Jumat, 05 Juli 2019

(Ngaji of the Day) Obligasi Syariah dengan Akad Sewa-Menyewa


Obligasi Syariah dengan Akad Sewa-Menyewa

Obligasi (syuquq) hakikatnya adalah utang dari sebuah perusahaan syariah kepada investor syariah. Karena nilai utang sangat besar, maka sebagai wujud terima kasih atas utang yang diberikan, ditetapkanlah nilai kembalian. Sementara itu akad ijarah hakikatnya konsep perpindahan nilai guna/manfaat suatu barang dari ajîr (orang yang menyewakan) kepada musta’jir (penyewa) dengan besaran nilai ujrah (imbalan) yang disepakati di awal serta lamanya waktu sewa. Dengan demikian, maka obligasi yang diterapkan dengan akad ijarah pada dasarnya akad utang piutang yang mana pihak yang memberi utang pada dasarnya tidak mengutangkan uang melainkan menyewakan suatu aset yang mana jenis asetnya diserahkan kepada perusahaan sebagai wakil investor untuk mengadakannya.

Rambu-rambu syariat menyatakan bahwa menetapkan nisbah imbal ke pemberi utang di depan hukumnya adalah haram karena masuk unsur riba. Namun, ada akad yang memungkinkan bahwa imbal tersebut hukumnya boleh, asal akadnya bukan didasarkan pada menambah kembalian nilai utang, akan tetapi menggunakan akad ijarah atau sewa-menyewa. 

Sebuah contoh ilustrasi akad utang yang berujung riba: Pak Ahmad memberi utang 10 juta ke Pak Zaid yang lagi membutuhkan duit. Ketika memberi, Pak Ahmad bilang kepada Pak Zaid: “Kamu harus mengembalikan utangmu ini kepadaku, setiap bulannya dengan bunga 1%.” Konsep pernyataan Pak Ahmad ini adalah sama dengan riba karena ada nisbah yang ditentukan di awal akad. 

Hukum akan berubah manakala shighat  ucapan Pak Ahmad ke Pak Zaid seperti ini: “Aku mau menyewa rumahnya Pak Abdul selama satu tahun seharga 10 juta. Aku serahkan kepadamu untuk mengusahakannya.” Selang beberapa waktu setelah didapat rumah yang disewa oleh Pak Zaid, Pak Ahmad lalu berkata: “Sekarang, aku sewakan rumahnya Pak Abdul itu kepadamu untuk mengembangkan usahamu dengan harga sewa 12 juta rupiah. Kamu boleh bayar harga sewa rumah itu kepadaku setiap bulan sebesar 1 juta rupiah, atau diakhir jatuh tempo persewaan.” 

Bolehkah akad seperti ini? Sekarang, coba ubah kata “Pak Abdul” menjadi kata “Pak Zaid”! Jadi, seolah Pak Ahmad menyewakan rumah Pak Zaid sendiri, yang hak sewanya sudah dimiliki oleh Pak Ahmad. Apakah akad seperti ini sah dalam syariat?

Menurut kalangan syafi’iyah hal semacam ini adalah boleh disebabkan rukun dan syarat ijarah sudah terpenuhi semua, antara lain:

1. Shighat ijarah, yakni shighat ijab dan qabul antara kedua belah pihak penyewa dengan yang menyewakan
2. Dua orang yang berakad
3. Nilai manfaat dari objek akad ijarah 

Konsep ini hampir serupa dengan bai’ tawarruq yang mana seseorang mendatangi sebuah toko elektronik untuk membeli komputer secara muajjalan (tempo/angsuran), lalu dijual kembali kepada pemilik komputer tersebut secara kontan (haalan). Harga antara muajjalan dengan kontan tentu berbeda. Bedanya dengan permasalahan di atas adalah karena konteks masalah bukan di dalam urusan jual beli, melainkan ijarah (sewa menyewa). Untuk konteks jual beli, para pembaca bisa merujuk ke tulisan sebelumnya di NU Online 

Skema permasalahan di atas adalah pada prinsipnya sama dengan kasus obligasi ijarah (syukuk ijarah). Dengan demikian, jika kita petakan akan nampak seperti ini:

1. Pihak perusahaan penerbit memiliki peran ganda, yakni sebagai “wakil dari investor” dan selanjutnya ia bertindak selaku “penyewa.”Dalam kasus di atas, setara kedudukannya dengan Pak Zaid yang menyewa rumah Pak Zaid sendiri setelah hak sewanya jatuh ke Pak Ahmad.

2. Pihak investor berperan selaku “penyewa pertama” suatu aset manfaat kepada Emiten, selanjutnya bertindak yang menyewakan kembali hak sewa asetnya tersebut kepada Emiten. Di dalam kasus di atas, kedudukan investor pemegang obligasi ini setara dengan Pak Ahmad yang memiliki hak sewa atas rumahnya Pak Zaid, lalu hak sewanya tersebut disewakan kepada Pak Zaid lagi.

Mencermati keterangan 1 dan 2 ini, maka seolah Pak Zaid menyewa rumah Pak Zaid sendiri setelah hak sewanya jatuh kepada Pak Ahmad. Jika disesuaikan dengan kasus obligasi ijarah, maka emiten menyewakan aset emiten sendiri, setelah hak sewanya jatuh kepada investor (pemegang obligasi).

3. Aset yang disewa adalah berupa aset pabrik yang berupa “barang manfaat” dan mubah, meskipun belum wujud dan hanya terdiri atas aset manfaat. Konteks wujudnya aset ini sebenarnya bisa disiasati dengan mewujudkan aset berupa ruangan pabrik, dan semacamnya. 

Jika konsep barang yang disewakan adalah konsep barang wujud, maka seluruh ulama’ sepakat bolehnya akad ijarah semacam. Yang menjadi persoalan adalah bilamana asetnya hanya berupa barang manfaat/aset manfaat. Terhadap hal ini, Imam Al-Syairazy menyatakan dalam kitab al-Muhadzab, juz 1, beliau menyebutkan: 

يجوز عقد الإجارة على المنافع المباحة والدليل عليه قوله تعالى:إن أرضعن لكم فآتوهن أجورهن (الطلاق: 6).... ولأن الحاجة إلى المنافع كالحاجة إلى الأعيان, فلما جاز عقد البيع على الأعيان وجب أن يجوز عقد الإجارة على المنافع

Artinya: “Boleh melakukan akad sewa menyewa atau suatu aset manfaat. Dalil kebolehan tersebut adalah firman Allah SWT: “Jika mereka menyusukan bayi kalian maka berikanlah upah mereka (Q.S. Al-Thalaq: 6)..... Dan karena hajat kepada aset manfaat tersebut adalah sama dengan kebutuhan kepada aset wujud (a’yan), maka berlaku hukum: “jika boleh melakukan jual beli atas aset wujud (a’yan), maka wajib pula boleh melakukan akad sewa-menyewa atas aset manfaat.” [Lihat Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzabadi al-Syairazy, al-Muhadzab fi Fiqhi al-Imam al-Syafi’i, Beirut: Daru al-Kutub Al-Ilmiyah, Juz: 2, hal.: 242!]

Persoalan berikutnya adalah bolehkah menyewa barang yang “belum diterima” wujud barangnya lalu disewakan kembali kepada pihak lain? Dalam hal ini, Imam Al-Nawawi dalam Kitab Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Juz XV, hal 308 menyebutkan bahwasanya jika penyewa bermaksud menyewakan benda yang disewa kepada pihak lain sebelum benda itu diterima,maka mengenai kebolehan penyewaan (kedua) tersebutterdapat tiga pendapat:

وللمستأجر أن يؤجر العين المستأجرة إذا قبضها لان الإجارة كالبيع وبيع المبيع يجوز بعد القبض فكذلك إجارة المستأجر, ويجوز من المؤجر وغيره كما يجوز بيع المبيع من البائع ﻭ‍ﻫ‍‍ﻞ‍ ‍ﻳ‍‍ﺠ‍‍ﻮ‍ﺯ ‍ﻗ‍‍ﺒ‍‍ﻞ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻘ‍‍ﺒ‍‍ﺾ‍ ‍ﻓ‍‍ﻴ‍‍ﻪ‍ ‍ﺛ‍‍ﻠ‍‍ﺎ‍ﺛ‍‍ﺔ ‍ﺃ‍ﻭ‍ﺟ‍‍ﻪ‍ (‍ﺃ‍ﺣ‍‍ﺪ‍ﻫ‍‍ﺎ) ‍ﻟ‍‍ﺎ ‍ﻳ‍‍ﺠ‍‍ﻮ‍ﺯ ‍ﻛ‍‍ﻤ‍‍ﺎ ‍ﻟ‍‍ﺎ ‍ﻳ‍‍ﺠ‍‍ﻮ‍ﺯ ‍ﺑ‍‍ﻴ‍‍ﻊ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺒ‍‍ﻴ‍‍ﻊ‍ ‍ﻗ‍‍ﺒ‍‍ﻞ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻘ‍‍ﺒ‍‍ﺾ‍ (ﻭ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺜ‍‍ﺎ‍ﻧ‍‍ﻰ) ‍ﻳ‍‍ﺠ‍‍ﻮ‍ﺯ ‍ﻟ‍‍ﺎ‍ﻥ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﻌ‍‍ﻘ‍‍ﻮ‍ﺩ ‍ﻋ‍‍ﻠ‍‍ﻴ‍‍ﻪ‍ ‍ﻫ‍‍ﻮ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﻨ‍‍ﺎ‍ﻓ‍‍ﻊ‍, ‍ﻭ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﻨ‍‍ﺎ‍ﻓ‍‍ﻊ‍ ‍ﻟ‍‍ﺎ ‍ﺗ‍‍ﺼ‍‍ﻴ‍‍ﺮ ‍ﻣ‍‍ﻘ‍‍ﺒ‍‍ﻮ‍ﺿ‍‍ﺔ ‍ﺑ‍‍ﻘ‍‍ﺒ‍‍ﺾ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻌ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍, ‍ﻓ‍‍ﻠ‍‍ﻢ‍ ‍ﻳ‍‍ﺆ‍ﺛ‍‍ﺮ ‍ﻓ‍‍ﻴ‍‍ﻬ‍‍ﺎ ‍ﻗ‍‍ﺒ‍‍ﺾ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻌ‍‍ﻴ‍‍ﻦ‍(‍ﻭ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﺜ‍‍ﺎ‍ﻟ‍‍ﺚ) ‍ﺃ‍ﻧ‍‍ﻪ‍ ‍ﻳ‍‍ﺠ‍‍ﻮ‍ﺯ ‍ﺇ‍ﺟ‍‍ﺎ‍ﺭ‍ﺗ‍‍ﻬ‍‍ﺎ ‍ﻣ‍‍ﻦ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺆ‍ﺟ‍‍ﺮ ‍ﻟ‍‍ﺎ‍ﻧ‍‍ﻬ‍‍ﺎ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﻗ‍‍ﺒ‍‍ﻀ‍‍ﺘ‍‍ﻪ‍,‍ﻭ‍ﻟ‍‍ﺎ ‍ﻳ‍‍ﺠ‍‍ﻮ‍ﺯ ‍ﻣ‍‍ﻦ‍‍ﻏ‍‍ﻴ‍‍ﺮ‍ﻩ‍ ‍ﻟ‍‍ﺎ‍ﻧ‍‍ﻬ‍‍ﺎ ‍ﻟ‍‍ﻴ‍‍ﺴ‍‍ﺖ‍ ‍ﻓ‍‍ﻲ‍ ‍ﻗ‍‍ﺒ‍‍ﻀ‍‍ﺘ‍‍ﻪ‍, ‍ﻭ‍ﻳ‍‍ﺠ‍‍ﻮ‍ﺯ ‍ﺃ‍ﻥ‍ ‍ﻳ‍‍ﺆ‍ﺟ‍‍ﺮ‍ﻫ‍‍ﺎ ‍ﺑ‍‍ﺮ‍ﺃ‍ﺱ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺎ‍ﻝ‍ ‍ﻭ‍ﺑ‍‍ﺄ‍ﻗ‍‍ﻞ‍ ‍ﻣ‍‍ﻨ‍‍ﻪ‍ ‍ﻭ‍ﺑ‍‍ﺄ‍ﻛ‍‍ﺜ‍‍ﺮ ‍ﻟ‍‍أ‍ﻧ‍‍ﺎ ‍ﺑ‍‍ﻴ‍‍ﻨ‍‍ﺎ ‍ﺃ‍ﻥ‍الإﺟ‍‍ﺎ‍ﺭ‍ﺓ ‍ﺑ‍‍ﻴ‍‍ﻊ‍ ‍ﻭ‍ﺑ‍‍ﻴ‍‍ﻊ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺒ‍‍ﻴ‍‍ﻊ‍ ‍ﻳ‍‍ﺠ‍‍ﻮ‍ﺯ ‍ﺑ‍‍ﺮ‍ﺃ‍ﺱ‍ ‍ﺍ‍ﻟ‍‍ﻤ‍‍ﺎ‍ﻝ‍ ‍ﻭ‍ﺑ‍‍ﺄ‍ﻗ‍‍ﻞ ‍ﻣ‍‍ﻨ‍‍ﻪ‍ ‍ﻭ‍ﺑ‍‍ﺄ‍ﻛ‍‍ﺜ‍‍ﺮ ‍ﻣ‍‍ﻨ‍‍ﻪ‍, ‍ﻓ‍‍ﻜ‍‍ﺬ‍ﻟ‍‍ﻚ‍الإ‍ﺟ‍‍ﺎ‍ﺭ‍ﺓ

Artinya: “Dan itu hak bagi penyewa menyewakan ain yang disewa ketika telah terjadi serah terima, karena ijarah adalah sama dengan jual beli, sehingga boleh [menjualnya kembali] setelah qabdlu. Demikian halnya ijarahnya penyewa. Dan boleh [yang bertindak selaku penyewa] berasal dari orang yang menyewakan [shahibul ‘ain al-musta’jarati] dan selainnya sebagaimana boleh menjual [kembali] barang dagangan yang diperoleh dari penjual pertama [ke penjual pertama lagi]. Tentang apakah boleh (menyewakan objek ijarah) sebelum qabdlu, dalam hal ini ada tiga pendapat:

Pertama, tidak boleh,sebagaimana halnya benda yang dibeli; artinya, tidakboleh menjual benda yang dibeli sebelum diterima;sedangkan ijarah (sewa menyewa) sama dengan jual beli(bai’) sebagaimana keterangan terdahulu.

Kedua, penyewaan (kedua oleh penyewa) hukumnyaboleh (sah), karena obyek ijarah adalah manfaat;sedangkan manfaat tidak dipandang sebagai telah diterimahanya dengan pemberi sewa telah menyerahkan bendayang disewakannya. Oleh karenanya, penyerahan benda (qabdlu) tidak menimbulkan pengaruh hukum terhadap manfaat yang disewa.”

Ketiga, boleh hukumnya menyewakan benda yangdisewa tersebut kepada pemberi sewa pertama), karenabenda itu berada pada tangannya; namun tidak bolehmenyewakannya kepada selain pemberi sewa (oranglain), karena benda itu tidak berada pada tangannya. (Lihat Imam Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Juz. 15, halaman 383)

Berdasarkan pernyataan Imam Nawawi di atas, maka disimpulkan bahwa hukum menyewa aset manfaat milik sendiri yang hak sewanya dimiliki oleh orang lain, adalah boleh. Sementara itu tidak berwujudnya qabdlu (serah terima barang) berupa aset manfaat tidak menghalangi sahnya akad ijarah. Dengan demikian, maka obligasi dengan prinsip ijarah dan atau menyewa barang milik sendiri yang hak sewanya dimiliki oleh orang lain adalah boleh dari sisi fiqih. Wallahu a’lam. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar