Nasionalis-Religius
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Apakah
Indonesia sebuah “nation” yang “religius”? Ini sebuah pertanyaan yang tidak
mudah menjawabnya. “Motto” Bhinneka Tunggal Ika secara implisit menunjukkan
bahwa realitas masyarakat Indonesia adalah himpunan suku-suku dengan aneka
ragam bahasa, budaya dan agama, bukan sebuah bangsa (“nation”) tunggal dan
homogen bernama Indonesia.
Kesatuan
berupa mozaik suku itulah yang kemudian berhimpun dalam rumah Indonesia,
sehingga apa yang disebut bangsa Indonesia lebih merupakan cita-cita yang masih
dalam proses dinamis “menjadi” sebuah “bangsa Indonesia” tanpa pretensi
menghapus keragaman. Di sini kesetiaan pada civic values lebih dominan
ketimbang pada ikatan primordialisme etnis dan agama. Dengan demikian, orang
yang nasionalis adalah juga orang yang pluralis.
Sebagai
negara, Indonesia lahir dari rahim masyarakat yang proses kehamilan dan
kelahirannya berdarah-darah, bukan tiba-tiba hadir sebagai hadiah dari negara
penjajah, melainkan buah perjuangan panjang sekali. Di antara kenangan kolektif
yang masih bertahan sampai hari ini, umat Islam selalu merasa sebagai pemilik
saham politik terbesar dengan merujuk daftar jumlah pejuang dan pahlawan
kemerdekaan terbanyak, sehingga persepsi dan identifikasi diri sebagai
mayoritas sering dikapitalisasi setiap menjelang pemilu.
Akhir-akhir
ini, identitas keagamaan merupakan modal sosial yang selalu ditangkap dan
dimanfaatkan serta dibeli oleh para elite politik untuk menjaring massa. Relasi
masyarakat, partai politik dan negara pada masa pra-kemerdekaan dan situasi
hari ini sudah mengalami perubahan dan pergeseran sangat besar. Dulu pluralitas
etnis dan agama yang tumbuh di wilayah Nusantara ini melebur jadi satu kekuatan
gerakan dan gelombang dahsyat melawan penjajah demi lahirnya anak raksasa
bernama Republik Indonesia.
Keinginan
memiliki negara bangsa yang berdaulat dan bermartabat mampu meredam perbedaan
dan konflik horizontal. Para pejuang dan pembangun bangsa dengan jeli, cerdas
dan gagah berani memanfaatkan momen kritis jatuhnya Jepang ke tangan Sekutu
dengan mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 sehingga
Indonesia tidak jatuh ke pelukan Sekutu yang memandang Indonesia sebagai
wilayah pampasan perang.
Kontestasi identitas
Jika pra-kemerdekaan
fokus utama masyarakat adalah berjuang bagi lahirnya negara yang berdaulat,
maka sekarang ini relasi negara dan masyarakat terfragmentasi aspirasinya. Di
bawah langit demokrasi rakyat berhimpun ke dalam berbagai ormas, parpol,
organisasi profesi, dan sekian banyak lembaga lain dengan peran yang
berbeda-beda.
Ada di
antara mereka yang produktif dan konstruktif memikirkan dan memajukan negara,
bermitra dengan pemerintahan yang ada. Ada parpol dan ormas yang hidupnya
mengharapkan kasih sayang negara, ada yang sengaja membuat organisasi sosial
agar bisa mengambil dana negara. Kekuatan rakyat yang dahulu menjadi motor dan
pilar negara, sekarang ini sebagian justru jadi beban dan benalu negara.
Identitas dan militansi keagamaan yang dulu jadi kekuatan revolusi bagi
lahirnya bangsa dan negara, sekarang ada yang mengambil sikap memusuhi negara.
Bahkan ada yang mengharamkan simbol-simbol negara, seperti bendera merah-putih
dan lagu kebangsaan.
Kondisi
sosial-politik era pra-kemerdekaan adalah fight against, sekarang mestinya
bergeser menjadi fight for. Yang pertama menekankan perlawanan fisik dan
militer, yang kedua perjuangan untuk membangun, yang memerlukan konsep
keilmuan, wawasan kenegaraan modern, penguasaan teknologi tinggi dan
keterampilan teknokratik. Pada era fight for ini terjadi seleksi alamiah dan
semakin sedikit yang memenuhi kualifikasi, sementara mayoritas rakyat lalu
menjadi beban negara karena belum memperoleh pendidikan yang tepat yang mampu
mengubah mereka menjadi aset produktif.
Namun
begitu, ketika diberlakukan demokrasi liberal, jumlah suara dan identitas
etnis-keagamaan rakyat tiba-tiba berubah jadi komoditas politik yang amat
mahal, yang pada urutannya bisa menentukan terpilihnya pimpinan nasional maupun
daerah semata berdasarkan kemenangan jumlah suara, bukannya kemenangan ide dan
integritas.
Religiositas
dan spiritualitas
Ada yang
membedakan antara religiositas dan spiritualitas. Yang kedua biasanya
diposisikan lebih inklusif, terbuka, dan universal, melewati batas religi.
Sedangkan religiositas, saripati religi atau agama, memiliki identitas komunal
layaknya agama sehingga religiositas seseorang tetap terikat dengan ajaran,
doktrin dan tradisi agama yang dianutnya. Nasionalitas dan religiositas
keduanya memiliki titik temu yang saling memperkuat yang lain, keduanya
mengasumsikan sikap terbuka, menerima dan menghormati keragaman.
Mengingat
apa yang disebut “religion” selalu bersifat plural, bahwa di muka bumi terdapat
ragam agama, sementara dalam rumah Indonesia juga terdapat kebinekaan, maka
warga negara Indonesia yang religius adalah juga yang memiliki kesadaran dan
komitmen menjaga keragaman. Sikap inilah yang dimiliki para pejuang kemerdekaan
yang telah mewariskan dan mengamanatkan bangsa dan negara ini pada kita semua
untuk kita jaga.
Kata
religiositas atau keberagamaan menunjuk pada kualitas keberagamaan, sedangkan
agama lebih menonjol sebagai identitas kelompok. Oleh karena itu mereka yang
bersemangat menyuarakan identitas kelompok agamanya belum tentu mereka memiliki
pribadi religius. Dalam peristiwa pemilu atau pilkada, agama sebagai identitas
kelompok begitu menguat — dan ini terjadi di berbagai belahan dunia — namun
tidak serta-merta identitas ini disertai sikap religius dan kesalehan beragama.
Di
Indonesia karena mayoritas warganya memiliki identitas Islam, maka populisme
politik yang berkembang akan lebih mudah jika bersinergi dengan emosi dan
identitas keislaman, terlepas hidup mereka religius dan spiritualis ataukah
tidak. Religiositas dan spiritualitas mengarah pada visi, kualitas dan makna
hidup transenden, melewati target jabatan, kekayaan dan popularitas.
Kekuatan
negara
Perubahan
dahsyat yang masyarakat tidak membayangkan adalah betapa negara memiliki
kekuatan sangat besar begitu dia diproklamasikan dan memperoleh pengakuan
dunia. Tokoh-tokoh masyarakat yang semula ikut memperjuangkan kemerdekaan dan
mereka yang menjadi pemimpin informal kekuasaannya diambil alih oleh negara.
Atas nama
negara sebuah rezim bisa menguasai aset bangsa, bisa membuat peraturan untuk
mengendalikan warganya, bahkan berhak untuk memaksa atau pun memenjarakan jika
dianggap melawan dan mengancam negara. Sosok negara demikian abstrak, tetapi
kekuasaan dan kekuatannya sangat nyata, diwakili kehadirannya oleh rezim yang
tengah berkuasa.
Secara
teoretis demokrasi adalah sebuah proses dan prosedur untuk memilih rezim
pemerintahan guna memajukan bangsa dan negara serta melindungi dan
menyejahterakan warganya. Dalam ungkapan populer, demokrasi itu pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Tetapi pada praktiknya partai politik
yang mestinya menjadi penghubung antara rakyat dan negara lalu memainkan
agendanya sendiri yang sangat potensial mengkhianati negara dan rakyatnya.
Di satu
sisi parpol bisa memanfaatkan wibawa negara lewat wakilnya yang duduk di
pemerintahan serta lembaga perwakilan rakyat, di sisi lain parpol bisa
memobilisasi massa untuk memperbesar saham politiknya.
Salah
satu cara yang lagi laku adalah mengedepankan jargon populisme keagamaan karena
di era budaya digital dan hadirnya masyarakat global yang telah merobohkan
sekat-sekat etnis, negara dan birokrasi aspek yang paling mudah dan sensitif
disentuh adalah identitas agama. Rumah keagamaan dibayangkan akan memberikan
tempat yang hangat dan nyaman, sekalipun ada unsur pelarian dari hiruk-pikuk
dan tantangan globalisme yang penuh disrupsi.
Negara
Indonesia yang berdiri atas dorongan cita-cita kemanusiaan yang sangat visioner
dan mulia, ditambah lagi dengan kekayaan alam dan penduduk, kebesaran negara
ini bisa menjadi kerdil jika dikelola oleh pemerintahan yang tidak visioner dan
profesional, di mana pemerintahan saat ini lebih merupakan anak kandung partai
politik, bukannya anak kandung masyarakat yang dulu pernah melahirkan negara.
Ketika
negara telah hadir dan memasuki pergaulan dan persaingan global, maka
pemerintahan yang ada mesti lebih memperkuat kualitas nasionalis-religius
dengan disertai kompetensi teknokratik. Di atas itu semua adalah terciptanya
kerukunan dan kebersamaan yang menempatkan kepentingan bangsa dan rakyat di
atas kepentingan golongan. []
KOMPAS, 9
Agustus 2019
Komaruddin
Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar