Jumat, 16 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Hukum Jual Beli Separuh Barang dalam Islam


Hukum Jual Beli Separuh Barang dalam Islam

Menjual sebagian barang yang sudah menjadi hak milik, terkadang hukumnya adalah tidak sah. Kita ambil contoh sederhana adalah baju atau suatu wadah, semisal panci atau pisau dapur. Menjual sebagian dari satu baju yang berwujud utuh, atau menjual sebagian dari panci yang berwujud utuh, atau sebagian dari pisau yang berwujud utuh, hukumnya adalah tidak sah, disebabkan oleh beberapa alasan:

1. Barang tidak mungkin dibagi menjadi dua

2. Jika terpaksa dipecah, maka barang menjadi tidak memiliki nilai manfaat atau nilai guna

3. Menyia-nyiakan harta

Syekh Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi menyatakan tidak sahnya model jual beli semacam dengan pernyataannya dalam kitab Minhaju al-Thalibin sebagai berikut:

لايصح بيع نصف معين من الإناء والسيف ونحوهما ويصح في الثوب الذي لاينقص بقطعه في الأصح 

Artinya: “Tidak sah menjual sebagian tertentu dari wadah, pedang dan sejenisnya, namun sah menjual sebagian tertentu dari pakaian yang tidak mengurangi (manfaat) sebab memotongnya dalam pendapat yang paling shohih.” (Lihat: Syekh Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi, Minhaju al-Thalibin, Kediri: Pesantren Petuk, tt: 155!).

Ada pengecualian yang diberikan oleh Imam Al-Nawawi yang menyatakan bahwa untuk baju yang tidak mengalami pengurangan fungsi (manfaat) barang disebabkan terpotongnya barang tersebut akibat dibagi oleh penjual dan pembeli, hukumnya adalah sah menurut pendapat yang paling shahih. 

Jika mencermati bahwa ini adalah pendapat yang paling shohih, maka ada pendapat lain yang juga berstatus shohih bahwa hal tersebut sebenarnya juga tidak sah dalam akad jual beli. Kita tidak akan melacak pendapat siapa saja yang menyatakan ketidaksahan tersebut, namun kita akan coba menggali lebih jauh makna dari pernyataan Imam Nawawi yang menyatakan sahnya menurut pendapat yang paling shohih. 

Di dalam kitab Al Mahally, Syekh Jalaluddin al-Mahally menyampaikan syarah/penjelasan mengenai maksud dari pendapat yang menyatakan sah itu. Berikut pernyataan beliau:

والثاني قال قطعه لا يخلو عن تغيير لعين المبيع وقيل يصح في النفيس لرضا البائع بالضرر. قال الرافعي: والقياس طرده في السيف والإناء. ومما يصدق به النصف أو ضحوه من الثوب أن يكون ذراعا قال في شرح المهذب وطريق من أراد شراء ذراع من ثوب حيث قلنا لا يصح أن يواطئ صاحبه على شرائه ثم يقطعه قبل الشراء ثم يشتريه فيصح بلا خلاف. أما بيع الجزء الشائع من الإناء ونحوه فيصح ويصير مشتركا وبيع ذراع معين من الأرض يصح أيضا لحصول التمييز فيها بين النصيبين بالعلامة من غير ضرر, قال الرافعي : ولك أن تقول قد تتضيق مرافق البقعة بالعلامة ونتقص القيمة فليكن الحكم في الأرض على التفصيل في الثوب.

Artinya: “Pendapat yang kedua menyatakan bahwa memotong barang (sudah barang tentu) tidak bisa terhindar dari mengubah wujud barang. Dan dikatakan: Sah jual beli separuh barang tertentu tadi untuk pakaian mewah karena disebabkan ridlo penjual sebab adanya bahaya. Imam Al-Rafii mengatakan: Qiyas berlaku untuk pedang dan wadah. Sebagian dari syarat yang menyatakan sahnya jual beli separuh barang atau sebagian dari barang tersebut adalah jika barang tersebut memiliki panjang satu dzira’. Imam Nawawi mengatakan dalam Syarah al-Muhadzab: Cara orang yang menghendaki membeli satu dzira’ dari pakaian sebagaimana yang kami nyatakan tidak sah tadi adalah bilamana pemilik mensetujui pembelian seseorang, kemudian ia lanjut dengan memotong pakaian sebelum akad pembelian terlaksana. Baru setelah itu akad pembelian dilaksanakan. (Jika tidak demikian pelaksanaannya) maka karena alasan ini, sah akad jual beli dengan tanpa khilaf. Jual beli bagian utuh yang berlaku atas wadah dan sejenisnya, adalah sah, sehingga menjadi akad serikat antara penjual dan pembeli. Demikian pula hukum jual beli satu dzira’ tertentu dari tanah, adalah sah karena memungkinkan melakukan pembedaan antara dua bagian dengan jalan memberi tanda tanpa adanya unsur yang membahayakan. Imam Al-Rafi’i menyatakan: Bagi anda hak untuk berkata, bahwa terkadang tanda tanah dapat mempersempit nilai manfaat tanah sehingga dapat mengurangi nilai. Oleh karena itu, hukum tanah dapat diperinci sebagaimana hukum baju.”(Syekh Jalaluddin al-Mahally, Al-Mahally ‘ala Minhāji al-Thālibīn, Kediri: Pesantren Petuk, tt: 155)

Dengan alasan apapun, penjualan yang dilakukan terhadap sebagian barang utuh adalah dapat mengubah wujud barang, khususnya setelah diserahterimakan. Pengubahan wujud barang dapat mengurangi nilai manfaat atau bahkan menghilangkan sama sekali. Oleh karena itulah, jual beli sebagian barang, adalah diputus tidak sah kecuali jika tidak sampai dipotong atau dipecah, sehingga kedua penjual dan pembelinya sama-sama masih dapat memanfaatkan secara bersama-sama (berserikat). 

Bagaimana bila terpaksa harus dipotong? Seperti, menjual suatu aset baju atau tanah dengan lebar 1 dzira’ (1 jengkal). Adakah sah? Jawabnya adalah bisa sah dan juga bisa tidak, sebagaimana uraian yang sudah dimaksudkan di atas. Dalam kondisi terpaksa misalnya, karena tanah kurang lebar untuk dipergunakan bangunan, atau agar air hujan tidak jatuh menimpa tanah orang, kadang diperlukan akad membeli tanah selebar 1 jengkal tersebut. Sudah barang tentu, hukumnya adalah sah juga disebabkan bisanya untuk diberi tanda, atau karena alasan dlarar (bahaya). Bahaya yang dimaksud di sini adalah karena efek jatuhnya air hujan di tanah orang lain yang kelak di kemudian hari bisa mengundang perselisihan. 

Demikian juga dengan baju. Contoh dlarar dari baju, misalnya adalah sebuah baju mewah dibeli dengan jalan patungan. Agar baju tetap bisa dimanfaatkan``, perlu diaquisisi oleh orang lain. Bisa jadi yang mengaquisi adalah salah satu teman yang awalnya diajak untuk melakukan patungan, bisa jadi juga orang lain. Jika mengajak orang lain, maka sudah pasti diperlukan idzin ke orang yang menjadi serikatnya. 

Kesimpulan akhir dari menjual sebagian aset tertentu ke pihak lain, hukum asalnya adalah tidak boleh. Hukum bisa berubah dengan catatan penjualan tersebut tidak menghilangkan nilai manfaat barang. Asal-asalnya larangan menjual sebagian adalah disebabkan khawatir terjadinya perusakan harta atau penyia-nyiaan aset sehingga tidak bernilai guna lagi. Adapun jika tetap mampu menjaga nilai guna, maka baik Imam Nawawi maupun Imam Al-Rafi’i keduanya menyatakan boleh. 

Selanjutnya pembaca bisa mengembangkan wawasan kajian terhadap materi yang sudah pernah kita bahas mengenai akad syirkah muntahiyah bi al-tamlik, yaitu suatu akad patungan atas suatu aset yang diakhiri dengan kepemilikan salah satu pihak. Nama lain dari akad ini adalah ijarah muntahiyah bi al-tamlik, yaitu suatu akad sewa-menyewa yang diakhiri dengan akad kepemilikan salah satu pihak yang berserikat. Setidaknya, dasar atas kebolehan model serikat ini adalah diawali dari kajian jual beli sebagian tertentu dari aset. 

Misalnya, patungan membeli mobil antara dua pihak. Tidak mungkin kemudian mobil akan dibelah menjadi dua. Membelahnya tentu akan menyebabkan mobil menjadi barang yang tidak bernilai guna. Namun, penjualan satu orang yang ikut patungan atas hak kepemilikannya atas sebagian dari aset ini adalah diperbolehkan. Tentu dengan catatan, apabila mendapat izin dari temannya (syārik-nya). Wallahu a’lam bish shawab. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar