Mengenal
Kitab Ushul Fiqh ‘Al-Mustashfa’ Karya Imam al-Ghazali
Al-Ghazali
bernama lengkap Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thûsî al-Syâfi’î.
Ia lahir di Thûs pada tahun 450 H dan wafat serta dikebumikan di kota yang
sama pada tahun 505 H, pada kisaran usia 52-55 tahun. (As Subki, Thabaqat
Asy Syafi’iyah: 6/191).
Ada
dua riwayat yang menyebutkan penisbatan beliau dengan al-Ghazalî.
Pertama, disebabkan karena ayah Imam al-Ghazali adalah seorang pemintal bulu
kambing. Pemintal dalam istilah Mu’jamu al-Arab disebut Ghazala.
Ahli pintal dikenal dengan istilah Ghazâl. Jadi, nisbat al-Ghazâlî seolah
menunjuk pada keahlian sang ayah sebagai juru pintal. Ibnu Imad menjelaskan ini
dalam kitabnya Syadzarâtu al-Dzahab fi Akhbâri Man Dzahab, juz 6
halaman 19. Riwayat kedua menghubungkan nisbah al-Ghazâlî dengan desa
tempat al-Ghazali dilahirkan yaitu Ghazâlah, sebuah kota yang menjadi bandar
dari kota Thûs, yang berada di wilayah Khurasân, Persia (Iran).
Pendidikan
al-Ghazali diawali dengan berguru di kepada seorang sufi besar di masanya,
yaitu Ahmad bin Muhammad al-Razikânî. Berikutnya, ia masuk ke sebuah ribath yang
diasuh oleh Syeikh Yusuf Al-Nasaj. Setelah tamat, kemudian ia melakukan rihlah
ilmiahnya yang diawali ke kota al-Jurjân, lalu berguru kepada Abu Nashr
al-Ismâ’ily. Beberapa kitab hadits yang sempat dipelajarinya adalah sebagai
berikut:
1.
Shahih Bukhâri, dipelajari dari Abû Sahl Muhammad ibn Abd allâh al-Hafsh
dan Abû al-Fatyân Umar al-Ruasâi. Khusus dari ulama’ terakhir, ia juga
mempelajari Shahih Muslim
2.
Sunan Abu Dawud dari al-Hâkim Abû Fath al-Hâkimî
3.
Maulid Nabi dari Abû Abdillah Muhammad ibn Muhammad al-Khawwâni
Di
usia 20 tahun ia pergi dari al-Thûs menuju ke pusat kota Nisabûr, yang saat itu
menjadi kota ilmu pengetahuan yang masyhur hingga hancurnya oleh tentara Mongol
di Tahun 1256 M. Di kota ini ia masuk di Universitas Nidhâmiyah, dan berguru
kepada Abu al-Ma’âlî al-Juwaini (Imam Haramain) sampai beliau wafat kurang lebih
tahun 478 H (1084 H). Di al-Nidhâmiyah inilah, kemudian al-Ghazali diangkat
sebagai guru besar madrasah itu, yaitu pada tahun 1090 M/482 H dan berlangsung
selama 6 tahun. Tahun 488 H, beliau memutuskan kembali ke tanah kelahirannya
yaitu al-Thûs lalu mendirikan sebuah khanaqah (semacam tempat tajrîbah/latihan
bagi para sufi yang ingin mempelajari dzikir dan olah batin). Seluruh
perjalanan ini, terangkum dengan baik di dalam kitabnya yang berjudul al-Munqîdz
min al-Dlalâl. (Al-Ghazali, Al-Munqidz Min al-Dhalal, Kairo: Dar
al-Nasr Li Taba’ah 1968, 75).
Al-Ghazali
dalam perjalanan intelektualnya, dikenal sebagai sosok ulama terkemuka yang
menguasai berbagai bidang keilmuan termasuk ilmu kalam, filsafat, sastra,
manthiq, fiqih, ushul fiqih, hadits, bahkan seorang teolog. Karena daya
ingatnya yang kuat dan mampu berdialog dengan baik, maka ia mendapatkan gelar
sebagai hujjatu al-islâm oleh para tokoh di zamannya, sebagai bentuk
penghargaan atas perannya yang besar dalam mewarnai pemikiran umat Islam kala
itu. Al-Isnawi dalam kitab Thabaqat-nya sebagaimana dikutip oleh Ibnu
Imad menggambarkan sosok al-Ghazali sebagai berikut:
الغزّالي
إمام باسمه تنشرح الصدور، وتحيا النفوس، وبرسمه تفتخر المحابر وتهتزّ الطّروس،
وبسماعه تخشع الأصوات وتخضع الرؤوس ولد بطوس، سنة خمسين وأربعمائة، وكان والده
يغزل الصّوف ويبيعه في حانوته
Artinya:
“Al-Ghazzali adalah seorang imam yang dengan namanya dada menjadi lapang, jiwa
menjadi hidup, tinta-tinta menjadi berbangga ketika menulis namanya,
kertas-kertas terguncang mendengar namanya, suara-suara akan jadi khusyuk dan
kepala-kepala akan tertunduk. Beliau dilahirkan di Thus tahun 450 H. Ayahnya
menenun bulu dan menjualnya di tokonya.” (Ibnu Imad, Syadzarâtu
al-Dzahab fi Akhbâri Man Dzahab, Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah, tt.:
Juz 6 halaman 19)
Al-Ghazali
memiliki banyak karya tulis. Beberapa karya yang menjadi masterpiece-nya dan
terkenal di Indonesia adalah kitab Ihyâ Ulûm al-Dîn. Ada juga karya yang
lain, dan turut terkenal dan diajarkan di pesantren-{pesantren nusantara antara
lain Bidâyat al-Hidâyah, Minhâj al-‘Abidîn, al-Munqîdz min al-Dlalâl dan
al-Wasîth dan al-Wajîz. Di dalam ushul al-fiqh, al-Ghazali memiliki sejumlah
karangan antara lain al-Mustashfa, al-Mankhul, al-Ma’lul fi
ikhtilifayah, Tahdzîb al-Ushûl, dan Shifâu al-Ghalil.
Sebenarnya masih banyak kitab karya yang lain, namun dari kesekian kitab itu
masih agak jarang ditemui di dunia pesantren selain empat kitab yang telah
disebutkan di atas.
Untuk
mengetahui pemikiran maqâshid dari al-Ghazali, maka kitab rujukan yang paling
disarankan adalah kitab al-Mustashfa. Kitab ini disusun kurang lebih 900
halaman. Di dalam kitab ini, Al-Ghazali seolah menunjukkan kapasitasnya sebagai
ahli dalam bidang ushul al-fiqh. Penting diketahui bahwa al-Ghazali merupakan
sosok pemikir dan tasawuf yang bermadzhab al-Syâfi’i. Oleh karena itu,
disarankan bagi para pembaca yang menginginkan untuk mendalami kitab ini, agar
membingkaikan diri terlebih dahulu dengan pagar madzhab ini sehingga dapat
menyerap apa yang dimaksudkan oleh al-Ghazali di dalam kitabnya.
Kandungan
Kitab al-Mustashfa
Kitab
al-Mustashfa karya Imam al-Ghazali menjadi bukti kualitas dan kapabilitas
sang pengarang di bidang fiqih. Di bagian akhir kitab al-Mustashfa, Imam
al-Ghazâli menyebutkan bahwa kitab tersebut selesai ditulis pada tahun 503 H.
Berbekal informasi ini dan bersandarkan pada publikasi ilmiah bahwa kitab
tersebut ditulis selama tiga tahun, maka dapat disimpulkan bahwa beliau memulai
proyek risetnya ini kurang lebih pada tahun 499 H.
Pada
tahun 499 H, al-Ghazâlî mendapat permintaan dari para mahasiswanya di
Universitas Nidhâm al-Mulk agar menulis sebuah kitab pegangan (semacam diktat)
tentang metode penggalian hukum Islam. Berbekal permintaan inilah, lalu dijawab
oleh al-Ghazâli dengan menghadirkan kitab al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushûl.
Jika menilik dari tahun akhir penulisan, maka kurang lebihnya al-Mustashfa
adalah kitab akhir dari karya beliau. Kitabnya ditulis dalam kondisi alam
pemikiran yang sudah benar-benar matang (Louay Safi, The Foundation of
Knowledge; A Comaparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry,
Selangor: IIUM dan IIIT, 1996, hal: 8-9).
Melihat
dari judul kitabnya “al-Mustashfa” yang berarti upaya menuju kondisi shafiyun
(bersih), maka seolah kitab ini menggambarkan akhir perjalanan hidup beliau
yang sempat menyatakan diri keluar dari Universitas Nidhâm al-Mulk untuk
berkonsentrasi pada dunia ketasawufan. Dan apabila melihat bahwa kitab ini
disandarkan pada satu disiplin ilmu ushûl al-fiqh, maka seolah kitab ini beliau
hadirkan sebagai wujud metode menempuh jalan pemurnian hati melalui pola
penggalian hukum fiqih. Dan sebagaimana pernah beliau sampaikan bahwa maqâshid
syarîah pada dasarnya adalah upaya mencapai kesejahteraan (sabîli
al-ibtida’), maka yang dimaksud oleh beliau sebagai kesejahteraan olehnya
adalah tidak jauh amat dari nama salah satu judul kitabnya yaitu upaya
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (sa’âdah fi
al-dunya wa sa’âdah fi al-âkhirat). Hal ini tertuang sebagaimana isi dari
kitab Kimiyâu al-Sa’âdah li al-Ghazâli.
Kitab
al-Mustashfa disusun dengan penggunaan gaya bahasa yang imbang antara
sulit dan mudah. Sistematika penyusunan kitabnya juga unik, karena terkesan
rapi dan penyelidikan isi yang cermat. Isi kitab seolah membawa daya tarik
tersendiri kepada pembacanya untuk terus-menerus membaca, bahkan jauh dari
kesan membosankan, meskipun uraiannya panjang. Pantaslah kiranya kalau
al-Juwaini menjuluki Imam al-Ghazali sebagai al-bahru maghrûq (samudera
yang menenggelamkan). Pembaca karyanya tidak terasa seperti terhipnotis atas
uraiannya sehingga sulit untuk mencari titik lemahnya. Istilah zaman sekarang
adalah “diam-diam menghanyutkan”. Itulah kiranya padanan julukan dari
al-Juwaini ini kepada al-Ghazâli.
Jika
umumnya para penulis ushul fiqh memulai bahasannya mengenai bahasa hukum dan
premis-premis kebahasaan dalam penalaran hukum, lalu dilanjutkan dengan kajian dilâlatu
al-ahkâm (dalil-dalil hukum), ikhtilâf dan ittifâq di dalam
hukum, ijtihad dan mujtahid serta syarat mujtahid, lalu taqlid dan diakhiri
dengan metode tarjîhât al-ahkâm, namun semua itu tidak dengan al-Ghazâli dalam
kitab al-Mustashfa ini. Kitab al-Mustashfa diorganisasikan dalam
apa yang disebut dengan istilah “quthub.” Al-Ghazali mendefinisikan quthub
sendiri sebagai sesuatu yang memuat substansi yang dituju (والأقطاب هي المشتملة على لباب المقصود).
Kurang
lebih ada 4 quthub dalam al-Mustashfa. Mungkin maksud pengorganisasian
ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa semua materi yang dikaji dalam
tiap-tiap quthub-nya adalah berhubungan erat antara satu sama lain membentuk
suatu kesatuan bahasan dalam satu ide sentral yang menjadi topik utama kajiannya.
Lantas
apa sebenarnya tujuan utama beliau dalam membagi kajian ushul fiqih menjadi 4
quthub ini? Asumsi dasar penulis kemungkinan hal itu ditujukan untuk menjawab
empat dasar pertanyaan dasar ushul fiqih, antara lain:
1)
Apakah hukum syar’i itu?
2)
Di mana hukum syar’i itu ditemukan atau apa sumber hukum syar’i itu?
3)
Bagaimana cara (metode) menemukan hukum dari sumber hukum syar’i?
4)
Siapa yang berwenang melakukan penemuan hukum syar’i dari sumber-sumber hukum
tersebut?
Keempat
pertanyaan inilah yang menyebabkan bahasan al-Mustashfa dibagi menjadi 4
quthub. Dengan berbekal pertanyaan ini, maka seolah al-Mustashfa memang
hadir tidak lepas dari setting sosial al-Ghazâli sendiri yang sangat panjang
dan bahkan sempat menggambarkan dunia eskatisme yang pernah beliau alami saat
beliau memutuskan berhenti dari mengajar di Universitas Nidhâm al-Mulk untuk
menekuni dunia tashawuf dan tazkiyâtu al-nafs (pembersihan jiwa).
Pada
bagian awal muqaddimah kitab, al-Ghazâli membaginya menjadi tiga
sub-pembahasan. Di sub pertama, ia menjelaskan latar belakang dan motif mengapa
ia menulis kitab ini (hal. 8-10). Sub kedua, ia membahas mengenai apa itu usul
fiqih, kedudukannya dalam struktur ilmu-ilmu keislaman, sistematika dan ruang
lingkup kajian ushul fiqh (hal. 11-18). Di bagian sub ketiga, al-Ghazâli
membahas mengenai logika Yunani. Di bagian sub ketiga ini, beliau menjelaskan
banyak hal tentang logika dengan sangat menarik hingga mencapai kurang lebih 40
halaman tersendiri (hal. 19-68).
Quthub
pertama al-Mustashfa membahas tentang hukum syar’i. Di bagian ini, ia
membagi kajian menjadi empat pokok bahasan utama. Pokok bahasan pertama,
membahas mengenai hakikat hukum itu sendiri sebagai khithab syar’î (sapaan
Ilahi) yang ditujukan kepada perbuatan subjek hukum (mukallaf). Tanpa
adanya khithab syar’i, maka tidak ada hukum (hal. 68-80).
Pada
pokok bahasan pertama, al-Ghazâli membahas mengenai pembagian hukum. Pembahasan
ini diawali dengan sebuah diskusi pendahuluan mengenai hukum wajib, sunnah,
mubah, makruh dan haram. Pembahasan dilanjutkan dengan membahas 15 masalah yang
keseluruhannya membicarakan mengenai korelasi dari kelima hukum dengan lafadh amar
(perintah) dan nahî (larangan) (hal. 80-100).
Pada
pokok bahasan ketiga, ia membahas mengenai ‘anâshir al-ahkâm yang di
dalam istilah al-Ghazâli disebut arkân al-hukm yang memuat materi hukum itu
sendiri. Menurut al-Ghazâli, hukum itu memiliki beberapa rukun, antara lain
adalah adanya al-hâkim (pembuat hukum), subjek hukum (al-mahkûm
‘alaih) dan objek hukum (al-mahkûm fîh). Pembahasan arkânu
al-hukm ini dibahas sampai 11 lembar (hal. 100-111). Berikutnya, di pokok
bahasan keempat, al-Ghazâli mengajukan sebuah diskusi tentang dialektika
sebab-sebab hukum dan hubungan hukum dengan sebab-sebab tersebut. Imam
al-Ghazâli mengistilahkannya dengan sebutan hukum wadl’i (hal. 111-118).
Pembahasan
dari al-Mustashfa ini sangat menarik untuk dicermati. Cakupannya luas,
dan insyaallah dalam beberapa edisi tulisan mendatang, kita akan berkonsentrasi
pada kitab ini untuk menggali maqâshid al-Ghazâli, mengingat Indonesia
pada khususnya, dan Nusantara pada umumnya, banyak yang menggunakan karya
beliau sebagai bagian dari kurikulum yang diajarkan di setiap pesantren.
Bagaimana sikap beliau dengan manhâj iqtishâd-nya (metode “tengah-tengah”),
mungkin akan banyak mewarnai tulisan-tulisan mendatang. Wallâhu a’lam.
[]
Ustadz
Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan Wakil
Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar