Radikalitas ISIS
Oleh: Hasyim Muzadi
Paling kurang, semenjak dua dekade terakhir, Indonesia telah
menjadi pasar bebas masuknya beragam mazhab pemikiran keagamaan. Dalam
praksisnya, mazhab yang datang bergelombang bersama terbitnya fajar reformasi
memberi pesan serius bahwa telah terjadi perubahan cara pandang beberapa anak
bangsa dalam mempraktikkan pemahaman agamanya. Cara pandang inilah yang
belakangan membuat keretakan di tengah-tengah umat.
Sebenarnya, dalam kaitan perbedaan cara pandang, bangsa kita
memiliki sejarah panjang.Bahkan, perbedaan cara pandang sudah berhamburan sejak
pertama negara akan di bentuk.
Kalau tidak karena rahmat Allah SWT, sudah barang pasti bangsa
kita akan langsung terberai pada langkah pertama para founding fathers duduk di
meja perundingan. Beragam agama, suku, bahasa, adat istiadat, bisa menyatu
dalam kesadaran "bhinneka tunggal ika".
Kini, dalam beberapa hari terakhir, kehi dupan keberagamaan kita
kembali terusik dengan munculnya gerakan politik baru berskala transnasional.
ISIS namanya. Ia adalah Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Menjadi momok
paling menakutkan di dua negara yang hingga kini terkoyak karena perang saudara
di kawasan Timur Tengah, Irak dan Suriah. Secara distansial, ia ada jauh di
sana, tetapi karena dibumbui tema keagamaan, gaungnya menembus jauh hingga
tengah-tengah umat Islam Indonesia.
Kita di dalam negeri belum tahu pasti kemana arah angin akan
membawa ISIS. Tetapi, keberadaannya benar-benar telah membuat kita waswas.
Gerakannya yang mudah mengafirkan orang atau kelompok yang tidak sepaham,
mereka sebagai tak firi.
Gerakan ini telah membuat kita traumatis. Beberapa tahun silam,
aksi bom bunuh diri, pe ledakan gereja, peluluhlantakan kafe dan klub malam
merupa kan harga yang harus kita bayar karena tidak bersikap tegas terhadap
gerakan radikal berbumbu agama ini.
Sebagai Rais Syuriah PBNU, penulis menyerukan umat Islam,
khususnya kaum Nahdliyin, tak perlu ikut mendukung ISIS dan jangan membuat
perpecahan di kalangan kaum muslimin. Sangat penting disadari bahwa kemunculan
dan keberadaan ISIS merupakan fenomena masyarakat Islam di Timur Tengah.
Karena perbedaan budaya dan cara pandang, paham ini tidak sama dan
tidak pernah sama dengan kondisi Indonesia. Dalam kaitan ini maka pening katan
kewaspadaan adalah mutlak.
ISIS dan beragam paham yang sejenis sejak musim reformasi telah
menjelma menjadi embrioembrio kekuatan garis radikal, baik melalui gerakan
massa, gerakan yang masuk sistem keindonesiaan, maupun yang menempuh cara
teror. Apabila embrio radikalitas ini diolah dengan bumbu isu ISIS atau
perpecahan pascapilpres, pasti akan meningkatkan kadar kekerasan dalam gerakan
trans nasional yang membahayakan keselamatan kaum muslimin Indonesia dan
sekaligus keutuhan NKRI.
Gerakan pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) ini tumbuh
di Indonesia karena banyak kelompok seide yang telah lama berdiri. Seperti, paham
gerakan khilafah (pemerintahan Islam). Kita melihat, pemerintah terlalu longgar
dan pengawasannya lemah.
Tentu saja, gerakan pendukung ISIS sangat berbahaya karena
ideologinya tak mengakui kedaulatan sebuah negara. ISIS muncul karena ada
kelompok dengan pemikiran yang seide membentuk khilafah.
Kelompok tersebut merakit kekuatan dengan gerakan massa dan teror.
Jika dibiarkan, akan mengakibatkan pergolakan. Gerakan mereka merupakan gerakan
transnasional yang menggejala di seluruh dunia.
Untuk menangkalnya, dibutuhkan kerja sama antara Badan Intelijen
Negara (BIN), Kementerian Agama (Kemenag), dan Kementerian Luar Negeri (Ke
menlu).
Sedangkan, selama ini lembaga negara cenderung ber gerak sendiri
tanpa koordinasi yang jelas.Selain itu, lembaga negara harus bergerak ekstra
keras. BIN, misalnya, tak hanya mela kukan usaha pengawasan dengan pola kerja
intelijen, tapi juga harus memotret dan me mahami ideologi dan pola pikir
mereka.
Dengan demikian, bisa dilakukan upaya pencegahan agar ideologi
tersebut tak memengaruhi umat Islam yang lain.Selain itu, Kemenlu harus
proaktif mengawasi setiap warga negara yang belajar ke luar negeri, baik ke
Timur Tengah, Eropa, maupun Amerika Serikat (AS).
Tujuannya agar mereka tak membawa ideologi yang bertentangan dengan
NKRI. Selain itu, Kemenlu harus melakukan diplomasi untuk turut mencegah
konflik di Timur Tengah. Sebab, saat ini diplomasi tak berjalan optimal alias
mandek.
Tentu semua berharap agar gerakan Islam radikal dikendalikan
supaya tak berkembang terlalu jauh. Selanjutnya, Ke menag harus membangun Islam
yang moderat serta mencegah gerakan dan jaringan Islam radikal.Semua pihak
harus menangkal gerakan dukungan kepada ISIS. Caranya dengan memperkuat
jam'iyyah (organisasi)
pada tataran masyarakat bawah (grass root). Tentu saja mereka tak
perlu dimusuhi, tetapi harus dijauhi. Sebab, jika terjadi bentrok, mereka akan
membawa teman dari negara lain untuk membuat konflik di Indonesia.
Bagi kita umat Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah, cara
paling tepat, yakni dengan melakukan strategi yang Islami dan Indonesiawi
ketimbang mengaku "kelompok paling Islam" namun menghalalkan segala
cara untuk mencapai kepentingan pribadi (kelompok) yang ujung-ujungnya justru merusak
Islam. Padahal, yang demikian tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah.
Menghalalkan segala cara, bukanlah ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.
Memang, yang pernah terjadi dalam sejarah Islam, yaitu kelompok Khawarij.
Gerakan ini berprinsip; boleh merusak apa saja yang bertentangan dengan
kemauannya.
Sekarang ini, ajaran tersebut menjelma dalam berbagai bentuk
gerakan perusakan dengan segala manifestasinya. Jika karena itu, terjadi
bentrok antarkelompok kaum Muslimin. Maka, saat itulah kekuatan asing akan
masuk dan merusak Islam dan Indonesia. Wallahu a''lam. []
REPUBLIKA, 24 Agustus 2014
Hasyim Muzadi ; Mantan Ketua Umum PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar