Hikmah Kurban, dari Sakrifasi Manusia ke Hewan
Oleh: Nasaruddin Umar
IDUL Kurban (spiritual sacrifice) adalah peristiwa kemanusiaan
paling monumental. Drama yang diperagakan Nabi Ibrahim menyembelih anaknya,
Nabi Ismail, lalu digantikan seekor kambing ialah peristiwa besar dalam sejarah
kemanusiaan.
Ibadah kurban merupakan ritual untuk mengakhiri kurban manusia
(human sacrifice) lalu digeser ke kurban binatang (animal sacrifice).
Para antropolog menemukan bukti sakrifasi manusia hampir di semua
etnik. Di Irak, di sekitar Qan'an, penculikan bayi sering terdengar untuk
dipersembahkan kepada Dewa Baal. Jika Dewa Baal murka, bayi-bayi berjatuhan
mati misterius.
Suku Astec di Meksiko yang memuja matahari setiap tahun harus
mempersembahkan jantung dan darah manusia kepada dewa.
Orang-orang Viking di Eropa Timur malah mempersembahkan pemuka
agama mereka kepada Dewa Odion, dewa perang. Hal itu harus dilakukan agar
selalu menang dalam mempertahankan negeri.
Orang-orang Mesir setiap tahun harus mempersembahkan seorang gadis
cantik ke dalam Sungai Nil agar Dewa Nil tidak murka yang menyebabkan banjir.
Kisah penyaliban Isa (Yesus Kristus) dan penyembelihan Ismail di
dunia Arab/Islam atau Ishaq dalam dunia Yahudi/Israel sering dihubungkan dengan
mitos human sacrifice. Kebetulan menurut para antropolog, dalam tradisi
masyarakat Ibrahim/Abraham setiap keluarga harus mengorbankan seorang
anggotanya untuk keselamatan.
Di Nusantara juga pernah terdengar mitos tumbal dan persembahan
manusia. Misalnya, di dalam upacara mencegah wabah penyakit menular, upacara
membangun rumah ibadah, jembatan dan bangunan monumental, serta persyaratan
untuk meraih ngelmu (ilmu hitam). Akan tetapi, sekarang di sejumlah etnik,
sakrifasi manusia diganti hewan misalnya kepala kerbau.
Pergantian kurban manusia menjadi kurban hewan yang dipraktikkan
Nabi Ibrahim mengandung pesan agar manusia berhenti mengorbankan manusia
sebagai subjek kurban.
Dalam perspektif Islam, peristiwa human sacrifation berganti
menjadi animal sacrifation diabadikan dalam ayat: Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai
anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
pikirkanlah apa pendapatmu!"
Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
sabar." Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan
anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggilah
dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu",
sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
baik. (QS as-Shaffat: 102-105).
FILOSOFI human sacrifice didasarkan atas keyakinan setiap keluarga
harus mengurbankan seorang anggota keluarga.
Kasus penyembelihan putra Ibrahim pernah juga dipahami sebagaimana
diisyaratkan dalam ayat: Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah
menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu memandang baik membunuh
anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka
agamanya. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya,
maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS al-An'am/6:137)
Sebuah prinsip di kalangan bangsa Arab dituangkan di dalam sebuah
syair sebagaimana dikutip Reuben Levy, "Kuburan adalah mempelai laki-laki
paling baik dan penguburan bayi perempuan adalah tuntutan kehormatan" (The
grave is the best bridegroom and the burial of daughters is demanded by
honour).
Kelahiran bayi perempuan menjadi aib bagi keluarganya. Hal ini
juga diisyaratkan dalam ayat: Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar
dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (cemberut) mukanya, dan dia sangat
sedih. (QS al-Nahl/16:58)
Teori lain mengungkapkan bahwa ide human sacrifice, khususnya bayi
perempuan, dilakukan sebagai bentuk kontrol jumlah penduduk dalam masyarakat
patriarki tradisional, kekhawatiran menimbulkan aib, misalnya melakukan
perkawinan dengan laki-laki di bawah struktur kelasnya, karena masalah ekonomi,
atau karena ritus keagamaan.
Sosiolog Divale dan Harris melihat perang atau pembunuhan bayi
perempuan merupakan akibat kompleks supremasi laki-laki. Keterampilan dan
kekuatan memainkan senjata adalah profesi laki-laki.
Laki-laki dalam pandangan ini dianggap sebagai komunitas militer
yang siap berperang.
Relasi gender dalam masyarakat seperti ini cenderung menampakkan
pola relasi kuasa yang dicirikan penentuan perempuan oleh laki-laki dan karena
kekuasaan yang dimilikinya, kebebasan melakukan poligami terhadap perempuan
dari seluruh tingkatan sosial di bawahnya.
Sementara perempuan hanya diperkenankan menjalani praktik
monogami, itu pun dengan laki-laki yang dianggap sederajat (kufu'). Tidak
jarang perempuan ditemukan hidup sebatang kara sampai akhir hayatnya karena
tidak ditemukan laki-laki yang dianggap se-kufu' (setaraf) dengannya.
Dalam situasi tidak terdapat banyak ancaman militer dan
persenjataan tidak berkembang, menurut Collins, laki-laki tidak menonjol
sebagai komunitas militer.
Pola relasi gender dalam masyarakat seperti ini cenderung bersifat
egaliter. Mungkin karena ancaman di luar rumah tidak banyak dan relasi kuasa
tidak menonjol sehingga memungkinkan perempuan mengembangkan diri lebih dari
sekadar seorang ibu rumah tangga.
Kemampuan perempuan berkiprah di luar sektor domestik
memungkinkannya memperoleh kekuatan ekonomi. Hal ini memberinya alternatif
pilihan hidup lebih luas. Kekuatan ekonomi dapat memberi kemampuan untuk
mengontrol beberapa hal seperti reproduksi, seksualitas, perkawinan,
perceraian, pendidikan, dan akses memperoleh kekuasaan.
Penyembelihan hewan kurban yang dilakukan setiap tahun bagi umat
Islam sesungguhnya bagian dari upaya untuk memperingati peristiwa teologis yang
harus mengurbankan anak manusia setiap tahun lalu diganti binatang. Adalah
sangat wajar jika kemudian Islam menetapkan penyembelihan hewan kurban kepada
warga umat yang mampu.
Selain untuk tanda syukur akan kepemihakan Allah SWT kepada
manusia, juga untuk memberikan kontribusi dalam bentuk protein kepada warga
muslim yang tidak mampu.
Islam tidak menoleransi human sacrifice. Bahkan Islam sangat tegas
memerintahkan orang memuliakan anak-anak cucu Adam apa pun jenis kelamin,
etnik, dan agamanya: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak cucu
Adam" (QS al-Isra'/17:70). Redaksi seperti ini tidak pernah kita temukan
dalam kita-kitab suci lain. []
MEDIA INDONESIA, 10 Agustus 2019
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar