Isu yang
tak Kunjung Terselesaikan
Oleh: KH.
Abdurrahman Wahid
Dalam
ICIS (International Conference of Islamic Scholars) baru-baru ini, para peserta
berbeda sengit tentang sebuah isu: perlukah adanya sebuah negara Islam atau
tidak. Dalam konferensi yang dihadiri para peserta dari 46 negara itu, penulis
menunjuk kepada sebuah kenyataan, bahwa Indonesia bukanlah sebuah negara Islam.
Ia adalah negara tidak berdasarkan agama. Dan semua warga negaranya memiliki
hak yang sama. Memang ada 5 buah agama yang “diakui” pemerintah, tapi
pengakuannya itu hanya untuk mempermudah pemberian bantuan kepada mereka oleh
negara. Inipun sekarang mulai ditentang orang, karena dalam kenyataan agama
Konghucu juga memiliki pengikut dalam jumlah besar yaitu sekitar 5 juta orang.
Dengan berjalannya waktu, dapat diperkirakan bahwa nantinya, entah berapa tahun
lagi, negara akan mengakui Konghucu sebagai agama yang perlu di dukung
pemerintah, seperti 5 agama lain itu.
Karuan
saja informasi penulis itu disanggah oleh sejumlah utusan/peserta seperti
Ayatulloh Taskhiri dari Universitas Teheran di Iran. Ia dan DR. Wahbah Zuhaili
dari Syiria, berkeras dengan pernyataan Islam harus membentuk sebuah negara
guna memungkinkan pemberlakuan Syari’ah (hukum Islam) secara kongkret untuk
berperan dalam kehidupan bernegara. Penulis menjawab, bahwa pemikiran negara
agama tadinya memang ada dalam pembentukan negara , dalam kedudukan selaku
Piagam Jakarta yang terletak dalam UUD 45. Tapi kemudian para wakil dari
seluruh gerakan Islam di Indonesia, ketika pihak gerakan non muslim mengajukan
keberatan, maka rumusan itu kemudian dikeluarkan dari UUD 45. Bahwa masih ada
partai-partai Islam, yang berusaha tidak henti-hentinya untuk menegakkan sebuah
negara Islam, menunjukkan bahwa pikiran tersebut belum sama sekali hilang dalam
kehidupan beragama kaum muslimin di negeri kita. Ini adalah sesuatu yang harus
diterima sebagai kenyataan.
Memang
gerakan-gerakan Islam dimanapun juga, selalu “dihantui” oleh masalah ini,
sehingga tidak heran jika persolannya tidak pernah kunjung selesai. Di sinilah
terletak perbedaan prinsipil antara Islam dan lain-lain. Sebagian kaum
muslimin, jika benar-benar ia ingin dinilai sebagai muslim sejati,.menganggap
bahwa syari’ah “hukum Islam” adalah kalam Illahi yang tidak dapat diubah-ubah
oleh siapapun. Sementara itu, pihak lain selalu menganggap bahwa syari’ah
adalah gagasan “keputusan-keputusan agama” yang harus disesuaikan kepada
kebutuhan hidup kaum muslimin, kecuali beberapa hal prinsip saja. Dengan kata
lain, negara juga harus mampu mengikuti perubahan-perubahan hukum yang
diingini, karena itu negara harus fleksibel terhadap perubahan-perubahan yang
dibutuhkan.
Contohnya,
yaitu Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights) yang disahkan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam deklarasi
tersebut, berpindah agama adalah hak asasi yang dimiliki siapapun dan dapat
digunakan sewaktu-waktu, sedangkan fiqh/Syari’ah (hukum Islam), menentukan
bahwa orang berpindah agama dari agama Islam ke agama lain, dapat dijatuhi
hukuman mati. Sebab perpindahan dari agama Islam ke agama lain, merupakan
tindak kemurtadan (apostasy), yang dapat dihukum mati. Karenanya, berkesesuaian
dengan Deklarasi PBB itu, maka literatur hukum agama tentang hal ini pun harus
diubah. Untuk itu, negara yang ada “haruslah netral”, berarti bukan negara
agama. Kaitannya walaupun masing-masing pihak dalam negara itu “berkeras”
dengan pendiriannya, namun pada akhirnya berujung pada sebuah “kompromi”. Dalam
keadaan demikian masing-masing pihak saling menghormati pendirian pihak lain,
sambil bersiteguh pada “ kebenaran” yang dimilikinya.
Pihak
yang mewajibkan adanya negara Islam, secara sungguh-sungguh telah berusaha
mencapai tujuan itu dengan berbagai cara. Konsep demi konsep telah dipaparkan
yang terakhir adalah konsep “wilayat-i faqih” (pemerintahan para ahli fiqh)
yang dikemukakan oleh Alm. Imam Ayatulloh Ruhollah Khomeini dari Iran dalam
paruh kedua abad ke-20 Masedi. Pandangan beliau itu, pada akhirnya tertuang
dalam konstitusi Republik Islam Iran yang dipakai kini di negeri tersebut.
Kekuasaan pemerintahan pada dasarnya tertuang dalam 4 bagian. Bagian petama adalah
kekuasaan eksekutif, yang dipegang oleh Presiden, yang dipilih langsung oleh
rakyat. Kekuasaan legislatif dipegang oleh Parlemen (Majelis), juga dipilih
langsung oleh rakyat. Kekuasaan Yudikatif terletak ditangan Mahkamah Agung yang
diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Majelis.
Di luar
itu, ada kekuasaan tertinggi yang dapat membatalkan/menganulir keputusan dari
kekuasaan eksekutif dan legislative. Badan yang diserahi tugas ini adalah Dewan
Para Ahli Agama (Khubrigan) yang beranggotakan 80 orang yang komposisinya dari
para anggota yang telah ada (sleeve perpetuating), sehingga dengan demikian
tidak tunduk kepada “ pilihan awam.” Inilah yang membuat mengapa sistem
pemerintahan di Iran itu tidak dapat diterima oleh “pihak barat’ sebagai sistem
yang demokratis. Dalam pandangan mereka, demokrasi senantiasa terkait dengan
liberalisme atau menjadi demokrasi liberal. Dalam sistem yang demikian,
kekuasaan rakyatlah yang menentukan segala-galanya, sehingga di luar itu tidak
ada yang dianggap demokratis. Karena itulah, semboyan mereka adalah vox populi
vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan).
******
Sebagai
isu politik, soal ada tidaknya negara Islam adalah sesuatu yang tidak akan
pernah dipecahkan secara konsepsional. Soalnya menjadi terpulang kepada
keyakinan kaum muslimin sendiri. Pertama, kalau ia berpikir, bahwa hukum agama
adalah sesuatu yang permanen datang dari Allah dan manusia tidak boleh
merubahnya, maka dengan sedirinya ia akan sampai kepada pandangan bahwa hukum
tersebut adalah dalam bentuk syari’ah yang harus diterapkan oleh negara, dan
itu berarti perlunya konsep negara Islam. Sebaliknya dengan pendirian kedua,
mereka yang beranggapan bahwa syari’ah adalah tugas masyarakat untuk merumuskan
dan melaksanakan, dan bukanya negara, tidak merasa perlu akan adanya sebuah
negara agama. Kaum muslimin yang berpikiran seperti ini sekarang merupakan
mayoritas gerakan-gerakan Islam di negeri ini, sedangkan mereka yang berpegang
pada pendirian pertama tadi, tetap menganggap perlu adanya sebuah negara Islam
hanyalah minoritas. Pihak itu pada saat ini diwakili oleh beberpa “Partai
Islam” yang berdiri di tanah air kita, lengkap dengan perbedaan-perbedaan
teologis di antara mereka sendiri.
Karena
kita adalah negara demokratis, dengan sendirinya haruslah dibiarkan mereka
hidup di negeri ini, dan tergantung kepada rakyat sendiri untuk memilih
parlemen yang memiliki pandangan pertama ataupun kedua.
Dalam
pandangan penulis, garis perjuangan yang ditetapkan oleh kehidupan politik kita
mengacu kepada pendirian kedua. Kekuatannya berasal dari kalangan gerakan Islam
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dengan “dukungan” dari non gerakan Islam,
gerakan nasionalis, golongan etnis dan beberapa golongan non-muslim, sehingga
terbentuk sebuah koalisi politik yang tidak tampak dan tidak diproyeksikan oleh
siapapun. “Islamisasi” terjadi tidak pada sistem kenegaraan, melainkan
“kesadaran bermasyarakat”.
Karena
itulah di berbagai kalangan “gerakan nasionalis” selalu didengungkan istilah
‘kaum nasionalis beragama” atau “kaum beragama yang nasionalistik”.
Sebenarnya pengunaan kedua istilah tersebut sangat riskan, dan terkesan
menyederhanakan bentuk-bentuk perjuangan kenegaraan yang sangat kompleks. Namun
keduanya terpaksa digunakan saat ini (Karena belum dijumpai istilah-istilah
yang sesuai dengan kenyataan yang ada). Ternyata, pencarian kedua istilah itu
mudah dikatakan, namun sulit dilakukan, bukan? []
Jakarta,
11 April 2004
Surabaya
News
Tidak ada komentar:
Posting Komentar