Senin, 08 Juli 2019

Kang Komar: Moment of Truth


Moment of Truth
Oleh: Komaruddin Hidayat

PEMILIHAN umum 2019 telah mengungkapkan banyak hal pada kita tentang realitas dan kecenderungan sosial, politik, dan agama dari masyarakat Indonesia. Bahkan, pemilu kali ini bisa disebut sebagai moment of truth.

Potret sosial yang paling menonjol adalah perilaku dan kecenderungan sosial keagamaan masyarakat. Bahwa sentimen dan identitas kelompok etnis dan keagamaan masih sangat kental. Apakah ini laten ataukah musiman saja, perlu kita kaji serius.

Lalu pada tataran suprastruktur, wajah dan perilaku parpol yang mengaku sebagai pejuang demokrasi, ternyata masih berkutat pada demokrasi prosedural, belum substansial. Budaya parpol masih menyerupai dinasti dan oligarki. Ditambah lagi munculnya medsos sebagai instrumen penyaluran aspirasi dan emosi rakyat yang sangat fenomenal dan emosional.

Namun begitu, itulah sebuah kenyataan yang ada dan mesti kita terima. Itulah realitas bangsa Indonesia yang muncul telanjang hari ini. Semua ini kita terima sebagai pertimbangan dan pijakan untuk membuat analisis dan kebijakan serta perbaikan ke depan. Mau ke mana arah dan kualitas demokrasi Indonesia?

Satu hal yang patut kita banggakan, syukuri dan rawat adalah persatuan dan keutuhan bernegara dan proses mengindonesia yang terus menguat. Sekalipun terjadi konflik dan polarisasi di tengah masyarakat, namun institusi dan konstitusi kenegaraan tetap terjaga dan berjalan baik.

Rakyat sudah letih mengikuti proses pemilu dan segera ingin kembali beraktivitas seperti semula. Mahkamah Konstitusi (MK) tetap kukuh wibawa memutuskan sengketa hasil pilpres, sekalipun ada pihak-pihak yang kecewa serta melontarkan berbagai kritik yang dialamatkan ke sana.

Kita pahami kekecewaan mereka dan kita hargai ketaatannya pada konstitusi. Bayangkan saja, apa jadinya dengan bangsa dan negara yang sangat majemuk dan timpang ini jika MK dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak lagi dihormati keputusannya oleh peserta pemilu.

Lalu, mereka mengerahkan pengikutnya untuk memboikot hasil pemilu. Kalau itu terjadi, pemerintahan akan kacau, bangsa bisa bubar dan hancurlah semua warisan dan capaian para pejuang pendiri bangsa.

Yang namanya Indonesia hanya tinggal kenangan pahit layaknya Uni Soviet dan Yugoslavia. Sekali sebuah bangsa yang plural terlibat perang saudara, ongkosnya sangat mahal dan sulit diakhiri. Sekali lagi, sampai di sini kita pantas berbangga dan bersyukur. Terima kasih pada rakyat, partai politik (parpol) peserta pemilu, KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan MK.

Orang bilang, saatnya sekarang kita ramai-ramai mendukung "paslon 03". Maksudnya, perhatian kita semua mesti tertuju pada persoalan bangsa, di atas kepentingan kelompok politik dan agama.

Agenda bangsa ke depan sudah menanti. Terutama dua hal, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberantas korupsi. Dengan kata lain, pemerintah ke depan mesti meningkatkan pelayanan pada rakyat dan menciptakan birokrasi yang bersih, bebas korupsi.

Inilah yang mesti direspons dengan serius oleh pemenang pemilu dan para intelektual serta elite-elite parpol. Makanya mulai bermunculan suara agar Jokowi-Ma'ruf mampu membentuk kabinet profesional, agar nantinya meninggalkan prestasi dan legasi sejarah yang indah dikenang serta menginspirasi pemerintahan berikutnya.

Sangat disayangkan dan akan dikutuk sejarah jika lima tahun ke depan hanya dijalani dengan aman dan nyaman-nyaman, membagi-bagi jabatan pada para pendukungnya. Pemilu itu instrumen untuk memajukan bangsa dan negara, bukan perlombaan berebut jabatan. []

KORAN SINDO, 5 Juli 2019
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar