Selasa, 13 Agustus 2019

Nasaruddin Umar: Hikmah Kurban, dari Sakrifasi Manusia ke Hewan


Hikmah Kurban, dari Sakrifasi Manusia ke Hewan
Oleh: Nasaruddin Umar

IDUL Kurban (spiritual sacrifice) adalah peristiwa kemanusiaan paling monumental. Drama yang diperagakan Nabi Ibrahim menyembelih anaknya, Nabi Ismail, lalu digantikan seekor kambing ialah peristiwa besar dalam sejarah kemanusiaan.

Ibadah kurban merupakan ritual untuk mengakhiri kurban manusia (human sacrifice) lalu digeser ke kurban binatang (animal sacrifice).

Para antropolog menemukan bukti sakrifasi manusia hampir di semua etnik. Di Irak, di sekitar Qan'an, penculikan bayi sering terdengar untuk dipersembahkan kepada Dewa Baal. Jika Dewa Baal murka, bayi-bayi berjatuhan mati misterius.

Suku Astec di Meksiko yang memuja matahari setiap tahun harus mempersembahkan jantung dan darah manusia kepada dewa.

Orang-orang Viking di Eropa Timur malah mempersembahkan pemuka agama mereka kepada Dewa Odion, dewa perang. Hal itu harus dilakukan agar selalu menang dalam mempertahankan negeri.

Orang-orang Mesir setiap tahun harus mempersembahkan seorang gadis cantik ke dalam Sungai Nil agar Dewa Nil tidak murka yang menyebabkan banjir.

Kisah penyaliban Isa (Yesus Kristus) dan penyembelihan Ismail di dunia Arab/Islam atau Ishaq dalam dunia Yahudi/Israel sering dihubungkan dengan mitos human sacrifice. Kebetulan menurut para antropolog, dalam tradisi masyarakat Ibrahim/Abraham setiap keluarga harus mengorbankan seorang anggotanya untuk keselamatan.

Di Nusantara juga pernah terdengar mitos tumbal dan persembahan manusia. Misalnya, di dalam upacara mencegah wabah penyakit menular, upacara membangun rumah ibadah, jembatan dan bangunan monumental, serta persyaratan untuk meraih ngelmu (ilmu hitam). Akan tetapi, sekarang di sejumlah etnik, sakrifasi manusia diganti hewan misalnya kepala kerbau.

Pergantian kurban manusia menjadi kurban hewan yang dipraktikkan Nabi Ibrahim mengandung pesan agar manusia berhenti mengorbankan manusia sebagai subjek kurban.

Dalam perspektif Islam, peristiwa human sacrifation berganti menjadi animal sacrifation diabadikan dalam ayat: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!"

Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggilah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS as-Shaffat: 102-105).

FILOSOFI human sacrifice didasarkan atas keyakinan setiap keluarga harus mengurbankan seorang anggota keluarga.

Kasus penyembelihan putra Ibrahim pernah juga dipahami sebagaimana diisyaratkan dalam ayat: Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agamanya. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS al-An'am/6:137)

Sebuah prinsip di kalangan bangsa Arab dituangkan di dalam sebuah syair sebagaimana dikutip Reuben Levy, "Kuburan adalah mempelai laki-laki paling baik dan penguburan bayi perempuan adalah tuntutan kehormatan" (The grave is the best bridegroom and the burial of daughters is demanded by honour).

Kelahiran bayi perempuan menjadi aib bagi keluarganya. Hal ini juga diisyaratkan dalam ayat: Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (cemberut) mukanya, dan dia sangat sedih. (QS al-Nahl/16:58)

Teori lain mengungkapkan bahwa ide human sacrifice, khususnya bayi perempuan, dilakukan sebagai bentuk kontrol jumlah penduduk dalam masyarakat patriarki tradisional, kekhawatiran menimbulkan aib, misalnya melakukan perkawinan dengan laki-laki di bawah struktur kelasnya, karena masalah ekonomi, atau karena ritus keagamaan.

Sosiolog Divale dan Harris melihat perang atau pembunuhan bayi perempuan merupakan akibat kompleks supremasi laki-laki. Keterampilan dan kekuatan memainkan senjata adalah profesi laki-laki.

Laki-laki dalam pandangan ini dianggap sebagai komunitas militer yang siap berperang.

Relasi gender dalam masyarakat seperti ini cenderung menampakkan pola relasi kuasa yang dicirikan penentuan perempuan oleh laki-laki dan karena kekuasaan yang dimilikinya, kebebasan melakukan poligami terhadap perempuan dari seluruh tingkatan sosial di bawahnya.

Sementara perempuan hanya diperkenankan menjalani praktik monogami, itu pun dengan laki-laki yang dianggap sederajat (kufu'). Tidak jarang perempuan ditemukan hidup sebatang kara sampai akhir hayatnya karena tidak ditemukan laki-laki yang dianggap se-kufu' (setaraf) dengannya.

Dalam situasi tidak terdapat banyak ancaman militer dan persenjataan tidak berkembang, menurut Collins, laki-laki tidak menonjol sebagai komunitas militer.

Pola relasi gender dalam masyarakat seperti ini cenderung bersifat egaliter. Mungkin karena ancaman di luar rumah tidak banyak dan relasi kuasa tidak menonjol sehingga memungkinkan perempuan mengembangkan diri lebih dari sekadar seorang ibu rumah tangga.

Kemampuan perempuan berkiprah di luar sektor domestik memungkinkannya memperoleh kekuatan ekonomi. Hal ini memberinya alternatif pilihan hidup lebih luas. Kekuatan ekonomi dapat memberi kemampuan untuk mengontrol beberapa hal seperti reproduksi, seksualitas, perkawinan, perceraian, pendidikan, dan akses memperoleh kekuasaan.

Penyembelihan hewan kurban yang dilakukan setiap tahun bagi umat Islam sesungguhnya bagian dari upaya untuk memperingati peristiwa teologis yang harus mengurbankan anak manusia setiap tahun lalu diganti binatang. Adalah sangat wajar jika kemudian Islam menetapkan penyembelihan hewan kurban kepada warga umat yang mampu.

Selain untuk tanda syukur akan kepemihakan Allah SWT kepada manusia, juga untuk memberikan kontribusi dalam bentuk protein kepada warga muslim yang tidak mampu.

Islam tidak menoleransi human sacrifice. Bahkan Islam sangat tegas memerintahkan orang memuliakan anak-anak cucu Adam apa pun jenis kelamin, etnik, dan agamanya: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak cucu Adam" (QS al-Isra'/17:70). Redaksi seperti ini tidak pernah kita temukan dalam kita-kitab suci lain. []

MEDIA INDONESIA, 10 Agustus 2019
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar