Bolehkah Berkurban dengan
Binatang Hamil?
Hewan yang tidak sah dijadikan kurban
dijelaskan dalam nash hadits Nabi sebagai berikut:
أَرْبَعٌ
لَا تُجْزِئُ فِي الْأَضَاحِيِّ الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ
الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ عَرَجُهَا وَالْعَجْفَاءُ الَّتِي
لَا تُنْقِي
“Empat hewan yang tidak mencukupi dalam
kurban adalah (1) hewan yang buta sebelah dan jelas kebutaannya, (2) yang sakit
parah, (3) yang pincang parah dan (4) yang sangat kurus hingga tidak punya
tulang sumsum,” (HR al-Tirmidzi, Sahih).
Ulama memberi alasan mengapa empat binatang
yang disebutkan dalam hadits tidak mencukupi, bahwa cacat yang dimiliki
binatang-binatang tersebut dapat mempengaruhi daging, baik dari segi kuantitas
maupun kualitas. Sehingga mengecualikan binatang yang memiliki cacat ringan dari
empat cacat yang disebutkan, semisal sakit ringan atau pincang yang tidak
parah.
Syekh Zakariyya al-Anshari berkata:
(فَصْلٌ) فِي
صِفَةِ الْأُضْحِيَّةِ (وَلَا تُجْزِئُ مَا بِهَا مَرَضٌ) بَيِّنٌ بِحَيْثُ
(يُوجِبُ الْهُزَالَ أَوْ عَرَجٌ بَيِّنٌ) بِحَيْثُ تَسْبِقُهَا الْمَاشِيَةُ إلَى
الْكَلَأِ الطَّيِّبِ وَتَتَخَلَّفُ عَنْ الْقَطِيعِ بِخِلَافِ الْيَسِيرِ مِنْ
ذَلِكَ لِمَا رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ أَرْبَعٌ لَا تُجْزِئُ فِي
الْأَضَاحِيِّ: الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ
مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ عَرَجُهَا وَالْعَجْفَاءُ الَّتِي لَا
تُنْقِي مَأْخُوذَةٌ مِنْ النِّقْيِ بِكَسْرِ النُّونِ وَإِسْكَانِ الْقَافِ،
وَهُوَ الْمُخُّ أَيْ لَا مُخَّ لَهَا؛ وَلِأَنَّ الْبَيِّنَ مِنْ ذَلِكَ
يُؤَثِّرُ فِي اللَّحْمِ بِخِلَافِ الْيَسِيرِ
“Fasal tentang kriteria binatang kurban. Dan
tidak mencukupi hewan yang sakit parah yang menyebabkan kurus atau pincang yang
mencolok sekiranya didahului binatang lain menuju rumput yang lezat dan
tertinggal jauh untuk menyusulnya, berbeda dengan sakit atau pincang yang
sedikit. Hal ini karena hadits yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi dan beliau
mensahihkannya; Empat hewan yang tidak mencukupi dalam kurban adalah (1) hewan
yang buta sebelah dan jelas kebutaannya, (2) yang sakit parah, (3) yang pincang
parah dan (4) yang sangat kurus hingga tidak punya tulang sumsum;. Redaksi la tunqi diambil dari akar
kata al-Niqyu
dengan kasrahnya nun dan sukunnya qaf, yaitu tulang sumsum, maksudnya binatang
yang tidak ada sumsumnya. Dan karena cacat yang mencolok dari hal tersebut
berpengaruh dalam daging, berbeda dengan yang sedikit,” (Syekh Zakariyya
al-Anshari, Asna al-Mathalib,
juz 1, hal. 535).
Secara prinsip, bagian hewan kurban yang
paling dicari orang adalah dagingnya, sehingga setiap cacat yang dapat
mengurangi kuantitas atau kualitas daging, maka semakna dengan empat binatang
yang tidak sah dibuat kurban sebagaimana nash hadits di atas. Disamakan dengan
daging, bagian hewan lainnya yang dikonsumsi seperti bagian pantat dan telinga.
Karena itu binatang yang terpotong telinganya tidak mencukupi, demikian pula
hewan gila, sebab dapat mengakibatkan kurus, demikian pula tidak sah hewan yang
mengalami penyakit kudis, karena dapat merusak kualitas daging. Berbeda halnya
dengan hewan yang hilang tanduknya, maka tetap sah dibuat kurban, karena tidak
berhubungan dengan cacat yang mempengaruhi daging.
Berdasarkan prinsip di atas, mayoritas fuqaha
Syafi’iyyah menyatakan berkurban dengan hewan yang hamil hukumnya tidak sah,
sebab kehamilan yang dialami hewan dapat membuatnya kurus sehingga memiliki
pengaruh yang signifikan dalam kuantitas daging. Pendapat mayoritas ini juga
menilai janin yang ada dalam kandungan tidak dapat menambal kekurangan daging
hewan hamil. Menurut Jumhur Syafi’iiyyah hewan hamil cenderung sama dengan
hewan pincang yang gemuk, meski dagingnya banyak, namun tidak dapat menambal
sisi minusnya pincang yang diderita hewan.
Karena tidak sah dibuat kurban, apabila sudah
terlanjur disembelih, tetap halal asalkan memenuhi syarat-syarat menyembelih,
tapi daging yang dibagikan berstatus sedekah biasa dan tetap mendapat pahala
sedekah.
Pendapat berbeda disampaikan oleh Imam Ibnu
Rif’ah. Beliau mengatakan berkurban dengan hewan hamil hukumnya sah. Menurut
beliau, meski dagingnya berkurang, namun ditambal dengan janin di dalamnya.
Salah satu pembesar ulama mazhab Syafi’i itu menganalogikan hewan hamil dengan
hewan yang terpotong kulit kelenjar testisnya, meski terdapat cacat dalam
kuantitas daging, namun ditambal dengan kualitas kelezatan daging yang
bertambah baik.
Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin berkata:
وَلَا يَجُوْزُ التَّضْحِيَةُ بِحَامِلٍ عَلَى
الْمُعْتَمَدِ؛ لِأَنَّ الْحَمْلَ يَنْقُصُ لَحْمُهَا، وَزِيَادَةُ اللَّحْمِ
بِالْجَنِيْنِ لَا يَجْبُرُ عَيْباً كَعَرْجَاءَ سَمِيْنَةٍ
“Tidak boleh
berkurban dengan binatang hamil menurut pendapat al-Mu’tamad (yang kuat),
karena kehamilan binatang mengurangi dagingnya, sementara bertambahnya daging
disebabkan janin tidak dapat menambal kecacatan seperti binatang pincang yang
gemuk,” (Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin, Busyra
al-Karim, hal. 698).
تَنْبِيْهٌ أَفْهَمَ كَلَامُهُ عَدَمَ إِجْزَاءِ
التَّضْحِيَةِ بِالْحَامِلِ؛ لِأَنَّ الْحَمْلَ يُهَزِّلُهَا وَهُوَ الْأَصَحُّ
كَمَا نَقَلَهُ الْمُصَنِّفُ فِي مَجْمُوْعِهِ عَنِ الْأَصْحَابِ. قَالَ
الأَذْرَعِيُّ وَبِهِ جَزَمَ الشَّيْخُ أَبُوْ حَامِدٍ وَأَتْبَاعُهُ
وَغَيْرُهُمْ، وَفِي بُيُوْعِ الرَّوْضَةِ وَصَدَاقِهَا مَا يُوَافِقُهُ،
“Peringatan, ucapan al-Nawawi memberi
pemahaman tidak mencukupinya berkurban dengan binatang hamil, karena kehamilan
membuatnya kurus. Ini adalah pendapat al-Ashah (yang kuat) seperti yang dikutip
sang pengarang dalam kitab al-Majmu’ dari Ashab. Al-Imam al-Adzra’i berkata;
ini adalah pendapat yang mantap dipakai Syekh Abu Hamid, para pengikutnya dan
ulama-ulama lain. Dalam bab jual beli dan maskawin di kitab al-Raudlah terdapat
keterangan senada”.
Syekh Khatib
al-Syarbini menegaskan:
وَقَوْلُ ابْنِ الرِّفْعَةِ الْمَشْهُوْرُ
أَنَّهَا تُجْزِئُ؛ لِأَنَّ مَا حَصَلَ بِهَا مِنْ نَقْصِ اللَّحْمِ يَنْجَبِرُ
بِالْجَنِيْنِ، فَهُوَ كَالْخَصِيِّ، مَرْدُوْدٌ بِأَنَّ الْجَنِيْنَ قَدْ لَا
يَبْلُغُ حَدَّ الْأَكْلِ كَالْمُضْغَةِ، وَلِأَنَّ زِيَادَةَ اللَّحْمِ لَا
تَجْبُرُ عَيْبًا بِدَلِيلِ الْعَرْجَاءِ السَّمِيْنَةِ.
“Adapun
pendapat Imam Ibnu Rif’ah; pendapat yang masyhur bahwa binatang hamil mencukupi
karena kekurangan dagingnya ditambal dengan janin, sehingga seperti binatang
yang terpotong kulit telur testisnya; ditolak dengan argumen bahwa janin
terkadang tidak sampai batas dimakan seperti gumpalan daging, dan karena
bertambahnya daging tidak dapat menambal kecacacatan dengan dalil binatang
pincang yang gemuk,” (Syekh Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 6, hal. 128).
Status Sembelihan Janin
Dengan
disembelihnya hewan hamil, menjadikan janin dihukumi suci dan halal, tanpa
perlu disembelih lagi. Sebab sembelihan janin diikutkan dengan sembelihan
induknya. Ketentuan ini berlaku apabila keluarnya janin dalam keadaan mati atau
kritis seperti layaknya binatang yang bergerak-gerak pasca disembelih. Bila ia
masih hidup dalam keadaan normal, maka harus disembelih sendiri, tidak cukup
dengan sembelihan induknya.
Syekh
Zakariyya al-Anshari berkata:
)فَصْلٌ وَذَكَاةُ الْجَنِينِ ذَكَاةُ أُمِّهِ)
كَمَا رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَابْنُ حِبَّانَ وَصَحَّحَهُ أَيْ
ذَكَاتُهَا الَّتِي أَحَلَّتْهَا أَحَلَّتْهُ تَبَعًا لَهَا؛ وَلِأَنَّهُ جُزْءٌ
مِنْ أَجْزَائِهَا وَذَكَاتُهَا ذَكَاةٌ لِجَمِيعِ أَجْزَائِهَا؛ وَلِأَنَّهُ لَوْ
لَمْ يَحِلَّ بِذَكَاةِ أُمِّهِ لَحَرُمَ ذَكَاتُهَا مَعَ ظُهُورِ الْحَمْلِ كَمَا
لَا تُقْتَلُ الْحَامِلُ قَوَدًا هَذَا (إنْ خَرَجَ مَيِّتًا) سَوَاءٌ أَشْعَرَ
أَمْ لَا (أَوْ) خَرَجَ حَيًّا (فِي الْحَالِ وَبِهِ حَرَكَةُ مَذْبُوحٍ)
بِخِلَافِ مَا إذَا خَرَجَ وَبِهِ حَيَاةٌ مُسْتَقِرَّةٌ فَلَا يَحِلُّ بِذَكَاةِ
أُمِّهِ
“Fasal,
sembelihan janin adalah sembelihan induknya, seperti dijelaskan hadits yang
diriwayatkan al-Imam al-Turmudzi dan dinyatakan hasan olehnya, riwayat Ibnu
Hibban dan disahihkannya. Maksudnya sembelihan yang menghalalkan induknya juga
menghalalkan janin karena hukumnya diikutkan, dan karena janin merupakan satu
dari beberapa bagian induknya, menyembelihnya berarti juga menyembelih seluruh
bagian-bagiannya. Dan karena bila janin tidak halal dengan sembelihan induknya,
maka pasti haram menyembelihnya besertaan tampaknya kehamilan sebagaimana orang
hamil tidak boleh dibunuh dalam rangka hukuman qisas. Ketentuan ini bila janin
keluar dalam keadaan mati, baik terasa atau tidak, atau keluar dalam keadaan
hidup saat itu juga dan mengalami pergerakan sebagaimana bergeraknya hewan yang
disembelih. Berbeda halnya bila janin keluar dan ditemukan kehidupan yang
normal, maka ia tidak halal dengan sembelihan induknya”. (Syekh
Zakariyya al-Anshari, Asna
al-Mathalib, juz 1, hal. 568).
Simpulannya, berkurban
dengan hewan hamil merupakan persoalan yang diperselisihkan ulama. Dua pendapat
di atas sama-sama boleh dipakai. Oleh sebab itu, praktik kurban dengan binatang
hamil yang terjadi di sebagian masyarakat kita hendaknya tidak perlu diingkari.
[]
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan
Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa
Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar