Selasa, 06 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Penjelasan soal Jual Beli dengan Akad Salam


Penjelasan soal Jual Beli dengan Akad Salam

Jual beli barang yang belum ada di tempat transaksi, dan hanya diketahui spesifikasinya, namun bisa dijamin dikenal dengan istilah akad salam. Sebagian ahli fiqih menyebutnya akad salaf. Dalam beberapa kitab fiqih juga ditengarai sebagai bai’un maushufun fi al dzimmah. Bagaimana sebenarnya penjabaran dari akad ini?

Jual beli adakalanya dilakukan langsung antara penjual dan pembeli dalam bentuk pertemuan langsung (wahdatu al majlis) dan kondisi barang yang langsung ada di tempat. Jual beli seperti ini dikenal dengan istilah akad bai’u ainin musyahadah, yaitu jual beli barang yang riel dan bisa dilihat dan disaksikan langsung oleh pembeli. 

Sementara itu, ada juga model jual beli yang dilakukan melalui jalan pertemuan langsung penjual dan pembeli di satu majelis atau melalui kontak berbeda majelis dengan perantara media (misalnya handphone), namun barang yang dibeli belum ada di tempat sehingga pembeli tidak bisa melihat langsung barang dagangan.. Jual beli seperti ini disebut dengan istilah bai’un maushufun fi al dzimmah. Akadnya disebut akad salam, yaitu akad pemesanan / order. Biasanya, penjual hanya menyebutkan ciri dan spesifikasi barangnya kepada pembeli. Selanjutnya, pembeli memilih sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan dari pedagang, baru kemudian penjual mencarikan spesifikasi barang yang dikehendaki oleh pembeli. Yang menjadi faktor pembeda antara jual beli model pertama dengan akad salam adalah, keberadaan jaminan (dzimmah) terhadap barang yang diberikan oleh penjual. 

Ada dua pengertian jaminan (dzimmah) di sini yaitu: 

• Barang yang dijual, sudah menjadi milik penjual sendiri sehingga penjual berhak menjualnya.

• Barang yang dijual, belum menjadi milik penjual sendiri. Namun, penjual merupakan wakil dari pihak ketiga untuk menjualkan barangnya. Dan karena status sebagai wakil inilah, maka penjual disamakan dengan pemilik. Pembahasan lebih lanjut soal akad mewakilkan akan dibahas pada bab wakalah kelak.

Karena barang ada dalam tanggungan/jaminan dari pedagang, maka pedagang bisa menetapkan harga pokok barang. Dengan demikian, maka rukun dari akad jual beli barang sebagaimana disebutkan dalam akad kedua ini adalah:

• Dua orang yang berakad (pemesan dan yang dipesani)
• Adanya lafadh transaksi yang terdiri atas akad ijab dan qabul
• Barang yang dipesan lengkap dengan spesifikasinya (al-muslam fiih)
• Harga pokok (ra’su al-maal)

Nah, sampai di sini, adat umum yang berlaku di masyarakat, adalah akad pemesanan barang sering dimaknai sebagai pemesanan barang yang belum ada di tempat, sementara pihak penjual diminta untuk mencarikan barang. Barang ditetapkan spesifikasinya oleh pemesan. Jadi seolah bahwa pihak penjual ini sebagai orang suruhan (wakil) dari pembeli untuk mencarikan barang. Jika berlaku sebagai orang suruhan, maka seharusnya penjual ini berhak menerima upah (ujrah). 

Praktik yang juga sering terjadi, penjual mengambil keuntungan sendiri dari hasil membelikan barang tersebut dalam bentuk menjual barang ke pemesan. Akhirnya terjadi tumpang tindih akad, yaitu akad menghutangi pihak yang menyuruh, ditambah dengan akad menjual kembali barang tersebut kepada yang menyuruh. Berangkat dari akad menghutangi ini, kemudian dilanjutkan menjual kepada yang menyuruh, maka terjadi dualisme hukum fiqih, yaitu:

Pertama, apabila orang yang disuruh menetapkan syarat kepada pihak pemesan, bahwa bila sudah mendapat barang, ia akan mengambil laba dari hasil penjualan barang kepada pemesan, maka akad yang berlaku dengan model semacam, adalah termasuk akad riba disebabkan keberadaan syarat pengambilan keuntungan. Sebagaimana hal ini masuk kategori bai’un wa salafun, yaitu akad jual beli yang disertakan dalam syarat akad pemesanan.

Kedua, apabila penjual tidak menetapkan syarat bahwa ia boleh mengambil keuntungan dari pemesan, sehingga secara langsung pihak yang menyuruh menetapkan harga beri ke orang yang menyuruh, maka akad seperti ini masuk kategori akad jual beli yang disertai dengan janji untuk dibeli. Akad semacam ditengarai sebagai bai’un bi al-wa’di li al-syira’. Biasanya akad ini sering dipergunakan dalam praktik akad inden barang yang belum jadi (istishnā’iy). Misalnya, seseorang berkata kepada temannya: “Buatkan aku komputer dengan spesifikasi A, nanti akan aku beli.” Akad semacam ini masuk kategori boleh.

Bagaimana akad salam seharusnya dilakukan?

Yang dimaksud dengan akad pemesanan sebagaimana dibahas dalam tulisan kali ini adalah pemesanan dengan akad salam, atau baiun maushūfun fi al-dzimmah. Jadi, untuk sementara kita abaikan dulu dua akad pemesanan sebagaimana dua contoh di atas dalam kasus barang belum ada di tempat dan belum bisa dijamin keberadaannya.

Langkah-langkah praktis yang bisa ditempuh untuk melakukan akad salam adalah sebagai berikut:

• Penjual menunjukkan spesifikasi barang dengan sejumlah pilihan kepada pembeli. Dalam setiap spesifikasi, ditetapkan harga jual barangnya. Misalnya: Komputer dengan spesifikasi A, harga jualnya 10 juta rupiah. Komputer dengan spesifikasi B, harga jualnya 12 juta rupiah. Demikian seterusnya, masing-masing dengan spesifikasi yang jelas. 

• Pembeli selanjutnya menentukan pilihan spesifikasi yang dikehendaki lengkap dengan harga yang disepakati / harga tertera.

• Setelah ditentukan pilihannya dan ditetapkan harganya, penjual mencarikan barang yang dipesan tersebut di “gudang penyimpanan”, atau “rekanan yang dimilikinya yang mana ia bertindak selaku wakil dari rekanan tersebut”. 

• Pihak pemesan boleh untuk tidak menyerahkan uang dulu kepada penjual, atau sebaliknya ia boleh menyerahkan uang harga beli barang tersebut secara kontan saat itu juga.

• Akad jual beli bisa dibatalkan bila barang tidak sesuai dengan spesifikasi harga yang dipesan. Bila barang sudah diterima oleh pemesan, maka pembeli bisa mengembalikan barang tersebut kepada penjual sehingga ia menerima kembali uang yang dibayarkan.

Demikianlah sekelumit praktik akad pemesanan barang dengan akad salam yaitu jual beli suatu barang yang diketahui spesifikasinya dan dalam tanggungan penjual. Jual beli seperti ini hukumnya adalah sah. Syarat jual beli berupa barang yang harus sudah menjadi milik penjual bisa digantikan perannya oleh jaminan pembeli (dzimmah). Jaminan yang dimaksud di sini ada dua, yaitu : 1. jaminan berupa barang sudah tersedia di gudang penjual, dan 2. jaminan bahwa barang ada di “gudang rekanan penjual” yang diwakilinya. 

Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar