandera segala kebajikan dan kepentingan politik luhur kebangsaan
sebagaimana diletakkan fondasinya oleh para pejuang dan pendiri negara yang
termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Sama sukarnya menyadarkan perangai dan
praktik politik provokatif hatta dibalut konstruksi kelimuan yang
menyulut perseteruan, kebencian, permusuhan, dan kegaduhan yang sesungguhnya
mengoyak keutuhan dan rajutan keindonesiaan.
Karena politik hidup-mati bahkan orang-orang yang secara verbal
tergolong dewasa atau bahkan lanjut usia dapat berubah menjadi kekanak-kanakkan
dalam makna hilang akal sehat yang jernih, objektif, adil, dan autentik. Elite
yang pada dasarnya sosok-sosok terpilih cenderung kehilangan sikap bijak,
cerdas, dan tercerahkan yang memberi obor kebajikan bagi sesama dan
lingkungannya. Sebaliknya, malah terbenam ke dunia miopik yang menebar marah,
seteru, benci, gaduh, dan perilaku fanatik kerdil di sekitar. Orientasi
berpikir menjadi ironi antara deret ukur jejak hidup yang semestinya serbautama
dengan deret tambah usia yang nirkearifan. Hasrat kuasa melumpuhkan nurani
keulamaan nan autentik sehingga gagal mikraj ruhani ke tingkat “ulul azmi”.
Dengan semakin tambah usia, baik manusia maupun karya, seyogianya
memancarkan sinar pencerahan akal budi. Satu di antaranya mendewasakan
kecendekiaan yang bermula dari pengakilbaligan nalar sebagaimana diberikan
Tuhan melalui fitrah “qalbu” dan “akal”. Dimulai dari pembudayaan tradisi
“iqra” di tubuh bangsa ini, yang masih jauh panggang dari api. Iqra yang
menyatu dengan kecerahan akal budi dalam wujud perangai dan pola pikir
sekaligus tindakan cerdas berilmu yang jernih. Tradisi iqra yang atas nama
Tuhan selain mampu mencerahkan akal dan pemikiran tetapi juga menyebar rahmat
bagi kehidupan semesta yang melintasi.
Pencerahan berbangsa
Gerak pendewasaan kecendekiaan dapat menjadi tonggak bagi
pencerahan kehidupan berbangsa di negeri ini. Derap kehidupan kekinian,
termasuk dalam kontestasi politik yang baru saja berlalu, telah menguras energi
ruhani anak negeri menjadi kerdil, naif, dan bersumbu pendek. Demokrasi yang
semestinya berjalan bajik dan gembira layaknya kontestasi atau pertandingan,
selain gaduh berubah menjadi perang ideologi dan politik identitas yang
dikonstruksi secara serbamutlak mirip perang di Kuru Setra dalam kisah
Mahabarata.
Keadaban pun luruh oleh sikap politik mengeras diprovokasi media
sosial yang kian liar dan niretika, sehingga anak-anak bangsa seolah kehilangan
patokan moral dan nilai kebajikan yang selama ini menjadi identitas bangsa yang
beragama, ber-Pancasila, dan berbudaya luhur Indonesia. Konstruksi kebajikan
bangsa yang turun temurun menjadi warisan karakter keindonesiaan seakan
berhenti di aras normatif dan mozaik retorika, tidak menjadi “mode for action”
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di dunia nyata.
Syiar keagamaan dan kehadiran tokoh agama sebagian terbawa arus
partisan dalam lalu lintas kepentingan yang entah untuk dan atas nama apa
sesungguhnya terlibat dalam deru perebutan kuasa. Saling klaim dan tuding yang
cenderung stigma dan peyoratif atasnama agama, baik yang ke arah “kiri” atau “kanan”
dalam kategori yang verbal, bukan menjadikan agama sebagai kekuatan pencerah
kehidupan. Sebaliknya menjadi alat legitimasi yang disakralkan yang mengeraskan
perseteruan secara absurd, sehingga umat beragama pun menjadi kerumunan yang
kehilangan induk yang miskin ilmu dan kebajikan.
Primordialisme bangkit
Diam-diam primordialisme agama, golongan, suku bangsa, kedaerahan,
dan segala pengelompokkan sosial yang eksklusif bangkit kembali yang bersenyawa
dengan proses politik liberal yang sejak reformasi menjelma sebagai
sangkar-besi baru yang membelenggu kehidupan kebangsaan. Otonomi daerah yang
kian liberal beraroma federasi kian memperkuat sekat-sekat revitalisme
primordial baru itu. Diksi ancaman “merdeka” dan “referendum” yang meletup di
satu dua daerah ketika proses pemilu 2019 yang cenderung mengeras, menunjukkan
betapa bersumbu-pendek nalar sebagian anak bangsa di negeri ini.
Kita masih dapat mendaftar politisasi hukum dan keadilan yang
tidak jarang dipermainkan oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek oleh siapa
pun, baik yang berada di jaring kekuasaan maupun di luar pagar. Hukum bukan
lagi terkerangkeng oleh praktik deviasi yang tajam ke bawah tumpul ke atas,
sekaligus sebagai alat perjuangan berebut kepentingan yang kehilangan sukma
kebenaran, keadilan, dan esensi fungsi hukum itu sendiri.
Berebut lahan dan kekayaan Indonesia pun kian menunjukkan hukum
Hobbesian, siapa kuat siapa mendapat. Kita senang ada banyak anak bangsa yang
sukses meraih kejayaan di dunia bisnis dan ekonomi, sebagai modal untuk menjadi
bangsa yang mandiri dalam filosofi “tangan di atas lebih baik daripada tangan
di bawah”. Namun, praktik konglomerasi dan oligarki yang hanya asyik membangun
dinasti dan abai terhadap kesenjangan dan derita orang banyak, sungguh menjadi ancaman
serius bagi kebersamaan, keutuhan, dan masa depan Indonesia.
Sungguh menjadi niscaya jika segenap kekuatan strategis bangsa,
termasuk media massa dan organisasi-organisasi non negara, menjadi kekuatan
efektif dalam mendewasakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa Indonesia
dalam dinamika kekinian niscaya “tanwir” —meminjam diksi Muhammadiyah untuk
pencerahan— atau harus memasuki fase apa yang disebut Immanuel Kant sebagai
“sapere aude”, suatu fase keluar dari masa kekanak-kanakan untuk menjadi insan
dan komumitas akil-balig secara akal-budi. Menjadi bangsa dewasa dalam sikap
mental, pemikiran, dan tindakan layaknya sekumpulan manusia berperadaban tinggi
melampaui makhluk Tuhan lain di muka Bumi. []
KOMPAS, 1 Juli 2019
Haedar Nashir | Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar