Perginya
Mbah Moen sang Pemelihara Perbedaan
Oleh:
Saifullah Yusuf
MAU tahu
kenapa Mbah Moen –sapaan akrab KH Maimoen Zubair– menjadi tempat berteduh
banyak orang dari beragam strata sosial? Salah satu jawabannya: karena beliau
dikenal pandai memelihara perbedaan. Oleh Mbah Moen, perbedaan disikapi sebagai
keniscayaan. Hidup dan kehidupan lahir karena perbedaan. Sesuatu bisa ada dan
hidup tersebab interaksi antar beberapa hal yang berbeda.
Bangsa
ini sangat kaya akan perbedaan. Namun, karena tak mampu menyikapi dengan arif,
sering perbedaan ”SARA” menyebabkan pertikaian. Kadang beda perspektif atas
suatu masalah menimbulkan permusuhan. Di tengah perbedaan yang menjurus pada
lahirnya konflik, muncul harapan akan adanya pranata sosial atau tokoh yang
mahir memberikan jalan keluar. Mbah Moen, dengan berbagai cara, kerap hadir dalam
situasi tersebut.
—
Innaalillahi
wa innaa ilaihi raji’un. Di saat kita sedang merajut benang basah akibat beda
pandangan dan pilihan dalam Pilpres 2019 lalu, Mbah Moen pergi meninggalkan
bangsa ini. Kita kehilangan sosok pemelihara perbedaan saat kita tertatih-tatih
belajar berjalan di atas kebinekaan. Nyaris sepanjang usia, semua daya dan
ikhtiarnya dikhidmahkan untuk mendidik agar kita melihat perbedaan sebagai
wasilah menuju bahagia.
Penulis
sangat beruntung karena bisa berinteraksi dengan Mbah Moen. Bisa merasakan dan
menyaksikan betapa Mbah Moen termasuk ulama yang langka dalam kedudukannya
sebagai lentera umat. Sebagai alim allamah, terlihat jelas pengaruhnya
bagi para santri. Selain berjasa mengajarkan ilmu, almarhum berhasil melahirkan
alim-alim lain sebagai penerusnya di tengah-tengah umat.
Karena
posisinya sebagai ulama, pengasuh pondok pesantren, dan mufti untuk beberapa
lembaga, Mbah Moen sering berhadapan dengan umat. Beliau mendidik dengan
perilaku. Selain itu, simbah lebih gemar dakwah bilhal dibanding bil
lisan. Lihatlah bagaimana para santri sabar berbaris saat pengasuh Pondok
Pesantren Al Anwar, Sarang, Rembang, itu membungkuk-bungkuk menuju mihrab
tempatnya mendaras kitab.
Para
santri, tamu, dan umat yang sowan seperti mendapatkan jalan keluar dari
persoalan yang dihadapi meski Mbah Moen hanya memberikan isyarat. Jiwa mendidik
simbah tunjukkan dengan memberikan isyarat yang berbeda kepada sejumlah tamu
meski persoalan yang diadukan sering kali sama. Mbah Moen piawai mengajarkan pentingnya
banyak sudut pandang atas satu masalah.
Ketika
umat Islam dikejutkan dengan langkah Gus Dur –sapaan KH Abdurrahman Wahid– dan
Gus Mus –sapaan KH Mustofa Bisri– mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
Mbah Moen istiqamah merawat dan membesarkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Beda kendaraan politik dengan Gus Dur semasa menjadi ketua umum Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PB NU) disikapi Mbah Moen secara bijak. Bagi beliau, perbedaan
akan memperkaya khazanah siyasah umat, khususnya bagi warga NU.
Ketika
kelahiran PKB menyebabkan ketegangan dan di daerah-daerah tertentu di Jawa
Timur dan Jawa Tengah menimbulkan pergesekan, Mbah Moen malah melontarkan
pujian untuk Gus Dur. Seperti tak sedang terjadi apa-apa. Seakan PKB bukan
kompetitor bagi PPP. Padahal, jelas sekali kelahiran PKB sangat berpengaruh
bagi eksistensi PPP. Di sejumlah daerah, suara parpol berlogo Kakbah itu
tergerus.
Di saat
sejumlah tokoh gerah dengan perbedaan, mustasyar PB NU itu malah gemar
memeliharanya. Dalam kasus-kasus tertentu, demi kepentingan tertentu pula, ada
tokoh dengan berbagai cara mematikan dan membunuh perbedaan. Tapi, Mbah Moen
malah merawat dan memeliharanya. Karena tak mampu memelihara perbedaan, banyak
organisasi dari tingkat masyarakat hingga negara rusak, jadi korban konflik.
Masih
segar dalam ingatan bagaimana Mbah Moen jadi ”rumah besar” bagi semua pihak
dalam pilpres yang baru lalu. Paslon 01 Jokowi-KH Ma’ruf Amin dan paslon 02
Prabowo Subianto-Sandiaga Uno beserta tim masing-masing secara bergantian
datang, meminta restu dan doa. Ulama langka yang menyayangi semua, karena semua
dianggap sebagai santrinya. Kekuatan Mbah Moen terletak pada rantai
silaturahmi, yang tak kenal lelah beliau jaga dan pelihara dengan tulus.
—
Pepatah
mengatakan, mawtul ’aalim mawtul ’aalam –wafatnya seorang alim bak
matinya alam semesta. Ketika kabar duka itu datang, tarasa godam menggedor
dada. Kita kehilangan seseorang yang hingga di usia renta masih melayani umat
menunaikan ibadah haji. Beliau wafat di Makkah Al Mukarromah, kota suci yang
selalu dirindukannya.
Sangat
jelas, untuk beberapa waktu ke depan, kita akan kehilangan, sebagaimana alam
semesta kehilangan lenteranya. Akan terasa gelap setelah lentera pelan-pelan
meredup, lalu cahaya hilang. Tapi, teladan, ajaran, didikan, dan warisan
nilai-nilai luhur dalam bentuk akhlakul karimah almarhum akan sangat
bermanfaat bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam.
Selamat
jalan, Mbah. (*)
JAWA POS, 7 Agustus 2019
Saifullah
Yusuf | Ketua PB NU, mantan wakil gubernur
Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar