Riba dalam Jual Beli Tempo
dan Solusinya
Dalam literatur fiqih klasik, riba dalam jual
beli tempo ini dikenal sebagai riba al-nasa’. Di antara definisi ini
disampaikan oleh Syekh Zakaria Al-Anshary, sebagai berikut:
ربا
النساء وهو البيع لأجل
Artinya: “Riba al-nasa’ adalah riba akibat
jual beli barang ribawi karena adanya tempo.”
Yang dimaksud dengan tempo ini di sini adalah
tempo dalam pembayaran barang yang dibeli. Adakalanya, jual beli ini dilakukan
dengan barang sejenisnya atau tidak dengan barang sejenisnya. Sebagai ilustrasi
dari jual beli tempo yang dimaksud dalam tulisan ini, simak contoh kasus
berikut ini!
Pak Husein menjual emas yang dimilikinya
seberat 1 kilogram kepada Pak Husnan dengan harga disepakati 50 juta rupiah.
Pak Husein menyerahkan emasnya kepada Pak Husnan, namun harganya baru
diserahkan selang satu bulan berikutnya. Setelah jatuh tempo, ternyata Pak
Husnan belum memiliki uang sebesar 50 juta tersebut. Sementara itu, harga jual
emas mengalami kenaikan sebesar 55 juta rupiah per kilogram. Selanjutnya Pak
Husein berkata kepada Pak Husnan, akankah dihentikan transaksinya dengan resiko
Pak Husnan membayar ke Pak Husein sebesar 50 juta rupiah, ataukah dilanjut
dengan menambah tempo 1 bulan lagi, dengan resiko Pak Husnan memiliki kewajiban
membayar harga emas menjadi sebesar 55 juta rupiah.
Naiknya harga emas dari 50 juta rupiah
menjadi 55 juta rupiah saat jatuh tempo sehingga menyebabkan harga jual beli
barang menjadi berubah ini dikenal sebagai riba al-nasa’. Seolah, perubahan
harga ini berwujud sebagai tambahan harga yang diakibatkan perubahan tempo.
Oleh karena inilah, kemudian, riba al-nasa’ disebut sebagai riba jahiliyyah,
disebabkan karena faktor ketidakpastian/ketidaktahuan harga saat
pembayaran/jatuh tempo.
Beberapa ulama’ menyamakan riba al-nasa’ ini
sebagai riba qardli, yaitu riba yang diperoleh dari jalur hutang piutang.
Contoh misalnya: hutang uang di tahun 1990 sebesar 1 juta rupiah. Saat itu,
uang sebesar itu bisa digunakan untuk membeli rumah tipe sederhana. Ternyata Si
Peminjam tidak bisa segera mengembalikan uang yang dipinjamnya dalam waktu dekat.
Ia baru bisa mengembalikan setelah tahun 2018. Padahal, nilai tukar uang 1 juta
rupiah mengalami kemerosotan yang tajam. Jangankan untuk membeli rumah, untuk
membeli kambing saja, uang sebesar itu tidaklah mencukupi. Lantas bagaimana
solusi penyelesaiannya? Apakah dibayar dengan uang sebesar 1 juta rupiah,
ataukah harus dibayar dengan jalan mencari standart harga rumah tipe sederhana
yang sekira bisa mewakili kondisi nilai tukar uang sebesar 1 juta rupiah di
tahun 1990?
Ternyata solusi yang ditawarkan ulama’ adalah
dengan membayar qiimah, yaitu nilai uang. Berikut kita ambil petikan dari kitab
Al-Mughny al-Muhtaj: 119:
ويرد) فى القرض (المثل فى المثلى) لأنه أقرب إلى حقه ولو فى نقد
بطل التعامل به (و) يرد (فى
المتقوم المثل صورة) لأنه اقترض بكرا ورد رباعيا وقال إن خياركم أحسنكم قضاء -
رواه مسلم
Artinya: “Hutang dikembalikan dengan rupa al-mitslu
fi al-mitsly (sama wujud barangnya), karena kedekatannya dengan hak orang
yang memberi hutang (muqridl), meskipun dalam kasus emas dan perak yang
batal muamalahnya. Demikian juga, barang nominal (mutaqawwam)
dikembalikan dengan barang yang sama wujudnya (sama-sama mutaqawwam),
karena beliau Nabi SAW pernah meminjam unta bakar dikembalikan dalam rupa unta
ruba’iy (sama-sama untanya), kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya, orang
paling baiknya kalian adalah orang yang paling bagus dalam membayar hutangnya.”
HR. Muslim. (Syekh Muhammad Khotib Al-Syirbiny, Mughny al-Muhtāj ilā
Ma’rifati Ma’āniy Alfādhi al-Minhāj, Beirut: Daru al-Fikr, tt: 119!)
Maksud dari ibarat ini adalah bahwa jika ada
seorang hamba Allah meminjam uang (qiimah) kepada saudaranya yang lain, maka di
tahun berapapun pengembalian itu, maka ia harus mengembalikan sejumlah
nilainya. Adapun bila ia meminjam wujud emas (mutaqawwam), maka ia juga
harus mengembalikan hutangnya dalam rupa emas.
Persamaan antara riba al-nasa' dan
riba qardl
Dalam riba al-nasa’, orang yang menyerahkan
emas (Pak Husein) untuk dibeli dengan kesepakatan harga sebesar 50 juta rupiah
saat akad, pada dasarnya ia tidak tengah menghutangkan emas kepada pihak yang
diberi (Pak Husnan), melainkan ia tengah menghutangkan uang sebesar 50 juta
rupiah. Dengan demikian, Pak Husnan - yang dalam kasus riba al-nasa’ berperan
selaku pembeli - pada dasarnya ia bertindak selaku pihak yang berhutang sebagaimana
dalam kasus riba al-qardly. Oleh karena itu, hutang yang semestinya ditanggung
adalah sebesar 50 juta rupiah. Mengaitkan harga jual emas saat jatuh tempo
dengan memperbarui akad jual sehingga merubah nilai tanggungan yang diperoleh
oleh Si Pembeli/Penghutang, adalah sama kedudukannya dengan menambah nilai
hutang yang dimiliki oleh pihak penghutang disebabkan keterlambatan pembayaran
saat jatuh tempo.
Bagaimana dengan syarat bahwa untuk kasus
jual beli tempo barang ribawi tidak sejenis, maka harus mutlak hulul (kontan)
dan taqābudl?
Untuk menjawab ini, perlu dihadirkan satu
ilustrasi lain. Sebagaimana diketahui bahwa yang dimaksud barang ribawi adalah
emas, perak dan bahan makanan. Sebuah kebiasaan yang terjadi di masyarakat
adalah terkadang masyarakat kecil tidak memiliki uang kontan untuk membeli
beras yang menjadi kebutuhan pokok hidup berkeluarga. Terkadang mereka harus
berhutang ke toko hanya untuk mendapatkan barang kebutuhan itu. Suatu ketika ia
datang ke toko untuk hutang beras sebanyak 20 kg dengan harga jual 10 ribu
rupiah per kilogramnya. Setelah mendekati bulan puasa, yang mana harga
kebutuhan terkadang naik, ternyata harga beras berubah menjadi 10.500 rupiah
per kilogram. Berapakah uang yang harus dikembalikan ke pemilik toko? Jawabnya
adalah sebesar 20 kg dikalikan dengan 10 ribu rupiah sehingga total sebesar 200
ribu rupiah dan bukan sebesar 215 ribu rupiah.
Berangkat dari kasus ini, seandainya yang
dimaksud dengan hulul (kontan) adalah bahwa harus serah terima uang dan barang
di majelis akad seketika, maka betapa susahnya masyarakat kecil harus hidup,
karena tidak boleh hutang beras ke toko. Inilah yang mendasari bahwa pengertian
hulul (kontan) dan taqabudl (saling menerima) sebagaimana kasus di atas
adalah dengan mengikuti batasan makna yang disampaikan oleh Syekh Zakaria
Al-Anshary dalam kitab Asna al-Mathalib fi Syarhi Al-Raudlu al-Thalib,
sebagai berikut:
وشرط
الحلول والتقابض والمراد بالتقابض ما يعم القبض حتى لو كان العوض معينا كفى
الاستقلال بالقبض
Artinya: “Disyaratkan kontan dan saling
menerima. Yang dimaksud dengan al-taqabudl adalah suatu pernyataan yang memberi
pengertian umum penerimaan sehingga seandainya “nilai tukar” sudah ditentukan
(disepakati), maka cukup dengan penerimaan saja (istiqlal bi al-qabdli).”
(Syekh Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Asna al-Mathalib fi Syarhi Al-Raudlu
al-Thalib, Beirut: Daru al-Fikr, tt.: 2/23!)
Maksud dari ibarat di atas adalah, batas
syarat minimal bolehnya berlaku muamalah jual beli barang ribawi yang berbeda jenis,
adalah salah satu dari barang yang hendak diperjualbelikan adalah harus bisa
diterima di tempat. Dengan demikian, jika pengertian ini kita gabung dengan
ibarat dari kitab Mughny al-Muhtaj di atas, adalah: apabila terjadi
keterlambatan pembayaran dalam jual beli tempo, maka penjual tidak boleh
menetapkan tambahan kepada pembeli, karena tambahan tersebut merupakan
riba.
Dalam pembahasan di atas disebutkan bahwa
seandainya terjadi penundaan pembayaran, maka harga yang dibayar secara tunda
tersebut adalah sama kedudukannya dengan hutangnya pembeli kepada penjual,
dengan syarat bila telah disepakati harga penerimaannya. Syarat hutang adalah
harus ma’lum dengan besaran hutangnya. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ menyampaikan
sebagai berikut:
ولا
يصح القرض إلا فى مال معلوم فإن أقرضه دراهم غير معلومة الوزن أو طعاما غير معلوم
الكيل لم يصح لأنه إذا لم يعلم قدر ذلك لم يمكنه القضاء
Artinya: “Tidak sah suatu hutang piutang
kecuali dalam wujud harta yang diketahui (jumlahnya). Oleh karena itu, jika
seorang hamba menghutangkan dirham ke hamba Allah yang lain tanpa diketahui
timbangannya, atau makanan yang tidak diketahui takarannya, maka akad hutang
piutang tersebut tidak sah. Karena ketidaktahuan kadar, adalah sama dengan
ketidakmungkinan untuk pelunasan.” (Muhyiddin Abu Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, al-Majmu’,
Daru al-Salafiyah, tt.: 13/168-169)
Dengan ibarat ini, maka jelas sudah bahwa
yang dimaksud sebagai hulul adalah tidak serta merta harus kontan.
Dengan demikian, jual beli barang ribawi tidak sesama jenis, boleh dilakukan
dengan jalan penundaan penyerahan harga, namun dengan syarat bahwa harga deal
penerimaan barang harus sudah mu’ayyan-ma’luuman.
Riba al-nasa’ terjadi manakala jatuh tempo
pembayaran harga, kemudian penjual mensyaratkan penambahan harga kepada pembeli
disebabkan perubahan harga yang sudah ditentukan di awal menjadi harga kedua,
yaitu harga saat jatuh tempo. Inilah riba al-nasa’ yang di sisi lain juga masuk
di dalam bagian riba ini adalah riba qardli, yaitu riba karena hutang-piutang. Wallahu
a’lam bi al-shawab. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, JATIM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar