Fiqih Jual Beli: Syarat Sah
dan Macam-macamnya
Sebagai makhluk ekonomi, manusia dituntut
memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu ia bercocok tanam, berburu atau
menjadi nelayan untuk menangkap ikan. Seiring dengan gaya hidup manusia yang
senantiasa dinamis, maka timbul hasrat atau keinginan untuk memiliki dan
menguasai barang yang ada di tangan orang lain. Cara “primitif” dan barbar
sudah ditinggalkan, berganti dengan cara muamalah yang saling menguntungkan dan
tidak menimbulkan kerugian sesama. Untuk inilah kemudian berlaku syari’at jual
beli.
Dasar kebolehan syariat jual beli adalah
Al-Qur'an, hadits dan ijma'. Di dalam kitab Kifâyatul Akhyar, Syekh
Taqiyuddin Al Husny menjelaskan pengertian jual beli menurut Islam, yakni
sebagai berikut:
البيع
في اللغة إعطاء شيء في مقابلة شيء وفي الشرع مقابلة مال بمال قابلين للتصرف بإيجاب
وقبول على الوجه المأذون فيه
Artinya: “Jual beli secara bahasa adalah
bermakna memberikan suatu barang untuk ditukar dengan barang lain (barter).
Jual beli menurut syara’ bermakna pertukaran harta dengan harta untuk keperluan
tasharruf/pengelolaan yang disertai dengan lafadh ijab dan qabul menurut tata
aturan yang diidzinkan (sah).” (Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad
Al-Hushny, Kifâyatul Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya:
Al-Hidayah, 1993: 1/239)
Dengan mencermati pengertian jual beli
menurut syara’ ini, maka bisa diketahui terdapat tiga rukun jual beli. Imam
Al-Rafi’i menyebut ketiganya tidak sebagai rukun. Beliau lebih suka menyebutnya
sebagai syarat sahnya jual beli, antara lain:
• Ada dua orang yang saling bertransaksi (muta‘âqidain),
yang terdiri atas penjual dan pembeli
• Adanya shighat/lafadh yang
menunjukkan pernyataan jual beli, antara lain lafadh ijab dan lafadh
qabul.
• Barang yang ditransaksikan (ma’qud
‘alaih). Unsur dari al-ma’qud ‘alaih ini terdiri ‘harga’ (thaman)
dan “barang yang dihargai” (muthman).
Ada catatan khusus terkait dengan shighat
jual beli. Imam al-Rafi’i sebagaimana dikutip oleh Syekh Zakaria Al-Anshory
dalam kitab Fathul Wahâb menyatakan bahwa, dari ketiga rukun jual beli di atas,
shighat merupakan rukun utama sehingga oleh al-Rafii ia dimasukkan sebagai
syarat utama jual beli. Tanpanya, jual beli tidak sah. Inilah yang kelak
menjadi dasar mengapa bai’ mu’âthah (jual beli tanpa lafadh ijab-qabul)
tidak diperbolehkan dalam mazhab Syafi’i dan hanya bisa ditemukan di mazhab
Hanafi.
Shighat tidak harus diucapkan dalam bentuk
kalimat jelas (sharih). Misalnya, “Aku jual baju ini ke kamu.” Kemudian
dijawab oleh pembeli, “Aku beli baju ini dari kamu.” Bentuk shighat jual beli
bisa diucapkan dengan kata kiasan (kinayah), asalkan secara adat kebiasaan
kalimat itu mengandung pengertian serah terima barang dalam bentuk jual beli.
Misalnya, ucapan seorang pembeli kepada penjual, “Aku ambil baju ini sekarang
ya. Besok saya kasih uangnya ke kamu.” Kalimat “ambil” dan “kasih”, dua-duanya
menurut adat masyarakat kita bisa bermakna jual beli dalam kondisi
tertentu.
Macam-macam Jual beli menurut Keberadaan
Barangnya
Dilihat dari keberadaan barang yang
diperjualbelikan, maka ada tiga macam jual beli dan hukumnya.
• Barangnya langsung ada di tempat (ainun
hadlirah).
Hukum jual beli barang yang langsung ada di
tempat seperti ini adalah boleh. Sah dan tidaknya akad tergantung pada proses
yang dijalani oleh muta’aqidain (penjual dan pembeli). Bilamana prosesnya
benar, maka sah jual belinya. Dan sebaliknya apabila tidak benar proses jual
belinya, maka tidak sah pula akadnya sehingga tidak sah jual belinya.
وأما
العين الحاضرة فإن وقع العقد عليها بما يعتبر فيه وفيها صح العقد وإلا فلا
Artinya: “Adapun jual beli barang ditempat,
apabila proses transaksinya sesuai dengan syariat, maka sahlah akadnya.
Sebaliknya, bila tidak sesuai dengan syariat, maka tidak sah akadnya.” ((Lihat:
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli
Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/239)
• Adakalanya barang masih berupa sesuatu yang
belum ada di tempat namun bisa ditunjukkan spesifikasinya dan bisa dimiliki
serta dijamin (ainun maushufun fi al dzimmah). Jual beli seperti ini biasanya
dilakukan dengan jalan order barang. Ada akad salam dan ada akad istishna’i
(inden, red). Hukum dari jual beli barang yang bisa diketahui
spesifikasinya dan bisa dijamin ini hukumnya adalah boleh (jâiz)
• Adakalanya barang sama sekali tidak berada
di tempat dan tidak diketahui wujudnya (ainun ghaibah), bahkan spesifikasinya.
Penjelasan lebih rinci tentang ini insyaallah disampaikan pada tulisan
berikutnya.
Syarat Sah Aqid (Penjual/Pembeli)
Dilihat dari sisi orang yang melakukan akad
(muta’âqidain), maka syarat sah jual beli ada 2, yaitu:
1. Kedua pihak penjual dan pembeli sama-sama
ahli dalam jual beli.
Maksud dari ahli di sini adalah bukan seorang
anak kecil (shabiy), tidak gila (majnun), dan tidak bodoh (safîh).
Jika melihat ketiga unsur ini maka pada
dasarnya, jual beli itu sah bila pelaku adalah seorang yang berakal. Ketika
kedua penjual dan pembeli dalam kondisi sedang terkena musibah sehingga
kehilangan akal untuk sementara, maka jual belinya tidak sah. Dan apabila
proses hilangnya akal ini disebabkan karena faktor kebiasaan buruk, misalnya
seperti pemabuk, maka jual beli yang dilakukan oleh ahli sakran (pemabuk)
dalam kondisi mabuknya, hukumnya tetap sah,
2. Kedua muta’âqidain memiliki hak
memilih (khiyar).
Adalah tidak sah jual belinya orang yang
dipaksa/terpaksa (mukrah), kecuali bila dipaksa oleh hakim dengan alasan
yang benar. Contohnya, terpaksa menjual barang yang menjadi haknya untuk
melunasi utangnya sendiri. Maka, meskipun terpaksa dalam menjualnya
(kepepet), maka hukumnya adalah sah. Contoh lain, seorang hakim memaksa
agar orang membeli barang yang dirusaknya—membeli dalam rangka menebus atau
bertanggung jawab atas risiko dari ulahnya. Hukum jual beli semacam ini
hukumnya adalah boleh.
Kedua syarat sah ini berdasarkan keterangan
Syekh Taqiyuddin Abi Bakar al-Hushny dalam kitab Kifâyatul Akhyâr:
1/239, sebagai berikut:
ويشترط
مع هذا أهلية البائع والمشتري فلا يصح بيع الصبي والمجنون والسفيه ويشترط أيضا
فيهما الإختيار فلا يصح بيع المكره إلا إذا أكره بحق بأن توجه عليه بيع ماله لوفاء
دين أو شراء مال أسلم فيه فأكرهه الحاكم على بيعه وشرائه لأنه إكراه بحق. ويصح بيع
السكران وشراؤه على المذهب
Artinya: “Disyaratkan bahwa jual beli
dilakukan oleh ahlinya, baik penjual maupun pembeli. Tidak sah jual belinya
anak kecil, orang gila dan orang yang safih. Disyaratkan juga ada waktu memilih
(ikhtiyar). Tidak sah jual belinya mukrah, kecuali bila dipaksa dengan suatu
haq seperti memaksa menjual hartanya untuk membayar hutangnya. Atau membeli
barang yang diserahkan kepada mukrah, lalu dipaksa oleh hakim agar menjualnya
kembali atau sebaliknya membelinya. Paksaan oleh hakim terhadap mukrah adala
sah atas nama ada haq orang lain yang diperhatikan. Sah pula jual-belinya
seorang pemabuk menurut mazhab Syafii.” (Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin
Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr,
Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/239).
Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi
pengantar memahami dasar-dasar transaksi jual beli (bai’). Wallahu a’lam.
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar