Jumat, 09 Agustus 2019

Berawal dari Pembangunan Masjid 'Swasta'


SEJARAH SD TA’MIRUL ISLAM SURAKARTA (1)
Berawal dari Pembangunan Masjid 'Swasta'

Lima puluh  tahun sudah, Sekolah Dasar (SD) Ta’mirul Islam, Surakarta, Jawa Tengah berdiri. sebuah lembaga pendidikan Islam yang bernafas Aswaja di Kota Surakarta berdiri. Tepat di usianya setengah abad, dirayakan dengan kegiatan pengajian akbar bersama Habib Syech As-Segaf dan dihadiri ribuan jamaah.

Meski dihitung baru berusia 50 tahun, namun sejatinya ruh pendidikan SD Ta’mirul telah dibangun sejak hampir 90 tahun yang lalu. Hal ini tak lepas dari pendirian sebuah masjid dan madrasah di daerah Tegalsari Laweyan Surakarta, tepatnya dimulai ketika pada tanggal 28 Oktober 1928 warga Tegalsari mendirikan masjid swasta pertama di daerah Surakarta.

Mengapa disebut masjid swasta? Sebab saat itu, untuk mendirikan masjid prosesnya tidaklah mudah seperti sekarang, tetapi mesti mendapatkan persetujuan dari pihak Keraton Kasunanan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jumlah masjid di daerah Kota Solo dapat dihitung dengan jari, yakni Masjid Agung Kauman, Masjid Kepatihan, Masjid Mangkunegaran, dan Masjid Laweyan.

Akhirnya, muncullah gagasan untuk mendirikan sebuah masjid, bukan dari keraton namun dari swadaya warga/swasta. Ide ini muncul, setelah melaksanakan shalawat tarawih di Langgar Besar di rumah H Mursyidi Barnawi Tegalsari, tanggal 23 Ramadhan 1346 H atau 16 Maret 1928. Tanggal 23 Ramadhan ini pula yang kemudian dijadikan sebagai hari lahir Masjid Tegalsari dan diperingati setiap tahunnya.

Maka segera dibentuklah panitia pembangunan masjid (sebagian nama mereka ditulis di tembok belakang masjid dalam aksara Jawa), dengan ketua KH R. Muhammad Adnan, Sekretaris KH Ahmad Sulaiman dan Ahmad Qomari. Kemudian, bagian keuangan KH Asy’ari dan para Komisaris antara lain KH Ahmad Shofawi, H Umar, H. Nahrowi, H Mudzakir, Imam Mustawi dan H. Djayadi. Sedangkan nama lainnya yang tercantum dalam prasasti yakni KH Djauhar, Ali Imron, Son Haji, Sapingi dan Marjuki.

Tanah yang menjadi tempat untuk mendirikan masjid, merupakan wakaf dari KH Ahmad Shofawi, seorang saudagar batik. Tanah seluas 2000 M2 tersebut, dulunya disebut gramehan yaitu tempat untuk memelihara ikan gurami.

A. Hakim Adnan dalam buku Sejarah Masjid Tegalsari (1993) menerangkan, pembangunan Masjid Tegalsari ini dibangun dengan 3 syarat yaitu (1) dilarang mencari dana dengan mengeluarkan surat edaran/proposal, (2) harus dibiayai sendiri, (3) bila ada dermawan lain memberi bantuan, supaya diterima, tetapi tidak usah meminta.

Selain itu, dalam proses pendirian masjid juga sangat memperhatikan kesucian, baik lahir maupun batin. Semisal batu-bata mesti dibuat tanpa ada campuran clethong (kotoran) sapi. Tidak hanya itu, para tukang bangunan pun dipilih yang muslim dan berwudhu dahulu sebelum mengerjakan tugas.

Singkat cerita, akhirnya dalam waktu 19 bulan 14 hari, selesai sudah pembangunan masjid. Masjid Tegalsari kemudian diresmikan pada 14 Rajab 1348 H, dan digunakan untuk pelaksanaan shalat Jum’at. Pelaksanaan shalat Jum’at dilakukan setelah mendapat persetujuan dari KRT Tafsir Anom V (Pengulu Keraton Surakarta di masa Paku Buwono X) dan telah dimusyawarahkan dengan para ulama. []

(Ajie Najmuddin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar