Penjelasan
soal Jual Beli dengan Akad Salam
Jual beli barang yang
belum ada di tempat transaksi, dan hanya diketahui spesifikasinya, namun bisa
dijamin dikenal dengan istilah akad salam. Sebagian ahli fiqih menyebutnya akad
salaf. Dalam beberapa kitab fiqih juga ditengarai sebagai bai’un maushufun fi
al dzimmah. Bagaimana sebenarnya penjabaran dari akad ini?
Jual beli adakalanya
dilakukan langsung antara penjual dan pembeli dalam bentuk pertemuan langsung
(wahdatu al majlis) dan kondisi barang yang langsung ada di tempat. Jual beli
seperti ini dikenal dengan istilah akad bai’u ainin musyahadah, yaitu jual beli
barang yang riel dan bisa dilihat dan disaksikan langsung oleh pembeli.
Sementara itu, ada
juga model jual beli yang dilakukan melalui jalan pertemuan langsung penjual
dan pembeli di satu majelis atau melalui kontak berbeda majelis dengan
perantara media (misalnya handphone), namun barang yang dibeli belum ada
di tempat sehingga pembeli tidak bisa melihat langsung barang dagangan.. Jual
beli seperti ini disebut dengan istilah bai’un maushufun fi al dzimmah. Akadnya
disebut akad salam, yaitu akad pemesanan / order. Biasanya, penjual hanya
menyebutkan ciri dan spesifikasi barangnya kepada pembeli. Selanjutnya, pembeli
memilih sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan dari pedagang, baru kemudian
penjual mencarikan spesifikasi barang yang dikehendaki oleh pembeli. Yang
menjadi faktor pembeda antara jual beli model pertama dengan akad salam adalah,
keberadaan jaminan (dzimmah) terhadap barang yang diberikan oleh penjual.
Ada dua pengertian
jaminan (dzimmah) di sini yaitu:
• Barang yang dijual,
sudah menjadi milik penjual sendiri sehingga penjual berhak menjualnya.
• Barang yang dijual,
belum menjadi milik penjual sendiri. Namun, penjual merupakan wakil dari pihak
ketiga untuk menjualkan barangnya. Dan karena status sebagai wakil inilah, maka
penjual disamakan dengan pemilik. Pembahasan lebih lanjut soal akad mewakilkan
akan dibahas pada bab wakalah kelak.
Karena barang ada
dalam tanggungan/jaminan dari pedagang, maka pedagang bisa menetapkan harga
pokok barang. Dengan demikian, maka rukun dari akad jual beli barang
sebagaimana disebutkan dalam akad kedua ini adalah:
• Dua orang yang
berakad (pemesan dan yang dipesani)
• Adanya lafadh
transaksi yang terdiri atas akad ijab dan qabul
• Barang yang dipesan
lengkap dengan spesifikasinya (al-muslam fiih)
• Harga pokok (ra’su
al-maal)
Nah, sampai di sini,
adat umum yang berlaku di masyarakat, adalah akad pemesanan barang sering
dimaknai sebagai pemesanan barang yang belum ada di tempat, sementara pihak
penjual diminta untuk mencarikan barang. Barang ditetapkan spesifikasinya oleh
pemesan. Jadi seolah bahwa pihak penjual ini sebagai orang suruhan (wakil) dari
pembeli untuk mencarikan barang. Jika berlaku sebagai orang suruhan, maka
seharusnya penjual ini berhak menerima upah (ujrah).
Praktik yang juga
sering terjadi, penjual mengambil keuntungan sendiri dari hasil membelikan
barang tersebut dalam bentuk menjual barang ke pemesan. Akhirnya terjadi
tumpang tindih akad, yaitu akad menghutangi pihak yang menyuruh, ditambah
dengan akad menjual kembali barang tersebut kepada yang menyuruh. Berangkat
dari akad menghutangi ini, kemudian dilanjutkan menjual kepada yang menyuruh,
maka terjadi dualisme hukum fiqih, yaitu:
Pertama, apabila
orang yang disuruh menetapkan syarat kepada pihak pemesan, bahwa bila sudah
mendapat barang, ia akan mengambil laba dari hasil penjualan barang kepada
pemesan, maka akad yang berlaku dengan model semacam, adalah termasuk akad riba
disebabkan keberadaan syarat pengambilan keuntungan. Sebagaimana hal ini masuk
kategori bai’un wa salafun, yaitu akad jual beli yang disertakan dalam syarat
akad pemesanan.
Kedua, apabila
penjual tidak menetapkan syarat bahwa ia boleh mengambil keuntungan dari
pemesan, sehingga secara langsung pihak yang menyuruh menetapkan harga beri ke
orang yang menyuruh, maka akad seperti ini masuk kategori akad jual beli yang
disertai dengan janji untuk dibeli. Akad semacam ditengarai sebagai bai’un bi
al-wa’di li al-syira’. Biasanya akad ini sering dipergunakan dalam praktik akad
inden barang yang belum jadi (istishnā’iy). Misalnya, seseorang berkata kepada
temannya: “Buatkan aku komputer dengan spesifikasi A, nanti akan aku beli.”
Akad semacam ini masuk kategori boleh.
Bagaimana akad salam
seharusnya dilakukan?
Yang dimaksud dengan
akad pemesanan sebagaimana dibahas dalam tulisan kali ini adalah pemesanan
dengan akad salam, atau baiun maushūfun fi al-dzimmah. Jadi, untuk sementara
kita abaikan dulu dua akad pemesanan sebagaimana dua contoh di atas dalam kasus
barang belum ada di tempat dan belum bisa dijamin keberadaannya.
Langkah-langkah
praktis yang bisa ditempuh untuk melakukan akad salam adalah sebagai berikut:
• Penjual menunjukkan
spesifikasi barang dengan sejumlah pilihan kepada pembeli. Dalam setiap
spesifikasi, ditetapkan harga jual barangnya. Misalnya: Komputer dengan
spesifikasi A, harga jualnya 10 juta rupiah. Komputer dengan spesifikasi B,
harga jualnya 12 juta rupiah. Demikian seterusnya, masing-masing dengan
spesifikasi yang jelas.
• Pembeli selanjutnya
menentukan pilihan spesifikasi yang dikehendaki lengkap dengan harga yang
disepakati / harga tertera.
• Setelah ditentukan
pilihannya dan ditetapkan harganya, penjual mencarikan barang yang dipesan
tersebut di “gudang penyimpanan”, atau “rekanan yang dimilikinya yang mana ia
bertindak selaku wakil dari rekanan tersebut”.
• Pihak pemesan boleh
untuk tidak menyerahkan uang dulu kepada penjual, atau sebaliknya ia boleh
menyerahkan uang harga beli barang tersebut secara kontan saat itu juga.
• Akad jual beli bisa
dibatalkan bila barang tidak sesuai dengan spesifikasi harga yang dipesan. Bila
barang sudah diterima oleh pemesan, maka pembeli bisa mengembalikan barang
tersebut kepada penjual sehingga ia menerima kembali uang yang dibayarkan.
Demikianlah sekelumit
praktik akad pemesanan barang dengan akad salam yaitu jual beli suatu barang
yang diketahui spesifikasinya dan dalam tanggungan penjual. Jual beli seperti
ini hukumnya adalah sah. Syarat jual beli berupa barang yang harus sudah
menjadi milik penjual bisa digantikan perannya oleh jaminan pembeli (dzimmah).
Jaminan yang dimaksud di sini ada dua, yaitu : 1. jaminan berupa barang sudah
tersedia di gudang penjual, dan 2. jaminan bahwa barang ada di “gudang rekanan
penjual” yang diwakilinya.
Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar