Jumat, 09 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Fiqih Jual Beli: Syarat Sah dan Macam-macamnya


Fiqih Jual Beli: Syarat Sah dan Macam-macamnya

Sebagai makhluk ekonomi, manusia dituntut memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu ia bercocok tanam, berburu atau menjadi nelayan untuk menangkap ikan. Seiring dengan gaya hidup manusia yang senantiasa dinamis, maka timbul hasrat atau keinginan untuk memiliki dan menguasai barang yang ada di tangan orang lain. Cara “primitif” dan barbar sudah ditinggalkan, berganti dengan cara muamalah yang saling menguntungkan dan tidak menimbulkan kerugian sesama. Untuk inilah kemudian berlaku syari’at jual beli.

Dasar kebolehan syariat jual beli adalah Al-Qur'an, hadits dan ijma'. Di dalam kitab Kifâyatul Akhyar, Syekh Taqiyuddin Al Husny menjelaskan pengertian jual beli menurut Islam, yakni sebagai berikut:

البيع في اللغة إعطاء شيء في مقابلة شيء وفي الشرع مقابلة مال بمال قابلين للتصرف بإيجاب وقبول على الوجه المأذون فيه

Artinya: “Jual beli secara bahasa adalah bermakna memberikan suatu barang untuk ditukar dengan barang lain (barter). Jual beli menurut syara’ bermakna pertukaran harta dengan harta untuk keperluan tasharruf/pengelolaan yang disertai dengan lafadh ijab dan qabul menurut tata aturan yang diidzinkan (sah).” (Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatul Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/239)

Dengan mencermati  pengertian jual beli menurut syara’ ini, maka bisa diketahui terdapat tiga rukun jual beli. Imam Al-Rafi’i menyebut ketiganya tidak sebagai rukun. Beliau lebih suka menyebutnya sebagai syarat sahnya jual beli, antara lain: 

• Ada dua orang yang saling bertransaksi (muta‘âqidain), yang terdiri atas penjual dan pembeli
• Adanya shighat/lafadh yang menunjukkan pernyataan jual beli, antara lain lafadh ijab dan lafadh qabul. 
• Barang yang ditransaksikan (ma’qud ‘alaih). Unsur dari al-ma’qud ‘alaih ini terdiri ‘harga’ (thaman) dan “barang yang dihargai” (muthman). 

Ada catatan khusus terkait dengan shighat jual beli. Imam al-Rafi’i sebagaimana dikutip oleh Syekh Zakaria Al-Anshory dalam kitab Fathul Wahâb menyatakan bahwa, dari ketiga rukun jual beli di atas, shighat merupakan rukun utama sehingga oleh al-Rafii ia dimasukkan sebagai syarat utama jual beli. Tanpanya, jual beli tidak sah. Inilah yang kelak menjadi dasar mengapa bai’ mu’âthah (jual beli tanpa lafadh ijab-qabul) tidak diperbolehkan dalam mazhab Syafi’i dan hanya bisa ditemukan di mazhab Hanafi.

Shighat tidak harus diucapkan dalam bentuk kalimat jelas (sharih). Misalnya, “Aku jual baju ini ke kamu.” Kemudian dijawab oleh pembeli, “Aku beli baju ini dari kamu.” Bentuk shighat jual beli bisa diucapkan dengan kata kiasan (kinayah), asalkan secara adat kebiasaan kalimat itu mengandung pengertian serah terima barang dalam bentuk jual beli. Misalnya, ucapan seorang pembeli kepada penjual, “Aku ambil baju ini sekarang ya. Besok saya kasih uangnya ke kamu.” Kalimat “ambil” dan “kasih”, dua-duanya menurut adat masyarakat kita bisa bermakna jual beli dalam kondisi tertentu. 

Macam-macam Jual beli menurut Keberadaan Barangnya

Dilihat dari keberadaan barang yang diperjualbelikan, maka ada tiga macam jual beli dan hukumnya. 

• Barangnya langsung ada di tempat (ainun hadlirah). 

Hukum jual beli barang yang langsung ada di tempat seperti ini adalah boleh. Sah dan tidaknya akad tergantung pada proses yang dijalani oleh muta’aqidain (penjual dan pembeli). Bilamana prosesnya benar, maka sah jual belinya. Dan sebaliknya apabila tidak benar proses jual belinya, maka tidak sah pula akadnya sehingga tidak sah jual belinya.

وأما العين الحاضرة فإن وقع العقد عليها بما يعتبر فيه وفيها صح العقد وإلا فلا

Artinya: “Adapun jual beli barang ditempat, apabila proses transaksinya sesuai dengan syariat, maka sahlah akadnya. Sebaliknya, bila tidak sesuai dengan syariat, maka tidak sah akadnya.” ((Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/239)

• Adakalanya barang masih berupa sesuatu yang belum ada di tempat namun bisa ditunjukkan spesifikasinya dan bisa dimiliki serta dijamin (ainun maushufun fi al dzimmah). Jual beli seperti ini biasanya dilakukan dengan jalan order barang. Ada akad salam dan ada akad istishna’i (inden, red). Hukum dari jual beli barang yang bisa diketahui spesifikasinya dan bisa dijamin ini hukumnya adalah boleh (jâiz)

• Adakalanya barang sama sekali tidak berada di tempat dan tidak diketahui wujudnya (ainun ghaibah), bahkan spesifikasinya. Penjelasan lebih rinci tentang ini insyaallah disampaikan pada tulisan berikutnya.

Syarat Sah Aqid (Penjual/Pembeli)

Dilihat dari sisi orang yang melakukan akad (muta’âqidain), maka syarat sah jual beli ada 2, yaitu: 

1. Kedua pihak penjual dan pembeli sama-sama ahli dalam jual beli. 

Maksud dari ahli di sini adalah bukan seorang anak kecil (shabiy), tidak gila (majnun), dan tidak bodoh (safîh). 

Jika melihat ketiga unsur ini maka pada dasarnya, jual beli itu sah bila pelaku adalah seorang yang berakal. Ketika kedua penjual dan pembeli dalam kondisi sedang terkena musibah sehingga kehilangan akal untuk sementara, maka jual belinya tidak sah. Dan apabila proses hilangnya akal ini disebabkan karena faktor kebiasaan buruk, misalnya seperti pemabuk, maka jual beli yang dilakukan oleh ahli sakran (pemabuk) dalam kondisi mabuknya, hukumnya tetap sah,

2. Kedua muta’âqidain memiliki hak memilih (khiyar). 

Adalah tidak sah jual belinya orang yang dipaksa/terpaksa (mukrah), kecuali bila dipaksa oleh hakim dengan alasan yang benar. Contohnya, terpaksa menjual barang yang menjadi haknya untuk melunasi utangnya sendiri. Maka, meskipun terpaksa dalam menjualnya (kepepet),  maka hukumnya adalah sah. Contoh lain, seorang hakim memaksa agar orang membeli barang yang dirusaknya—membeli dalam rangka menebus atau bertanggung jawab atas risiko dari ulahnya. Hukum jual beli semacam ini hukumnya adalah boleh. 

Kedua syarat sah ini berdasarkan keterangan Syekh Taqiyuddin Abi Bakar al-Hushny dalam kitab Kifâyatul Akhyâr: 1/239, sebagai berikut:

ويشترط مع هذا أهلية البائع والمشتري فلا يصح بيع الصبي والمجنون والسفيه ويشترط أيضا فيهما الإختيار فلا يصح بيع المكره إلا إذا أكره بحق بأن توجه عليه بيع ماله لوفاء دين أو شراء مال أسلم فيه فأكرهه الحاكم على بيعه وشرائه لأنه إكراه بحق. ويصح بيع السكران وشراؤه على المذهب

Artinya: “Disyaratkan bahwa jual beli dilakukan oleh ahlinya, baik penjual maupun pembeli. Tidak sah jual belinya anak kecil, orang gila dan orang yang safih. Disyaratkan juga ada waktu memilih (ikhtiyar). Tidak sah jual belinya mukrah, kecuali bila dipaksa dengan suatu haq seperti memaksa menjual hartanya untuk membayar hutangnya. Atau membeli barang yang diserahkan kepada mukrah, lalu dipaksa oleh hakim agar menjualnya kembali atau sebaliknya membelinya. Paksaan oleh hakim terhadap mukrah adala sah atas nama ada haq orang lain yang diperhatikan. Sah pula jual-belinya seorang pemabuk menurut mazhab Syafii.” (Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/239).

Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi pengantar memahami dasar-dasar transaksi jual beli (bai’). Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar