Kamis, 15 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Kedudukan Barang Suci dan Barang Najis dalam Jual Beli


Kedudukan Barang Suci dan Barang Najis dalam Jual Beli

Jual beli menjadi sah manakala barang yang diperjualbelikan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 
1. Suci
2. Bisa dimanfaatkan
3. Dimiliki sendiri oleh orang yang melangsungkan akad
4. Bisa diserahkan
5. Diketahui (ma'lum)

Suatu jual beli dipandang sah manakala barang yang diperjualbelikan terdiri dari barang yang suci, dimiliki/dikuasai dan bisa diambil manfaatnya. Tidak sah suatu jual beli apabila barangnya berupa barang najis 'ainiyah (secara substansi najis, bukan sekadar terkena najis [mutanajjis], red), serta tidak bisa diambil manfaat darinya. Dasar dari harus sucinya barang dagangan, adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, di mana Rasulullah bersabda: 

إن الله تعالى حرم بيع الخمر والميتة والخنزير والأصنام

Artinya: “Sesungguhnya Allah ta'âlâ mengharamkan jual beli khamr (arak), bangkai, babi dan patung.” (Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/241)

Dalam hadits shohih yang lain dengan riwayat yang sama, dinyatakan:

نهى رسول الله عن ثمن الكلب

Artinya: “Rasulullah melarang mengambil harga jual-beli anjing” (Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/241)

Dari kedua teks hadits di atas, muncul persoalan, yaitu: apakah dilarangnya jual beli di atas, semata-mata karena alasan tidak sucinya barang sehingga larangan itu termasuk mutlak, ataukah karena ada faktor lain yang membolehkannya untuk diperjualbelikan sehingga larangan jual beli barang najis adalah bersifat terbatas (muqayyad)? 

Jika menilik bahwa khamr ternyata memiliki manfaat untuk diubah menjadi cuka, bangkai bisa untuk diberikan kepada hewan piaraan, anjing untuk menjaga rumah, dan minyak yang diperoleh dari hasil penyulingan beberapa jenis hewan haram untuk bahan bakar lampu dan menambal perahu, maka hal ini menguatkan bahwa dilarangnya jual beli barang-barang seperti khamr, bangkai dan anjing adalah semata-mata karena wujud barangnya adalah najis (najis ‘ainiyah) dan bukan segi manfaatnya. 

Sebagaimana diketahui bahwa khamr bisa berubah kesuciannya manakala ia sudah berubah menjadi cuka. Cuka adalah barang suci dan bisa dimanfaatkan di rumah tangga, oleh karenanya ia bisa diperjualbelikan. 

Demikian pula dengan anjing. Ia adalah hewan najis sehingga tidak bisa diperjualbelikan. Namun, ternyata keberadaannya diperbolehkan untuk dimanfaatkan sebagai penjaga rumah, atau untuk berburu. Dasar ini setidaknya menjadi dasar pijakan, bahwa anjing menjadi boleh diperjualbelikan manakala telah berubah fungsinya menjadi suatu barang manfaat, yakni sebagai anjing berburu dan anjing penjaga. 

Tidak ketinggalan pula dengan bangkai, yang menjadi sangat dibutuhkan manakala sudah berhubungan dengan fungsinya untuk memberi makan hewan buas piaraan, seperti burung elang, dan lain sebagainya. Semua contoh ini merupakan alasan, bahwa barang yang asalnya najis tidak sepenuhnya mutlak menjadi dilarang jual belinya, manakala telah mengalami “perubahan fungsi/manfaat” (istihâlah) dari asalnya.

Adakalanya, barang diperjualbelikan juga terdiri atas barang suci. Namun, secara tidak disangka-sangka, jatuh perkara najis ke dalam barang tersebut. Ambil contoh misalnya adalah minyak goreng. Dalam bentuk minyak goreng, ia bisa diperjualbelikan manakala keempat syarat berikutnya dari barang dagangan terpenuhi, antara lain: bisa dimanfaatkan, milik sendiri /dikuasai, maklum, dan bisa diserahterimakan. 

Masalah kemudian timbul, tatkala ada tikus yang jatuh ke dalam wajan penggorengan? Jika minyak gorengnya dalam jumlah sedikit, maka tidak ada masalah bagi orang yang memiliki. Yang jadi masalah, bila minyak yang ada dalam penggorengan jumlahnya banyak, sementara harga jual minyak goreng melambung tinggi. Minyak goreng demikian dihukumi sebagai barang mutanajjis, yaitu barang yang terkena najis. Bisakah disucikan? Jika tidak bisa, bolehkah ia dijual, atau dihibahkan?

Terhadap persoalan terakhir, pendapat yang paling shahih (qaul ashah) dari kalangan ahli fiqih mazhab Syafi’i adalah pernyataan tidak bisa disucikannya. Dengan demikian, ia tidak bisa dijual, apalagi dihibahkan atau dishadaqahkan. Sebagaimana Sabda Nabi

سئل عن الفأرة تموت في السمن فقال إن كان جامدا فالقوها وما حولها وإن كان ذائبا فأريقوه

Artinya: “Suatu ketika beliau Rasulillah ditanya tentang bangkai tikus yang mati dalam minyak samin. Beliau menjawab: “Jika minyak itu dalam kondisi keras, maka buang bekas bagian yang terjatuhi tikus dan sekelilingnya. Namun, jika ia dalam kondisi cair, maka buanglah!” (Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/242)

Hadits ini secara tidak langsung memberi jawaban bahwa mana mungkin beliau Rasulillah memerintahkan membuang manakala minyak masih bisa disucikan, sehingga bisa dijual, atau dihibahkan? Tentu tindakan membuang barang adalah yang akan dilarang karena beliau melarang tindakan menyia-nyiakan harta. 

Terhadap hadits ini para ulama memberikan perincian penafsiran. Hadits di atas, adalah menjelaskan bahwasanya jika minyak hendak dipergunakan lagi, semisal menggoreng, maka Rasulullah melarang hal ini. Karena bagaimana mungkin beliau membolehkan menggoreng sesuatu di dalam barang yang terkena najis sementara beliau memerintahkan menghindari perkara najis? Tentu menggoreng di dalam minyak itu adalah tindakan yang dilarang. Oleh karena itu, beliau bersabda agar membuangnya. 

Pertanyaannya adalah bagaimana bila dimanfaatkan untuk keperluan lain, semisal untuk lampu penerangan, dan sebagainya? Dalam hal ini ulama memberikan ulasan pendapat. Imam Al Qadli Abu Thayib dengan tegas menyatakan tidak boleh dimanfaatkan untuk keperluan lain, termasuk dihibahkan, apalagi dijualbelikan. Hampir sama dengan pendapat Al-Qadli Abu Thayib, Imam Al-Rafii menyebutnya sebagai khilaf sebagaimana khilafnya hukum menghibahkan anjing, yang mana anjing boleh dijadikan barang hibah manakala diketahui manfaatnya untuk menjaga ternak. Padahal wujudnya anjing adalah barang yang jelas najis (najis 'ainiyah). Jika boleh dihibahkan, maka boleh pula diperjualbelikan, asalkan tahu manfaatnya. 

Imam Al-Nawawi menyatakan dengan tegas boleh menyedekahkan/menghibahkan minyak tersebut asal untuk kepentingan penerangan dan sejenisnya. Sejalan dengan Imam Nawawi, Syekh Al-Mutawalli memerinci akan bolehnya menghibahkan minyak tersebut atau menshodaqahkan, asal dilakukan dengan jalan memindah tangan (naqlu al-yad) dengan jalan washiyat. Semua pendapat ini dirangkum oleh Syekh Taqiyuddin al-Hushny dalam kitabnya:

وهل يجوز هبة الزيت المتنجس ونحوه والصدقة به عن القاضي أبي الطيب منعهما قال الرافعي ويشبه أن يكون فيها ما في هبة الكلب من الخلاف قال النووي وينبغي أن يقطع بصحة الصدقة به للاستصباح ونحوه وقد جزم المتولي بأن يجوز نقل اليد فيه بالوصية وغيرها

Artinya: “Apakah boleh menghibahkan minyak yang terkena najis dan sejenisnya, atau bershodaqah dengannya? Syekh Al Qadli Abu Thayib melarang keduanya. Imam Al-Rafi’i berkata: “Kasus ini serupa dengan hukum menghibahkan anjing sehingga terdapat khilaf.” Imam Nawawi berkata: “Semestinya diputuskan bolehnya shodaqah dengan minyak itu untuk kepentingan penerangan dan sejenisnya.” Syekh al-Mutawally berpendapat: boleh dengan jalan pindah tangan yang disertai dengan wasiat dan selainnya.” (Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/242)

Berdasar pendapat Imam Nawawi yang diperinci oleh Al-Mutawalli ini, maka bisa diambil kesimpulan bahwa boleh hukumnya menghibahkan, menshodaqahkan dan menjual barang yang terkena najis tersebut manakala ia dilakukan dengan jalan pindah tangan (naqlu al-yad) yang disertai dengan jalan wasiat (memberi catatan). 

Contoh dari lafadh yang bisa digunakan untuk memperantarai proses pindah tangan untuk kasus minyak goreng sebagaimana dimaksud di atas, adalah: “Saya punya minyak goreng kejatuhan tikus. Ia tidak bisa dipakai menggoreng karena najis. Tapi bisa dimanfaatkan untuk penerangan. Untuk itu, saya hibahkan minyak goreng ini ke kamu untuk dipergunakan sebagai bahan bakar penerangan.” Dalam bentuk lafadh akad yang lain, bisa juga dipergunakan lafadh untuk proses pindah tangan tersebut dengan, “Gantilah harga aku mendapatkan minyak ini agar kamu mendapatkan manfaatnya untuk bahan bakar penerangan!” Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar