Tambahan Kata ‘Sayyidina’
dalam Shalawat Nabi
Salah satu hal yang sejak dahulu sampai saat
ini menjadi perdebatan di kalangan umat Islam adalah penambahan kata sayyidinâ
yang bisa diartikan sebagai tuan atau baginda dalam bershalawat kepada Nabi
atau dalam menuturkan nama mulia beliau di luar shalawat. Sebagian kaum
muslimin enggan menambahkan kata sayyidinâ di depan nama Muhammad dan sebagian
yang lain lebih suka menambahkan kata tersebut sebelum mengucapkan nama sang
nabi.
Salah satu alasan bagi mereka yang enggan
menambahkan kata sayyidinâ adalah karena Rasulullah tidak menyebutkan kata itu
ketika mengajarkan bacaan shalawat kepada para sahabat. Mereka ingin
mengamalkan apa yang diajarkan oleh beliau apa adanya tanpa tambahan apa pun.
Sebagaimana diketahui bahwa ketika sahabat
menanyakan perihal bacaan shalawat maka Rasulullah mengajarkan sebuah bacaan
shalawat dengan kalimat yang tidak ada kata sayyidinâ di dalamnya. Saat itu
Rasulullah bersabda:
قُولُوا
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
Artinya: “Ucapkanlah Allâhumma shalli ‘alâ
Muhammad.” (Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi, Shahîh Muslim, [Indonesia:
Maktabah Dahlan, tt.], juz IV, hal. 305)
Atas dasar ajaran dan perintah Rasulullah
inilah mereka tidak menambahkan kata sayyidinâ dalam bershalawat, pun dalam
menyebutkan nama beliau di luar shalawat.
Adapun kelompok yang menambahkan kata
sayyidinâ mereka tidak hanya melihat pada satu dalil hadits di atas namun juga
memperhatikan banyak dasar dan alasan yang mendukungnya.
Di antara beberapa dalil yang menjadi rujukan
mereka adalah sebagai berikut:
Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim:
أَنَا
سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya: “Saya adalah sayid (tuan)-nya anak
Adam di hari kiamat.” (Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi, Shahîh Muslim,
[Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.], juz IV, hal. 1782)
Dalam riwayat yang lain--sebagaimana
dituturkan Imam Nawawi dalam Al-Minhaj—ada tambahan kalimat wa lâ fakhra (tidak
sombong) untuk menjelaskan bahwa penuturan Rasul tentang ke-sayyid-annya bukan
sebagai sikap kesombongan. Pernyataan Rasulullah tentang ke-sayyid-annya ini
disampaikan kepada umatnya sebagai rasa syukur kepada Allah atas pemberian
nikmat berupa kedudukan yang agung ini. Sebagaimana Allah memerintahkan agar
menceritakan nikmat yang diberikan-Nya kepada orang lain; wa ammâ bi ni’mati
Rabbika fa haddits. Pengakuan Rasulullah ini menjadi perlu agar kita sebagai
umatnya memahami pangkat dan kedudukan beliau kemudian memperlakukan beliau
sebagaimana mestinya serta mengagungkannya sesuai dengan pangkat dan
kedudukannya yang tinggi itu. (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhâj, [Kairo:
Darul Ghad Al-Jadid, 2008], jil. VIII, Juz XV, hal. 36)
Sementara Allah di dalam Surat Al-Fath ayat
8-9 menyatakan:
إِنَّا
أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutusmu
sebagai saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Agar kalian
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengagungkan dan memuliakannya.”
Setidaknya dengan hadits dan ayat di atas
menjadi layak dan semestinya bila sebagai umat memuliakan dan mengagungkan
Rasulullah dengan menyertakan kata saayyidinâ saat bershalawat dan menyebut
nama beliau. Rasulullah memang tidak menuturkan kata itu saat mengajari para
sahabat perihal bacaan shalawat, namun sebagai umat tidakkah bersikap tahu diri
dengan bersopan santun kepadanya?
Sebagai gambaran kecil, ketika seorang yang
jauh lebih tua usianya atau seorang yang semestinya dihormati oleh kita
memperkenalkan diri dengan menyebut namanya saja akankah kemudian kita
memanggilnya dengan hanya menyebut namanya saja sebagaimana yang ia kenalkan,
tanpa tambahan kata Bapak atau Ibu sebagai bentuk sopan santun dan penghormatan
kepadanya? Tentu tidak!
Maka, bila sekadar kepada orang yang lebih
tua saja kita mesti menghormatinya dengan panggilan yang layak, bagaimana
dengan Rasulullah yang kedudukan dan kemuliannya sangat diagungkan oleh Allah?
Ketika orang lain melecehkannya kita begitu marah, lalu mengapa untuk sekadar
memanggil dan menyebutnya secara mulia kita enggan melakukannya? Wallâhu a’lam.
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar