Hukum Jual Beli Separuh
Barang dalam Islam
Menjual sebagian barang yang sudah menjadi
hak milik, terkadang hukumnya adalah tidak sah. Kita ambil contoh sederhana
adalah baju atau suatu wadah, semisal panci atau pisau dapur. Menjual sebagian
dari satu baju yang berwujud utuh, atau menjual sebagian dari panci yang
berwujud utuh, atau sebagian dari pisau yang berwujud utuh, hukumnya adalah
tidak sah, disebabkan oleh beberapa alasan:
1. Barang tidak mungkin dibagi menjadi dua
2. Jika terpaksa dipecah, maka barang menjadi
tidak memiliki nilai manfaat atau nilai guna
3. Menyia-nyiakan harta
Syekh Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi
menyatakan tidak sahnya model jual beli semacam dengan pernyataannya dalam
kitab Minhaju al-Thalibin sebagai berikut:
لايصح
بيع نصف معين من الإناء والسيف ونحوهما ويصح في الثوب الذي لاينقص بقطعه في الأصح
Artinya: “Tidak sah menjual sebagian tertentu
dari wadah, pedang dan sejenisnya, namun sah menjual sebagian tertentu dari
pakaian yang tidak mengurangi (manfaat) sebab memotongnya dalam pendapat yang
paling shohih.” (Lihat: Syekh Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi, Minhaju
al-Thalibin, Kediri: Pesantren Petuk, tt: 155!).
Ada pengecualian yang diberikan oleh Imam
Al-Nawawi yang menyatakan bahwa untuk baju yang tidak mengalami pengurangan
fungsi (manfaat) barang disebabkan terpotongnya barang tersebut akibat dibagi
oleh penjual dan pembeli, hukumnya adalah sah menurut pendapat yang paling
shahih.
Jika mencermati bahwa ini adalah pendapat
yang paling shohih, maka ada pendapat lain yang juga berstatus shohih bahwa hal
tersebut sebenarnya juga tidak sah dalam akad jual beli. Kita tidak akan
melacak pendapat siapa saja yang menyatakan ketidaksahan tersebut, namun kita
akan coba menggali lebih jauh makna dari pernyataan Imam Nawawi yang menyatakan
sahnya menurut pendapat yang paling shohih.
Di dalam kitab Al Mahally, Syekh Jalaluddin
al-Mahally menyampaikan syarah/penjelasan mengenai maksud dari pendapat yang
menyatakan sah itu. Berikut pernyataan beliau:
والثاني
قال قطعه لا يخلو عن تغيير لعين المبيع وقيل يصح في النفيس لرضا البائع بالضرر.
قال الرافعي: والقياس طرده في السيف والإناء. ومما يصدق به النصف أو ضحوه من الثوب
أن يكون ذراعا قال في شرح المهذب وطريق من أراد شراء ذراع من ثوب حيث قلنا لا يصح
أن يواطئ صاحبه على شرائه ثم يقطعه قبل الشراء ثم يشتريه فيصح بلا خلاف. أما بيع
الجزء الشائع من الإناء ونحوه فيصح ويصير مشتركا وبيع ذراع معين من الأرض يصح أيضا
لحصول التمييز فيها بين النصيبين بالعلامة من غير ضرر, قال الرافعي : ولك أن تقول
قد تتضيق مرافق البقعة بالعلامة ونتقص القيمة فليكن الحكم في الأرض على التفصيل في
الثوب.
Artinya: “Pendapat yang kedua menyatakan
bahwa memotong barang (sudah barang tentu) tidak bisa terhindar dari mengubah
wujud barang. Dan dikatakan: Sah jual beli separuh barang tertentu tadi untuk
pakaian mewah karena disebabkan ridlo penjual sebab adanya bahaya. Imam
Al-Rafii mengatakan: Qiyas berlaku untuk pedang dan wadah. Sebagian dari syarat
yang menyatakan sahnya jual beli separuh barang atau sebagian dari barang
tersebut adalah jika barang tersebut memiliki panjang satu dzira’. Imam Nawawi
mengatakan dalam Syarah al-Muhadzab: Cara orang yang menghendaki membeli satu
dzira’ dari pakaian sebagaimana yang kami nyatakan tidak sah tadi adalah
bilamana pemilik mensetujui pembelian seseorang, kemudian ia lanjut dengan
memotong pakaian sebelum akad pembelian terlaksana. Baru setelah itu akad
pembelian dilaksanakan. (Jika tidak demikian pelaksanaannya) maka karena alasan
ini, sah akad jual beli dengan tanpa khilaf. Jual beli bagian utuh yang berlaku
atas wadah dan sejenisnya, adalah sah, sehingga menjadi akad serikat antara
penjual dan pembeli. Demikian pula hukum jual beli satu dzira’ tertentu dari
tanah, adalah sah karena memungkinkan melakukan pembedaan antara dua bagian
dengan jalan memberi tanda tanpa adanya unsur yang membahayakan. Imam Al-Rafi’i
menyatakan: Bagi anda hak untuk berkata, bahwa terkadang tanda tanah dapat
mempersempit nilai manfaat tanah sehingga dapat mengurangi nilai. Oleh karena
itu, hukum tanah dapat diperinci sebagaimana hukum baju.”(Syekh Jalaluddin
al-Mahally, Al-Mahally ‘ala Minhāji al-Thālibīn, Kediri: Pesantren Petuk, tt:
155)
Dengan alasan apapun, penjualan yang
dilakukan terhadap sebagian barang utuh adalah dapat mengubah wujud barang,
khususnya setelah diserahterimakan. Pengubahan wujud barang dapat mengurangi
nilai manfaat atau bahkan menghilangkan sama sekali. Oleh karena itulah, jual
beli sebagian barang, adalah diputus tidak sah kecuali jika tidak sampai
dipotong atau dipecah, sehingga kedua penjual dan pembelinya sama-sama masih
dapat memanfaatkan secara bersama-sama (berserikat).
Bagaimana bila terpaksa harus dipotong?
Seperti, menjual suatu aset baju atau tanah dengan lebar 1 dzira’ (1 jengkal).
Adakah sah? Jawabnya adalah bisa sah dan juga bisa tidak, sebagaimana uraian
yang sudah dimaksudkan di atas. Dalam kondisi terpaksa misalnya, karena tanah
kurang lebar untuk dipergunakan bangunan, atau agar air hujan tidak jatuh
menimpa tanah orang, kadang diperlukan akad membeli tanah selebar 1 jengkal
tersebut. Sudah barang tentu, hukumnya adalah sah juga disebabkan bisanya untuk
diberi tanda, atau karena alasan dlarar (bahaya). Bahaya yang dimaksud di sini
adalah karena efek jatuhnya air hujan di tanah orang lain yang kelak di
kemudian hari bisa mengundang perselisihan.
Demikian juga dengan baju. Contoh dlarar dari
baju, misalnya adalah sebuah baju mewah dibeli dengan jalan patungan. Agar baju
tetap bisa dimanfaatkan``, perlu diaquisisi oleh orang lain. Bisa jadi yang
mengaquisi adalah salah satu teman yang awalnya diajak untuk melakukan
patungan, bisa jadi juga orang lain. Jika mengajak orang lain, maka sudah pasti
diperlukan idzin ke orang yang menjadi serikatnya.
Kesimpulan akhir dari menjual sebagian aset
tertentu ke pihak lain, hukum asalnya adalah tidak boleh. Hukum bisa berubah
dengan catatan penjualan tersebut tidak menghilangkan nilai manfaat barang.
Asal-asalnya larangan menjual sebagian adalah disebabkan khawatir terjadinya
perusakan harta atau penyia-nyiaan aset sehingga tidak bernilai guna lagi.
Adapun jika tetap mampu menjaga nilai guna, maka baik Imam Nawawi maupun Imam
Al-Rafi’i keduanya menyatakan boleh.
Selanjutnya pembaca bisa mengembangkan
wawasan kajian terhadap materi yang sudah pernah kita bahas mengenai akad
syirkah muntahiyah bi al-tamlik, yaitu suatu akad patungan atas suatu aset yang
diakhiri dengan kepemilikan salah satu pihak. Nama lain dari akad ini adalah
ijarah muntahiyah bi al-tamlik, yaitu suatu akad sewa-menyewa yang diakhiri
dengan akad kepemilikan salah satu pihak yang berserikat. Setidaknya, dasar
atas kebolehan model serikat ini adalah diawali dari kajian jual beli sebagian
tertentu dari aset.
Misalnya, patungan membeli mobil antara dua
pihak. Tidak mungkin kemudian mobil akan dibelah menjadi dua. Membelahnya tentu
akan menyebabkan mobil menjadi barang yang tidak bernilai guna. Namun,
penjualan satu orang yang ikut patungan atas hak kepemilikannya atas sebagian
dari aset ini adalah diperbolehkan. Tentu dengan catatan, apabila mendapat izin
dari temannya (syārik-nya). Wallahu a’lam bish shawab. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar