Hukum Perempuan Haji dalam
Masa Iddah Setelah Ditinggal Mati Suami
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb. Pak ustad, saya mau
nanya mengenai hajinya perempuan yang dalam masa iddah karena ditinggal mati
suami. Karena saya mendengar bahwa perempuan yang masih dalam masa iddah karena
ditinggal mati suaminya tidak boleh pergi haji. Padahal dia sudah menunggu
antrian ini selama tujuh tahun, mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Namun
ketika mau berangkat suami meninggal dunia. Apakah ada pandangan yang
memperbolehkan perempuan yang sedang menjalani iddah karena ditinggal mati
suaminya pergi haji? Atas penjelasannya saya sampaikan terimakasih.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Wulan/Kalbar
Jawaban:
Wa'alaikum salam wr. wb. Penanya yang
budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Ibadah haji adalah salah satu rukun
Islam, dan diwajibkan sekali seumur hidup bagi orang yang sudah mampu
melaksanakannya. Momen pergi haji adalah merupakan momen yang sangat
dinanti-nanti dan diharapkan setiap Muslim, tak terkecuali penduduk Muslim
Indonesia.
Pergi haji bahkan sudah menjadi dambaan
setiap Muslim. Tetapi untuk bisa menunaikan rukun Islam tersebut harus butuh
perjuangan dan kesabaran yang luar biasa. Terbatasnya kuota haji menyebabkan
calon jamaah haji Indonesia harus bersabar menunggu antrian minimal lima tahun
sampai sepuluh tahun, bahkan lebih.
Kita tidak bisa membayangkan bagaimana
semuanya sudah dipersiapkan sejak lama baik material maupun non-material. Namun
tiba-tiba pas mau berangkat ternyata terhalang iddah yang belum selesai.
Padahal belum tentu juga tahun depan bisa mendapatkan kesempatan.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa
iddah seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh
hari. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah swt berikut ini:
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ -البقرة: 234
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya
(beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis idahnya, maka
tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (Q.S Al-Baqarah
[2]: 234)
Mayoritas ulama menyatakan bahwa perempuan
yang menjalani iddah karena ditinggal mati selama menjalani masa iddahnya harus
tinggal di rumahnya. Karenanya ia tidak boleh keluar untuk pergi haji dan
lainnya.
وَجُمْلَتُهُ
أَنَّ الْمُعْتَدَّةَ مِنَ الْوَفَاةِ لَيْسَ لَهَا أَنْ تَخْرُجَ إِلَى الْحَجِّ
وَلَا إِلَى غَيْرِهِ رُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا وَبِهِ قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَالْقَاسِمُ وَمَالِكٌ
وَالشَّافعي وَأَبُو عُبَيْدٍ وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ وَالثَّوْرِيُّ
“Secara global perempuan yang sedang menjalani
masa iddah karena ditinggal mati suaminya tidak boleh perg haji dan selainnya.
Pandangan ini diriwayatkan dari sayyidina ‘Umar ra dan ‘Utsman ra. Pandangan
ini kemudian dikemukakan oleh Sa’id bin al-Musayyab, al-Qasim, Malik,
asy-Syafi’i, Abu ‘Ubaid, kalangan rasionalis (pengikut Madzhab Hanafi, pent)
dan ats-Tsauri” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Bairut-Dar al-Fikr cet ke-1, 1405 H,
juz, 9, h. 184)
Mereka berdalil dengan perintah Rasulullah
saw kepada Furai’ah binti Malik bin Sinan yang ditinggal mati suaminya, agar
tetap tinggal di rumahnya sampai selesai masa iddahnya. Lantas ia pun menjalani
iddahnya selama empat bulan sepuluh hari.
امْكُثِي
فِي مَسْكَنِ زَوْجِكِ الَّذِي جَاءَكِ فِيهِ نَعْيُهُ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ
أَجَلَهُ قَالَتْ فَاعْتَدَدْتُ فِيهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرً-رواه أحمد
“Tinggallah di rumah suamimu dimana datang di
dalam rumah tersebut berita duka kematiannya kepadamu sampai selesai masa
iddah. Maka aku pun menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari di
rumah tersebut” (H.R. Ahmad).
Namun ada pandangan lain yang memperbolehkan
seorang perempuan yang dalam masa iddah karena ditinggal mati suaminya untuk
menjalankan ibadah haji. Di antara yang berpandangan demikian adalah ‘Atha` dan
al-Hasan al-Bashri. Hal ini sebagaimana didokumentasikan dalam kitab al-Muhalla
oleh Ibnu Hazm.
وَمِنْ
طَرِيقِ إِسْمَاعِيلَ ابْنِ إِسْحَاقَ نَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ نَا
عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ عَنْ حَبِيبِ الْمُعَلِّمِ سَأَلْتُ عَطَاءً عَنِ
الْمُطَلَّقَةِ ثَلَاثًا أَوِ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا أَيَحُجَّانِ فِى
عِدَّتِهِمَا قَالَ نَعَمْ، وَكَانَ الْحَسَنُ يَقُولُ مِثْلَ ذَلِكَ
“Dari jalur Isma’il Ibn Ishaq telah
mengkabarkan kepadaku Abu Bakar bin Abi Syaibah telah mengkabarkan kepadku ‘Abd
al-Wahhab ats-Tsaqafi dari Habib al-Mu’allim, saya pernah bertanya kepada
‘Atha` tentang perempuan yang ditalak tiga kali (talak bain) atau perempuan
yang ditinggal mati suaminya, apakah keduanya boleh menunaikan ibadah haji
ketika masih dalam masa iddahnya? ‘Atha` pun menjawab, ya (boleh). Dan al-Hasan
al-Bashri juga berpandangan sama dengan ‘Atha’. (Ibnu Hazm, al-Muhalla,
Mesir-Idarah ath-Thiba’ah al-Munirah, cet ke-1, 1352 H, juz, 10, h. 285).
Salah satu dalil yang dijadikan rujukan
pandangan kedua adalah kasus sayyidah ‘Aisyah yang keluar bersama saudaranya
yaitu Ummu Kultusm ketika suaminya (Ummu Kultsum) Thalhah bin ‘Ubaid menuju
Makkah untuk melakukaun umrah.
وَذَكَرَ
عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ حَدَثَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ
قَالَ خَرَجَتْ عَائِشَةُ بِأُخْتِهَا أُمِّ كُلْثُومٍ حِيْنَ قُتِلَ عَنْهَا
زَوْجُهَا طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ إِلَى مَكَّةَ فِي عُمْرَةٍ، وَكَانَتْ
تُفْتِي الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا بِالْخُرُوجِ فِي عِدَّتِهَا
“Abdurrazzak mengatakan, Ma’mar telah
menceritkan kepada kami dari az-Zuhri dari ‘Urwah ia berkata, sayyidah ‘Aisyah
ra pernah keluar dengan saudara perempuannya yaitu Ummi Kultsum ketika Thalhah
bin ‘Ubaidillah suami Ummi Kultsum terbunuh, ke Makkah untuk melakukan umrah.
Dan sayyidah ‘Aisyah telah memfatwakan kebolehan keluar rumah bagi seorang
perempuan yang dalam masa iddah karena ditinggal mati suaminya.”. (Lihat
al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, Kairo-Dar al-Kutub al-Mishriyyah, cet
ke-2, 1384 H/1963, juz, 3, h. 177)
Di antara kedua pandangan yang kami
kemukakan, yang dianggap kuat (rajih) adalah pandangan mayoritas ulama karena
didukung dalil sahih dan kuat. Namun dalam sebuah kaidah fikih dikatakan:
لاَ
يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ
“Pandangan lain yang masih diperselisihkan
tidak boleh serta merta diingkari, sementara pandangan yang telah disepakati
ulama tidak boleh diingkari dengan yang sebaliknya”. (Jalaluddin as-Suyuti,
al-Asybah wa an-Nazha`ir, Bairut-Dar al-Fikr, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403
H, h. 158).
Apa yang kami kemukakan, jika ditarik ke
dalam konteks pertanyaan di atas, maka pada dasarnya mengenai persoalan
boleh-tidaknya perempuan yang sedang menjalani iddah karena ditinggal mati
suami adalah persoalan yang masih diperselisihkan di antara para ulama. Ada
yang mengatakan tidak boleh, dan ada yang mengatakan boleh.
Meskipun pandangan kedua dianggap lemah
(marjuh), namun tidak dengan serta merta dapat dinafikan begitu saja. Karenanya
hemat kami pandangan kedua bisa diambil sebagai rujukan dengan pertimbangan
hajat, seperti sudah membayar ongkos naik haji dan biaya-biaya lainnya yang
tidak sedikit.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukan.
Semoga bermanfaat, dan saran kami untuk yang ditinggalkan suami, bersabarlah,
dan banyak-banyak berdoa. Dan yakinlah bahwa setelah kesukaran pasti akan ada
kemudahan. []
Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar