Tricita Revolusi Mental
Oleh: Yudi Latif
BEL paling berdering yang membangkitkan kesadaran publik dari
kampanye kepresidenan Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah gagasan revolusi mental.
Hal ini bisa memberi landasan ideologi kerja bagi presiden baru untuk
merumuskan platform pemerintahan dengan kerangka kerja dan prioritas
pembangunan yang jelas.
Ilmuwan politik Richard Rose menyebutkan, ”Presiden tidak bisa mengelola
seluruh dimensi pemerintahan, yang nyata-nyata lebih sulit daripada mengurus
kawanan kuda liar.” Ahli kepresidenan Stephen Hess mengingatkan, ”Ketimbang
sebagai chief manager, presiden adalah chief political officer dari sebuah
republik.” Dalam posisi seperti itu, tanggung jawab utama seorang presiden
adalah membuat sejumlah kecil keputusan politik yang amat signifikan, seperti
menentukan prioritas nasional, yang diterjemahkan ke dalam program, anggaran,
dan kebijakan di semua lini dan sektor pemerintahan.
Dengan kata lain, agenda pemerintahan harus jelas dan terbatas
dengan arahan yang gamblang. Presiden harus menunjukkan fokus dalam merumuskan
agenda substantifnya, demi memudahkan mobilisasi sumber daya serta menawarkan
sense of direction bagi aparat pemerintahan, publik, dan media. Juga ambisi
menyelesaikan segala masalah sekaligus berisiko menangguk kegagalan di semua
lini. Presiden yang tak mampu menentukan prioritas karena berpretensi
menyenangkan semua pihak bisa membuat peluang lewat, momentum lenyap, sinisme
menguat.
Mentalitas inti: budaya
Sejauh bisa ditangkap dari kampanye Jokowi-JK, visi-misi
pemerintahan baru akan berusaha secara terencana, bertahap, dan terstruktur
mentransformasikan Indonesia menuju bangsa yang berdikari dalam ekonomi,
berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Untuk
merealisasikan visi-misi ”Trisakti” tersebut, selain diperlukan dukungan sumber
daya material, keterampilan, dan manajemen, yang paling penting adalah kesiapan
mental. Keduanya bahkan menyadari bahwa sandungan utama dalam mengemban
visi-misi Trisakti tersebut bersumber dari hambatan mental. Bahwa secara umum,
manusia dan bangsa Indonesia mengalami kerentanan dalam mentalitas berdikari,
berdaulat, dan berkepribadian, dengan beragam implikasi destruktifnya bagi
perkembangan bangsa.
Usaha revolusi mental harus menyasar aspek terpenting yang
menentukan perilaku manusia, yakni karakter personal dan budaya (sistem nilai,
sistem pengetahuan, dan sistem perilaku sebagai pembentuk karakter kolektif).
Sedemikian pentingnya dimensi budaya dalam menentukan transformasi bangsa,
mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew menyatakan bahwa ”Budaya adalah
penentu nasib suatu bangsa.”
Dalam proyek transformasi budaya, perlu diidentifikasi mentalitas
inti sebagai penggerak utama bagi kelahiran mentalitas-mentalitas turunannya.
Dalam merumuskan budaya perusahaan, terdapat kesepakatan umum bahwa jumlah
mentalitas inti yang menjadi pusat perhatian itu harus terbatas sehingga mudah
diingat dan terukur. Demikian pula halnya dalam merumuskan budaya
kebangsaan-kenegaraan (civic-state culture). Kita harus merumuskan beberapa
mentalitas inti bangsa ini yang harus diubah dan diperkuat dalam kerangka
transformasi budaya bangsa.
Dengan mempertimbangkan realitas hambatan mental yang ada serta
idealitas nilai-nilai budaya keindonesiaan, gagasan revolusi mental Jokowi-JK
bisa berfokus pada tiga mentalitas inti sebagai sasaran utama. Ketiganya
berkisar pada cita penguatan mentalitas-budaya kemandirian, mentalitas-budaya
gotong royong, dan mentalitas-budaya pelayanan. Untuk memudahkan pengingatan,
ketiganya kita sebut sebagai ”Tricita Revolusi Mental”.
Pentingnya mentalitas-budaya ”kemandirian” berangkat dari asumsi
bahwa—secara kultural—sebab utama yang membuat manusia-bangsa Indonesia tidak
berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam
kebudayaan adalah karena manusia-bangsa Indonesia secara umum tidak bisa
menghargai dirinya sendiri, kurang percaya diri, kurang aktualisasi diri, lemah
pendirian, dan lemah kepribadian. Jika disederhanakan, manusia-bangsa Indonesia
tidak memiliki mentalitas kemandirian.
Karena tak memiliki mentalitas kemandirian, perilaku
manusia-bangsa Indonesia cenderung terperangkap dalam dua pilihan ekstrem:
melakukan yang orang (bangsa) lain lakukan, yang mendorong mentalitas
konformis, atau melakukan yang diinginkan orang (bangsa) lain, yang menyuburkan
mentalitas pecundang dan totalitarian. Revolusi mental harus menumbuhkan mentalitas
kemandirian yang membuat manusia-bangsa Indonesia dapat menghargai dirinya
sendiri untuk mengembangkan potensi diri dan mengambil pilihan menurut
pendiriannya dalam rangka mencapai yang terbaik.
Pentingnya mentalitas-budaya ”gotong royong” berangkat dari
asumsi: nilai penting kualitas dan kepercayaan diri hanya menemukan kepenuhan
maknanya dalam jaringan kerja sama dengan yang lain. Tiap huruf alfabet, dari A
sampai Z, merupakan satu karakter yang masing-masing sama penting. Meski
demikian, betapapun pentingnya keberadaan setiap karakter (huruf) itu, tidaklah
bermakna apa-apa tanpa bersekutu dengan huruf-huruf lain dalam membentuk kata
dan kalimat.
Dalam kemajemukan karakter masyarakat Indonesia, gotong royong
adalah nilai fundamental bangsa ini. Menurut pandangan Bung Karno, gotong
royong adalah intisari Pancasila sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan
sistem perilaku bersama. Dalam pandangannya, ”Gotong royong adalah paham yang
dinamis, lebih dinamis dari ’kekeluargaan’. Gotong royong menggambarkan satu
usaha, satu amal, satu pekerjaan. Gotong royong adalah pembanting tulang
bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal
semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.
Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong!”
Revolusi mental harus merestorasi warisan budaya gotong royong
yang mulai pudar dengan mengembangkannya dalam pengertian yang lebih luas.
Restorasi dan transformasi budaya gotong royong bisa mencakup pengembangan
budaya silih asih, silih asah, dan silih asuh; berat sama dipikul, ringan
sama dijinjing; tolong-menolong dengan semangat koperasi; saling menghargai
dalam perbedaan seraya aktif meningkatkan pemahaman dan titik temu dalam
perbedaan (active engagement); mampu menghargai dan mengapresiasi karya dan
prestasi orang lain; serta mampu menjalin sinergi antarpotensi, antaragensi,
antarsektor, dan antarwilayah.
Pentingnya mentalitas-budaya ”pelayanan” berangkat dari asumsi:
pemupukan kemandirian dan penguatan welas asih kegotongroyongan itu harus
bermuara pada pelayanan. Bunda Teresa mengatakan, ”Buah dari kecintaan adalah
pelayanan.” Dalam realitas hidup bangsa Indonesia, apa pun yang dikerjakan
Tuhan sebagai pelayanan kepada bangsa ini serba elok, fantastis, subur, dan
makmur. Namun, apa pun yang dikerjakan manusia sebagai pelayanan kepada
nusa-bangsanya serba amburadul, asal-asalan, mandul, dan miskin.
Dalam realitas politik hari ini, praktik gotong royong masih
berjalan, tetapi dalam konotasi toleransi negatif, ”tolong-menolong dalam
kejahatan dan perusakan”. Gerakan revolusi mental harus menempatkan
gotong royong itu dalam konteks toleransi positif, ”tolong menolong dalam
kebaikan dan pembangunan”. Semangat toleransi yang memadukan kemandirian
dan kerja sama dalam menunaikan pelayanan publik dan kemanusiaan dengan penuh
tanggung jawab dan bermutu untuk kebaikan dan kemuliaan hidup bersama.
Pendekatan horizontal
Perubahan pada ketiga mentalitas-budaya inti tersebut bisa
menurunkan mentalitas-mentalitas ikutan. Kreativitas dan inovasi, misalnya,
akan lahir kalau tersedia ekosistem kreativitas yang merupakan perpaduan dari
ketiga unsur tadi. Dalam pandangan Richard Florida (2002), kreativitas = f
(talenta+toleransi+ teknologi). Dengan kata lain, kreativitas
merupakan fungsi dari pemupukan talenta (unsur kemandirian), yang dikungkung
adanya ruang toleransi untuk saling mengapresiasi (unsur gotong royong), dan
tersedianya sarana teknologis (peralatan teknis, perangkat informasi,
organisasi, fasilitator) yang merupakan unsur pelayanan.
Tricita revolusi mental itu harus menjadi landasan ideologi kerja
bagi penyusunan platform dengan segala turunan program dan kebijakannya di
semua lini dan sektor pemerintahan. Keberadaan ideologi kerja memberikan
framework (panduan dan haluan) yang memudahkan perumusan prioritas pembangunan,
pencanangan program kerja, serta pilihan kebijakan yang diperlukan.
Dalam implementasinya, gerakan revolusi mental ini tidak boleh
dilakukan dengan pendekatan vertikal: negara yang ambil inisiatif, negara yang
menafsir, negara yang melakukan. Cara terbaik mesti dilakukan dengan pendekatan
horizontal dalam bingkai semangat gotong royong yang melibatkan partisipasi
berbagai agen sosial dari kalangan masyarakat sipil, masyarakat media, pekerja
budaya, dunia pendidikan, dan dunia usaha.
Dengan prioritas dan pendekatan seperti itu, gerakan revolusi
mental secara sinergis dan simultan bisa membawa perubahan mendasar pada
struktur mental dan keyakinan bangsa. Dengan perubahan mendasar itu, suatu
pemutusan dengan mentalitas-budaya dan tatanan dekaden bisa dilakukan
sehingga bisa menciptakan suasana kejiwaan yang lebih siap berdikari dalam
ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan. []
KOMPAS, 15 September 2014
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar