Kedudukan Barang Suci dan
Barang Najis dalam Jual Beli
Jual beli menjadi sah manakala barang yang
diperjualbelikan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Suci
2. Bisa dimanfaatkan
3. Dimiliki sendiri oleh orang yang
melangsungkan akad
4. Bisa diserahkan
5. Diketahui (ma'lum)
Suatu jual beli dipandang sah manakala barang
yang diperjualbelikan terdiri dari barang yang suci, dimiliki/dikuasai dan bisa
diambil manfaatnya. Tidak sah suatu jual beli apabila barangnya berupa barang
najis 'ainiyah (secara substansi najis, bukan sekadar terkena najis [mutanajjis],
red), serta tidak bisa diambil manfaat darinya. Dasar dari harus sucinya
barang dagangan, adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, di mana
Rasulullah ﷺ bersabda:
إن
الله تعالى حرم بيع الخمر والميتة والخنزير والأصنام
Artinya: “Sesungguhnya Allah ta'âlâ mengharamkan
jual beli khamr (arak), bangkai, babi dan patung.” (Lihat: Taqiyuddin
Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati
al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/241)
Dalam hadits shohih yang lain dengan riwayat
yang sama, dinyatakan:
نهى
رسول الله عن ثمن الكلب
Artinya: “Rasulullah ﷺ melarang mengambil
harga jual-beli anjing” (Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu
al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/241)
Dari kedua teks hadits di atas, muncul
persoalan, yaitu: apakah dilarangnya jual beli di atas, semata-mata karena
alasan tidak sucinya barang sehingga larangan itu termasuk mutlak, ataukah
karena ada faktor lain yang membolehkannya untuk diperjualbelikan sehingga
larangan jual beli barang najis adalah bersifat terbatas (muqayyad)?
Jika menilik bahwa khamr ternyata memiliki
manfaat untuk diubah menjadi cuka, bangkai bisa untuk diberikan kepada hewan
piaraan, anjing untuk menjaga rumah, dan minyak yang diperoleh dari hasil
penyulingan beberapa jenis hewan haram untuk bahan bakar lampu dan menambal
perahu, maka hal ini menguatkan bahwa dilarangnya jual beli barang-barang
seperti khamr, bangkai dan anjing adalah semata-mata karena wujud barangnya
adalah najis (najis ‘ainiyah) dan bukan segi manfaatnya.
Sebagaimana diketahui bahwa khamr bisa
berubah kesuciannya manakala ia sudah berubah menjadi cuka. Cuka adalah barang
suci dan bisa dimanfaatkan di rumah tangga, oleh karenanya ia bisa
diperjualbelikan.
Demikian pula dengan anjing. Ia adalah hewan
najis sehingga tidak bisa diperjualbelikan. Namun, ternyata keberadaannya
diperbolehkan untuk dimanfaatkan sebagai penjaga rumah, atau untuk berburu.
Dasar ini setidaknya menjadi dasar pijakan, bahwa anjing menjadi boleh
diperjualbelikan manakala telah berubah fungsinya menjadi suatu barang manfaat,
yakni sebagai anjing berburu dan anjing penjaga.
Tidak ketinggalan pula dengan bangkai, yang
menjadi sangat dibutuhkan manakala sudah berhubungan dengan fungsinya untuk
memberi makan hewan buas piaraan, seperti burung elang, dan lain sebagainya.
Semua contoh ini merupakan alasan, bahwa barang yang asalnya najis tidak
sepenuhnya mutlak menjadi dilarang jual belinya, manakala telah mengalami
“perubahan fungsi/manfaat” (istihâlah) dari asalnya.
Adakalanya, barang diperjualbelikan juga
terdiri atas barang suci. Namun, secara tidak disangka-sangka, jatuh perkara
najis ke dalam barang tersebut. Ambil contoh misalnya adalah minyak goreng.
Dalam bentuk minyak goreng, ia bisa diperjualbelikan manakala keempat syarat
berikutnya dari barang dagangan terpenuhi, antara lain: bisa dimanfaatkan,
milik sendiri /dikuasai, maklum, dan bisa diserahterimakan.
Masalah kemudian timbul, tatkala ada tikus
yang jatuh ke dalam wajan penggorengan? Jika minyak gorengnya dalam jumlah
sedikit, maka tidak ada masalah bagi orang yang memiliki. Yang jadi masalah,
bila minyak yang ada dalam penggorengan jumlahnya banyak, sementara harga jual
minyak goreng melambung tinggi. Minyak goreng demikian dihukumi sebagai barang
mutanajjis, yaitu barang yang terkena najis. Bisakah disucikan? Jika tidak
bisa, bolehkah ia dijual, atau dihibahkan?
Terhadap persoalan terakhir, pendapat yang
paling shahih (qaul ashah) dari kalangan ahli fiqih mazhab Syafi’i
adalah pernyataan tidak bisa disucikannya. Dengan demikian, ia tidak bisa
dijual, apalagi dihibahkan atau dishadaqahkan. Sebagaimana Sabda Nabi ﷺ:
سئل
عن الفأرة تموت في السمن فقال إن كان جامدا فالقوها وما حولها وإن كان ذائبا
فأريقوه
Artinya: “Suatu ketika beliau Rasulillah ﷺ ditanya tentang
bangkai tikus yang mati dalam minyak samin. Beliau menjawab: “Jika minyak itu
dalam kondisi keras, maka buang bekas bagian yang terjatuhi tikus dan
sekelilingnya. Namun, jika ia dalam kondisi cair, maka buanglah!” (Lihat: Taqiyuddin
Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati
al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/242)
Hadits ini secara tidak langsung memberi
jawaban bahwa mana mungkin beliau Rasulillah ﷺ memerintahkan
membuang manakala minyak masih bisa disucikan, sehingga bisa dijual, atau
dihibahkan? Tentu tindakan membuang barang adalah yang akan dilarang karena
beliau melarang tindakan menyia-nyiakan harta.
Terhadap hadits ini para ulama memberikan
perincian penafsiran. Hadits di atas, adalah menjelaskan bahwasanya jika minyak
hendak dipergunakan lagi, semisal menggoreng, maka Rasulullah ﷺ melarang hal ini.
Karena bagaimana mungkin beliau membolehkan menggoreng sesuatu di dalam barang
yang terkena najis sementara beliau memerintahkan menghindari perkara najis?
Tentu menggoreng di dalam minyak itu adalah tindakan yang dilarang. Oleh karena
itu, beliau bersabda agar membuangnya.
Pertanyaannya adalah bagaimana bila
dimanfaatkan untuk keperluan lain, semisal untuk lampu penerangan, dan sebagainya?
Dalam hal ini ulama memberikan ulasan pendapat. Imam Al Qadli Abu Thayib dengan
tegas menyatakan tidak boleh dimanfaatkan untuk keperluan lain, termasuk
dihibahkan, apalagi dijualbelikan. Hampir sama dengan pendapat Al-Qadli Abu
Thayib, Imam Al-Rafii menyebutnya sebagai khilaf sebagaimana khilafnya hukum
menghibahkan anjing, yang mana anjing boleh dijadikan barang hibah manakala
diketahui manfaatnya untuk menjaga ternak. Padahal wujudnya anjing adalah
barang yang jelas najis (najis 'ainiyah). Jika boleh dihibahkan, maka
boleh pula diperjualbelikan, asalkan tahu manfaatnya.
Imam Al-Nawawi menyatakan dengan tegas boleh
menyedekahkan/menghibahkan minyak tersebut asal untuk kepentingan penerangan
dan sejenisnya. Sejalan dengan Imam Nawawi, Syekh Al-Mutawalli memerinci akan
bolehnya menghibahkan minyak tersebut atau menshodaqahkan, asal dilakukan
dengan jalan memindah tangan (naqlu al-yad) dengan jalan washiyat. Semua
pendapat ini dirangkum oleh Syekh Taqiyuddin al-Hushny dalam kitabnya:
وهل
يجوز هبة الزيت المتنجس ونحوه والصدقة به عن القاضي أبي الطيب منعهما قال الرافعي
ويشبه أن يكون فيها ما في هبة الكلب من الخلاف قال النووي وينبغي أن يقطع بصحة
الصدقة به للاستصباح ونحوه وقد جزم المتولي بأن يجوز نقل اليد فيه بالوصية وغيرها
Artinya: “Apakah boleh menghibahkan minyak
yang terkena najis dan sejenisnya, atau bershodaqah dengannya? Syekh Al Qadli
Abu Thayib melarang keduanya. Imam Al-Rafi’i berkata: “Kasus ini serupa dengan
hukum menghibahkan anjing sehingga terdapat khilaf.” Imam Nawawi berkata:
“Semestinya diputuskan bolehnya shodaqah dengan minyak itu untuk kepentingan
penerangan dan sejenisnya.” Syekh al-Mutawally berpendapat: boleh dengan jalan
pindah tangan yang disertai dengan wasiat dan selainnya.” (Lihat: Taqiyuddin
Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati
al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/242)
Berdasar pendapat Imam Nawawi yang diperinci
oleh Al-Mutawalli ini, maka bisa diambil kesimpulan bahwa boleh hukumnya
menghibahkan, menshodaqahkan dan menjual barang yang terkena najis tersebut
manakala ia dilakukan dengan jalan pindah tangan (naqlu al-yad) yang
disertai dengan jalan wasiat (memberi catatan).
Contoh dari lafadh yang bisa digunakan untuk
memperantarai proses pindah tangan untuk kasus minyak goreng sebagaimana
dimaksud di atas, adalah: “Saya punya minyak goreng kejatuhan tikus. Ia tidak
bisa dipakai menggoreng karena najis. Tapi bisa dimanfaatkan untuk penerangan.
Untuk itu, saya hibahkan minyak goreng ini ke kamu untuk dipergunakan sebagai
bahan bakar penerangan.” Dalam bentuk lafadh akad yang lain, bisa juga
dipergunakan lafadh untuk proses pindah tangan tersebut dengan, “Gantilah harga
aku mendapatkan minyak ini agar kamu mendapatkan manfaatnya untuk bahan bakar
penerangan!” Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar