Meluruskan
Hadits Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah
Oleh:
Nadirsyah Hosen
Beberapa
tahun lalu saya mengkritisi Hadits yang sering digunakan Hizbut Tahrir
Indonesia (organisasi yang resmi dibubarkan Pemerintah RI pada 19 Juli 2017)
untuk memprediksi bahwa akan datang kembali sistem pemerintahan khilafah yang
sesuai dengan manhaj kenabian (khilafah 'ala minhajin nubuwwah).
Saya
sebutkan bahwa riwayat Thabrani soal itu majhul (tidak diketahui)
dan riwayat Imam Ahmad bermasalah khususnya pada perawi yang bernama Habib bin
Salim.
Kritikan
saya itu juga diikuti oleh sahabat saya Agus Maftuh Abegebriel (Dubes RI untuk
Saudi Arabia). Akibat kritikan kami tsb, DPP HTI kemudian berusaha keras
mendukung riwayat yang kami persoalkan itu. Mereka menganggap Hadits soal khilafah
‘ala minhajin nubuwwah kalau tidak shahih ya minimal hasan. Mereka tidak
mau bilang dha’if meski mereka mengakui kutipan saya bahwa Imam Bukhari tidak
mau meriwayatkan dari Habib bin Salim. Fihi nazhar (ia perlu diteliti),
kata Imam Bukhari.
Ini
menunjukkan bahwa Habib bin Salim itu perlu ditinggalkan dan tidak dianggap
kredibel. DPP HTI mati-matian hendak menunjukkan bahwa kalimat fihi nazhar
dari imam Bukhari bukan berarti Hadisnya menjadi lemah. Siapa pun yang belajar jarh
wa ta’dil tentu tahu bahwa jarh harus didahulukan ketimbang ta’dil.
Maka
kalau Imam Bukhari sudah men-jarh Habib bin Salim, maka diskusi sudah
selesai sebenarnya. Tidak perlu berpanjang kalam. Memang kita siapa dibanding
Imam Bukhari. Apa lagi dari 9 kitab hadis utama (kutubut tis’ah) hanya
Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadits khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.
Jadi, kelemahan hadis ini tidak bisa tertolong.
Semakin
saya pelajari dan kaji lebih jauh semakin yakin saya dengan kritikan saya
beberapa tahun yang lalu itu. Ini saya coba ringkaskan:
1. Kritik
Sanad
Pertama, Habib
bin Salim ini tidak banyak meriwayatkan Hadis, dan beberapa diantaranya juga
bermasalah. Kitab al-Muwatha dan Tuhfatul Ahwazi mendhaifkan riwayat lain dari
Habib. Kitab Faidul Qadir mengatakan riwayat Habib dari Huzaifah itu mursal dan
Hadis soal khilafah ala minhajin nubuwwah ini diriwayatkan Habib bin Salim dari
Huzaifah. Tarikhul islam li dzahabi mengatakan hadis-hadis riwayat Habib bin
Salim dari Abi Basyir itu dhaif.
Kedua, kitab al-Du’afa
al-kabir lil Uqayli juga mendhaifkan riwayat Habib bin Salim. Kata Ibn Adi,
sanad dia sering tertukar. Al-Suyuti mengatakan dia lemah. Jadi, jelas selain
Imam Bukhari banyak juga ulama lain yang men-jarh-kan Habib bin Salim ini.
Sekali lagi, kita harus mendahulukan jarh dibanding ta’dil.
Ketiga, perawi
berikutnya Dawud ibn Ibrahim al-Washitiy ternyata juga bermasalah. Musnad Ahmad
hanya sekali meriwayatkan dari dia, yaitu Hadis ini saja. Begitu kita lacak ke
kitab hadis utama lainnya nama ini juga tidak muncul.
Dalam
Silsilah Dha’ifah disebutkan oleh Syekh al-Albani bahwa Dawud ini bermasalah (fihi
layyin) dan cacat (fahuwa al-‘illat). Ibn Hibban mengatakan dawud
ini tsiqah tetapi ibn Hibban sendiri tidak pernah meriwayatkan Hadis darinya.
Jadi, kita patut skeptis dengan perawi ini.
Keempat, riwayat
lain, seperti sudah saya sebutkan, berasal dari Mu’jam Thabrani (Hadis No 368),
dan majhul karena salah sau perawinya bernama Habib bin Abi Tsabit
dikomentari Ibn Hibban dan Ibn Khuzaimah sebagai mudallis. Bahkan dalam jalur
riwayat ini Habib bin Abi Tsabit meriwayatkan dari seorang lelaki suku Quraisy.
Tidak jelas siapa orangnya. Maka sanad dari jalur ini jelas bermasalah.
2. Kritik
Matan
Dari segi
matan mari kita simak menurut riwayat jalur Musnad Ahmad (Hadits No 18.406)
periode khilafah itu:
a. Khilafah
‘ala minhajin nubuwwah: ini disepakati ulama sebagai periode khulafa
al-rasyidin. Yang dalam riwayat lain disebutkan hanya 30 tahun.
b.
Kemudian memasuki masa Kerajaan yang Menggigit/zhalim (Mulkan ‘Adhan)
c.
Setelah itu periode Kerajaan yang diktator (Mulkan Jabariyah)
d.
Setelah itu akan datang masa khilafah ‘ala minhajin nubuwwah
Sudah
saya sebutkan dalam tulisan saya sebelumnya bahwa indikasi dari riwayat Musnad
Ahmad ini Habib bin Salim tegas merujuk kepada khalifah Umar Bin Abdul Azis
sebagai periode keempat (d) yaitu khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Jadi,
sudah selesai periodisasi di atas.
Begitu
juga pendapat para ulama seperti al-Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar al-Bazzar,
Abu Dawud al-Thayalisi, Abu Nu’aim al-Ashfihani, al-Baihaqi, Ibn Rajab
al-Hanbali, al-Suyuthi, bahkan Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani (kakek
Taqiyyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir) juga berpendapat Umar Bin Abdul
Azis lah yang dimaksud dalam periode keempat.
HTI
menganggap periode keempat itu akan muncul nanti makanya mereka getol sekali
mau kembali ke sistem khilafah. Kalau periode keempat itu baru muncul
belakangan apa mereka tega mau bilang Umar Bin Abdul azis termasuk yang Mulkan
‘Adhan atau Mulkan Jabariyah?
Lagipula
sekarang ini kita tidak berada pada periode Mulkan Jabariyah (ketiga)
karena kita berada pada zaman negara bangsa (ad-Duwal al-Islamiyah
al-Qaumiyah) yang tidak disebut dalam riwayat yang bermasalah itu. Jadi,
riwayat di atas sudah selesai periodisasinya dan sudah tidak cocok lagi mau dipakai
terus oleh HTI.
Kalau
kita periksa riwayat Thabrani justru periodisasinya berbeda: Kenabian, Khilafah
‘ala minhajin nubuwwah terus Mulkan Jabariyah. Berarti menurut riwayat ini
tidak ada nanti khilafah lagi.
Kitab Majma’
Zawaid mencantumkan riwayat dari Muadz bin Jabbal bahwa urutannya adalah
kenabian, khilafah, mulkan adhan dan mulkan jabariyah. Tidak
disebut periode akhirnya adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Begtu
juga tiga riwayat yang tercantum dalam Kanzul Umal (Hadis No 15111, 15112, dan
15113) tidak menyebutkan ujungnya adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.
Habib bin
Salim ini budak yang dimerdekakan oleh Gubernur Nu’man, dan diangkat sebagai
sekretaris. Anaknya Nu’man yang bernama Yazid kawan dari khalifah Umar bin
Abdul Azis. Maka untuk mendukung anak bossnya, Habib bin Salim menulis surat
kepada Khalifah Umar bin Abdul azis bahwa yang dimaksud sebagai khalifah
‘ala minhajin nbuwwah itu adalah Umar bin Abdul Azis, dan Khalifah merasa
gembira dengan kabar dari Habib bin Salim ini. Jelas kita harus berhati-hati
menerima riwayat ‘politis’ dan cukup ‘berbau menjilat’ kepada penguasa ini.
Kesimpulan:
Ini semua
menguatkan kajian saya beberapa tahun silam bahwa term khilafah a’la
minhajin nubuwwah yang disebutkan dalam riwayat Habib bin Salim itu
hanyalah, pertama, tambahan belaka. Kedua, ditujukan untuk
khalifah Umar bin Abdul Azis bukan untuk akhir zaman. Ketiga, sanad dan
matan riwayat khilafah ‘ala minhajin nubuwwah ini sangat bermasalah.
Karena itu gugur seketika semua propaganda HTI untuk kembali ke jaman khilafah.
Dalil sudah runtuh dan diskusi sudah selesai.
Gerakan
apapun, mau komunis ala PKI, NII dengan negara Islam atau khilafah model HTI
adalah gerakan makar yang hendak menghancurkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Bahkan darah dan air mata para pejuang dan ulama untuk menegakkan
dan mempertahankan NKRI ini dinistakan oleh seorang dai HTI yang beredar
videonya di youtube yang mengatakan semuanya telah mati dalam keadaan kafir
karena tidak mendukung berdirinya khilafah. Dalil mereka saja sangat bermasalah
kok seenaknya mengkafirkan-kafirkan para pejuang dan pendiri Republik
Indonesia. Na’udzubillah.
NU
ONLINE, 27 Juni 2019
Nadirsyah
Hosen | Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand, Dosen Senior
Monash Law School
Tidak ada komentar:
Posting Komentar