Selasa, 02 Juli 2019

(Ngaji of the Day) Hukum Menulis Ayat Al-Quran dalam Undangan Pernikahan


Hukum Menulis Ayat Al-Quran dalam Undangan Pernikahan

Menikah merupakan momen yang sakral. Oleh karena itu, banyak orang yang ingin mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan sebaik mungkin. Termasuk di antaranya undangan. Tidak sedikit undangan disebar yang kita temui, terdapat ayat Al-Qur’an baik berupa basmalah atau ayat yang lazim dalam pernikahan seperti QS Ar-Rûm ayat 21 serta ayat sejenis. 

Selain undangan pernikahan, terkadang juga terdapat dalam undangan khitanan dengan menyertakan tulisan salam dengan tulisan Arab. Sedangkan dalam menulis salam, ada lafal Allah (lafadz jalâlah) dengan tulisan arab di sana. Hal ini termasuk asma’ a’dzam yang harus dimuliakan. 

Ulama berbeda pendapat soal hukum memproduksi dan menyebarkan undangan yang terdapat ayat Al-Qur’an sebagaimana di atas. 

Menurut Syafiiyyah dan sebagian pengikut Hanafiyyah, hukumnya makruh karena dikhawatirkan akan jatuh kemudian terbengkalai atau tercecer di mana-mana yang mengakibatkan mushaf Al-Qur’an terinjak-injak. Adapun sebagian pendapat pengikut Hanafiyyah yang lain menyatakan boleh-boleh saja. 

Sedangkan menurut Malikiyyah, hukumnya haram, dengan alasan, Al-Qur’an tersebut akan menjadi terhina atau tidak terhormat. 

Dalam pembahasan undangan di sini, masing-masing disamakan dengan masalah hukumnya mengukir tulisan Al-Qur’an di tembok. Hal tersebut dianggap paling mirip dengan kasus menulis ayat di dalam undangan. Mengingat, masing-masing punya satu alasan yang sama, yaitu kekhawatiran akan jatuh kemudian terinjak-injak, menjadikan Al-Qur’an tersebut tidak terhormat.

كِتَابَةُ الْقُرْآنِ عَلَى الْحَائِطِ- ذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ وَبَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ إِلَى كَرَاهَةِ نَقْشِ الْحِيطَانِ بِالْقُرْآنِ مَخَافَةَ السُّقُوطِ تَحْتَ أَقْدَامِ النَّاسِ، وَيَرَى الْمَالِكِيَّةُ حُرْمَةَ نَقْشِ الْقُرْآنِ وَاسْمِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى الْحِيطَانِ لِتَأْدِيَتِهِ إِلَى الاِمْتِهَانِ. وَذَهَبَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ إِلَى جَوَازِ ذَلِكَ

Artinya: “Kepenulisan Al-Qur’an di tembok. Menurut Syafi’iyyah dan sebagian Hanafiyyah berpendapat makruh mengukir tembok dengan Al-Qur’an karena khawatir akan jatuh terinjak kaki-kaki orang banyak. Malikiyyah berpendapat haram mengukir Al-Qur’an dan nama Allah di atas tembok sebab akan mendatangkan penghinaan terhadap Al-Qur’an. Sedangkan sebagian pengikut Hanafiyyah menyatakan boleh-boleh saja.” (Al-Maûsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Dârus Salâsil, 1404-1427 H], juz 16, halaman 234). 

Kemudian bagaimana sikap penerima undangan seperti tersebut di atas? 

Penerima undangan harus menjaga sebaik mungkin dengan menempatkannya di tempat yang layak atau membakarnya. 

Bagi siapa saja yang dengan sengaja membuang undangan yang sudah jelas-jelas terdapat ayat Al-Qur’an dengan tujuan menghina, sedangkan orang tersebut mengetahui tentang keharamannya, maka orang tersebut bisa dihukumi kafir. 

وَأَجْمَعُوا على ان من استخف بالقرآن أو بشئ مِنْهُ أَوْ بِالْمُصْحَفِ أَوْ أَلْقَاهُ فِي قَاذُورَةٍ أو كذب بشئ مِمَّا جَاءَ بِهِ مِنْ حُكْمٍ أَوْ خَبَرٍ أَوْ نَفَى مَا أَثْبَتَهُ أَوْ أَثْبَتَ مَا نفاه أو شك في شئ مِنْ ذَلِكَ وَهُوَ عَالِمٌ بِهِ كَفَرَ

Artinya: Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang menghina Al-Qur’an atau bagian-bagiannya atau mushaf atau menaruhnya di tempat yang kotor atau menganggap bohong atas berita yang disampaikan Al-Qur’an baik berupa hukum atau cerita atau menggap fiktif atas hal-hal yang disampaikan Al-Qur’an atau ragu atas itu semua, sedangkan ia tahu atas ketidakbolehan hal tersebut, maka orang itu menjadi kafir.” (Imam Nawawi, al-Majmu’, Beirut, Dârul Fikr, juz 2, halaman 170) 

Adapun keharaman menulis salam dengan arab karena semua nama agung disamakan dengan Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan sebagaimana berikut: 

وَالْمُرَادُ بِالْمُصْحَفِ مَا فِيهِ قُرْآنٌ، وَمِثْلُهُ الْحَدِيثُ وَكُلُّ عِلْمٍ شَرْعِيٍّ أَوْ مَا عَلَيْهِ اسْمٌ مُعَظَّمٌ

Artinya: “Yang dimaksud dengan mushaf adalah semua benda yang terdapat tulisan Al-Qur’an. Contohnya adalah hadits dan semua ilmu agama atau semua benda yang di situ terdapat nama-nama yang agung.” (Qalyubi dan Umairah, Hâsyiyatâ Qalyubî wa Umairah, [Beirut, Dârul Fikr, 1995], juz 4, halaman 177. 

Dengan berbagai pertimbangan di atas, maka sebaiknya, bagi para pembuat undangan, untuk tidak menuliskan ayat baik berupa basmalah atau sejenisnya dan salam dalam tulisan arab. Sedangkan bagi penerima undangan yang sudah terlanjur ada asma’ a’dzamnya, harus dijaga dengan layak atau dibakar saja. Wallâhu a’lam bish shawâb. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar