Petunjuk
Al-Qur’an untuk Memperkuat Ukhuwah
Guna tujuan
memantapkan ukhuwah atau persaudaraan antar sesama manusia, pertama kali
Al-Qur’an menggarisbawahi bahwa perbedaan adalah hukum yang berlaku dalam
kehidupan. Selain perbedaan tersebut merupakan kehendak Ilahi, juga demi
kelestarian hidup, sekaligus demi mencapai tujuan kehidupan makhluk di bumi.
“Untuk tiap-tiap umat
di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki,
niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu
mengenai pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS
Al-Ma-idah [5]: 48)
Seandainya Tuhan
menghendaki kesatuan pendapat, niscaya diciptakan-Nya manusia tanpa akal budi
seperti binatang atau benda-benda tak bernyawa yang tidak memiliki kemampuan
memilah dan memilih, karena hanya dengan demikian seluruhnya akan menjadi satu
pendapat.
Dari sini, seorang
Muslim dapat memahami adanya pandangan atau bahkan pendapat yang berbeda dengan
pandangan agamanya, karena semua itu tidak mungkin berada di luar
kehendak Ilahi. Kalaupun nalarnya tidak dapat memahami kenapa Tuhan berbuat
demikian, kenyataan yang diakui Tuhan itu tidak akan menggelisahkan atau
mengantarkannya "mati", atau memaksa orang lain secara halus maupun
kasar agar menganut pandangan agamanya.
“Sungguh kasihan jika
kamu akan membunuh dirimu karena sedih akibat mereka tidak beriman kepada
keterangan ini (Islam).” (QS Al-Kahf [18]: 6)
“Dan jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya.
Maka apakah kamu akan memaksa semua manusia agar menjadi orang-orang yang
beriman?” (QS Yunus [10]: 99)
Ukhuwah dalam praktik
Jika kita mengangkat
salah satu ayat dalam bidang ukhuwah, agaknya salah satu ayat surat Al-Hujurat
dapat dijadikan landasan pengamalan konsep ukhuwah Islamiyah. Ayat yang
dimaksud adalah, “Sesungguhnya orang-orang Mukmin bersaudara, karena itu
lakukanlah ishlah di antara kedua saudaramu.” (QS 49: 10).
Kata ishlah atau
shalah yang banyak sekali berulang dalam Al-Qur’an, pada umumnya tidak
dikaitkan dengan sikap kejiwaan, melainkan justru digunakan dalam kaitannya
dengan perbuatan nyata.
Kata ishlah hendaknya
tidak hanya dipahami dalam arti mendamaikan antara dua orang (atau lebih) yang
berselisih, melainkan harus dipahami sesuai makna semantiknya dengan memperhatikan
penggunaan Al-Qur’an terhadapnya.
Puluhan ayat
berbicara tentang kewajiban melakukan shalah dan ishlah. Dalam kamus-kamus
bahasa Arab, kata shalah diartikan sebagai antonim dari kata fasad (kerusakan),
yang juga dapat diartikan sebagai yang bermanfaat. Sedangkan kata islah
digunakan oleh Al-Qur’an dalam dua bentuk: Pertama ishlah yang selalu
membutuhkan objek; dan kedua adalah shalah yang digunakan sebagai bentuk kata
sifat.
Sehingga, shalah
dapat diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada sesuatu agar
bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan kehadirannya. Apabila
pada sesuatu ada satu nilai yang tidak menyertainya hingga tujuan yang
dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia dituntut untuk menghadirkan nilai
tersebut, dan hal yang dilakukannya itu dinamai ishlah.
Jika kita menunjuk
hadis, salah satu hadis yang populer di dalam bidang ukhuwah adalah sabda Nabi
SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar:
“Seorang Muslim
bersaudara dengan Muslim lainnya. Dia tidak menganiaya, tidak pula
menyerahkannya (kepada musuh). Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya,
Allah akan memenuhi pula kebutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan dan seorang
Muslim suatu kesulitan, Allah akan melapangkan baginya satu kesulitan pula dan
kesulitan-kesulitan yang dihadapinya di hari kemudian. Barangsiapa yang menutup
aib seorang Muslim, Allah akan menutup aibnya di hari kemudian.”
Dari riwayat
At-Tirmidzi dari Abu Hurairah, larangan di atas dilengkapi dengan, Dia tidak
mengkhianatinya, tidak membohonginya, dan tidak pula meninggalkannya tanpa
pertolongan.
Demikian terlihat,
betapa ukhuwah Islamiyah mengantarkan manusia mencapai hasil-hasil konkret
dalam kehidupannya. Untuk memantapkan ukhuwah Islamiyah, yang dibutuhkan bukan
sekadar penjelasan segi-segi persamaan pandangan agama, atau sekadar toleransi
mengenai perbedaan pandangan, melainkan yang lebih penting lagi adalah langkah-langkah
bersama yang dilaksanakan oleh umat, sehingga seluruh umat merasakan nikmatnya.
[]
Disunting dari M.
Quraish Shihab dalam buku karyanya “Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu'i atas
Pelbagai Persoalan Umat” (Mizan, 2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar