Seruan Tuhan untuk
Orang-orang Beriman
Judul
Buku : Seruan Tuhan untuk Orang-Orang
Beriman
Penulis
: Dr. Nurul Huda Maarif
Cetakan
: I, 2018
Penerbit
: Zaman, Jakarta
Tebal
: 418 Halaman
ISBN
: 978-602-6273-16-1
Peresensi
: Muhammad Faiz As, pengurus
perpustakaan Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Selatan, Guluk-Guluk, Sumenep.
Di zaman yang kian
menua, pembacaan terhadap al-Quran hanya bernada ritual semata. Adalah sebuah
ironi kala Al-Qur'an yang didapuk sebagai pedoman umat manusia, khususnya umat
Islam, hanya dibaca tanpa ditelaah makna dan kandungannya.
Paling banter, kita
hanya menengok terjemahan untuk mengetahui artinya saja. Padahal, untuk
memahami esensi Al-Qur'an yang serupa mayapada tak bertepi, tidak hanya
cukup membaca artinya saja. Akibatnya, hikmah-hikmah luhur
Al-Qur'an acapkali terabaikan.
Ketika membaca
Al-Qur'an, kita barangkali pernah berpapasan dengan kalimat ya ayyuhalladzina
amanu. Kalimat ini diulang sebanyak 89 kali dalam Al-Qur'an dan lumrah
dipahami sebagai ciri fisik dari ayat-ayat madaniyah―ayat-ayat
Al-Qur'an yang diturunkan pasca nabi hijrah ke Madinah. Melalui karya
Nurul Huda Maarif ini, kita tahu bahwa keberadaan kalimat tersebut bukan hanya
sapaan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.
Ayat-ayat ini
dilanjutkan dengan tema-tema yang berkenaan soal kewajiban, larangan, jihad,
qital, penghormatan pada kemanusiaan dan lainnya, yang secara umum bertema
serius dan mengindikasikan identitas keimanan seorang muslim.
Dari 89 ayat yang
termaktub, buku ini hanya mendedah sebagiannya yang mayoritas turun disertai
asbabun nuzul. Namun, Nurul Huda Maarif tidak hanya mengupas secara mendalam
ayat demi ayat, beberapa diramu dengan pembahasan yang up to date dan
kontekstual dengan realita kekinian, seperti surat Ali ‘Imran ayat 100 yang
mewartakan bahaya provokasi:
“Hai orang-orang yang
beriman, seandainya kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi
al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah
kamu beriman.”
Ayat ini diturunkan
lantaran ulah seorang Yahudi bernama Syas bin Qais yang dengki melihat
kerukunan suku Aus dan Khazraj yang dulunya saling bentrok. Syas mengutus
anak buahnya untuk nimbrung dan bercakap-cakap dengan mereka guna memprovokasi
dan menyulut kembali sentimen pertikaian lama kedua suku tersebut ketika perang
Bu’ats pada masa jahiliah.
Beruntung berita ini
didengar oleh Rasulullah, beliau segera datang dan mendamaikan keduanya.
Bersamaan dengan kejadian itu, Allah pun berpesan: “Wa’tashimu bihablillah
jami’an wa la tafarraqu” (QS. Ali Imran[3]:103). (halaman 77-78)
Dalam konteks
Indonesia, pluralitas memang menjadi senjata yang ampuh untuk memantik api
permusuhan antar sesama umat Islam. Hal ini tidak lepas dari ulah pihak-pihak
tak bertanggung jawab yang terus-menerus mengompori dan memprovokasi.
Imbasnya, ukhuwah
wathaniyah bahkan ukhuwah Islamiyah digilas begitu saja dengan dalih membela
harga diri. Mirisnya, mereka masih sama-sama orang Islam yang katanya beriman
pada Allah dan Rasul-Nya. Lebih-lebih di era media sosial ini. Di mana
statemen-statemen provokatif sangat mudah dihembuskan untuk memancing emosi
umat.
Memang, hari ini lini
masa kita nyaris tak pernah sepi dari paparan konten-konten bermuatan negatif,
semacam hoax, hujatan-hujatan kebencian, statemen kontroversial dan provokatif
dan lainnya. Apalagi menjelang pilpres tahun 2019 ini, di mana masing-masing
kubu Paslon bersaing untuk meraup sebanyak mungkin suara rakyat dengan ragam
trik dan intrik, termasuk dengan melancarkan konten-konten diatas kepada lawan
politiknya—seperti yang sudah-sudah. Di sinilah Allah kembali mengingatkan
orang beriman untuk senantiasa bertabayun sebelum mengambil sikap.
“Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita, maka
bersungguh-sungguhlah mencari kejelasan agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan yang menyebabkan kamu atas
perbuatan kamu menjadi orang-orang yang menyesal.” (QS. Al-Hujarat [49]: 6).
Saat ini tidak
sedikit kita temui berita yang justru membenarkan yang palsu dan memalsukan
yang benar. Semakin canggih teknologi, pemalsuan informasi akhir-akhir ini juga
sangat mengkhawatirkan. Uniknya, semakin banyak pula yang termakan
bualan-bualan ini. Inilah zaman yang serba keblinger, ketika klarifikasi atau
tabayun menjadi sesuatu yang mahal dan tidak banyak dilakukan. (halaman
312-313)
Buku ini mengajak
kita untuk mempertanyakan kembali keimanan kita selama ini. Kendatipun
demikian, buku ini lebih berposisi sebagai pengingat bagi kita, alih-alih
menghakimi kita yang tak pernah lekang dari salah dan lupa.
Lebih jauh, seperti
yang dituturkan KH Ahsin Sakho Muhammad di bagian pengantar, buku ini
merepresentasikan ajaran Islam yang sebenarnya: menggugah kesadaran manusia
agar selalu menjaga hubungan harmonis dengan Allah dengan berbakti kepada-Nya
dan juga menjaga hubungan harmonis dengan sesama manusia dengan berlaku baik
dan adil. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar