Penumpang Gelap Jokowi-JK
Oleh: Bambang Soesatyo
Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan pemenang Pemilihan Presiden
2014 yaitu Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).
Namun, hingga kini format kabinet kerja yang profesional yang
selalu didengungkan masih belum jelas. Banyak kalangan terus penasaran.
Mampukah keduanya menangkal penetrasi kelompok kepentingan? Kegagalan keduanya
akan dengan mudah dilihat publik jika ada penumpang gelap dalam formasi kabinet
mereka. Menunggu kehadiran pemerintah baru, sejumlah pemerhati masih
menggarisbawahi pernyataan bernuansa komitmen Jokowi dalam debat kandidat calon
presiden putaran terakhir.
Dia saat itu menegaskan, ”Dalam (sektor) tambang, minyak, dan gas
memang banyak kelompok kepentingan. Semua sudah tahu pembagiannya. Tapi, apakah
kita punya keinginan untuk hentikan itu? Jika kelompok kepentingan itu masih
ada, kita akan begini terus. Kami (Jokowi-JK) tidak ingin terbebani dengan masa
lalu.” Kelompok kepentingan, atau dalam istilah lain disebut juga mafia, akan
selalu ada, bahkan tak jarang berdampingan dengan sebuah rezim pemerintahan.
Kelompok-kelompok itu tak pernah jauh dari pusat kekuasaan karena
mereka punya andil dalam proses keterpilihan seorang pemimpin. Target utama
mereka bukan sekadar balik modal, melainkan meraih untung sebesar-besarnya.
Mereka mengincar proyek-proyek pemerintah yang profitable atau meminta konsesi.
Figur-figur dari kelompok kepentingan itu tak akan pernah menampakkan wujud
atau batang hidung mereka di sidang kabinet atau ruang kerja menteri.
Dibuat kesan bahwa mereka tak pernah ada karena kelompok- kelompok
itu hanya perlu bermanuver di belakang layar. Lantas, siapa ujung tombak
kelompok kepentingan itu di pemerintahan atau di sidang kabinet? Bisa presidennya
sendiri atau menteri. Maka itu, ketika Jokowi memberi isyarat untuk tidak akan
menanggapi dan tidak memberi akses bagi kelompok-kelompok kepentingan
memengaruhi kebijakan pemerintahannya, ia diacungi jempol. Tetapi, pada saat
bersamaan, muncul juga pertanyaan.
Mampukah presiden-wakil presiden terpilih menangkal penetrasi
kelompok-kelompok kepentingan yang sudah lama bergentayangan di republik ini?
Benarkah Jokowi atau bahkan Prabowo bebas dari sponsor kelompok ini?
Wallahualam.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menegaskan bahwa dari
aspek skala, korupsi terbesar terjadi di sektor energi. Modusnya bukan hanya
rekayasa perjanjian bagi hasil dengan kontraktor asing atau cost recovery.
Modus lainnya adalah monopoli dan rekayasa harga dalam perdagangan
bahan bakar minyak (BBM). Modus ini mengambil untung dari program subsidi BBM
yang membuat APBN berantakan dan tak berdaya. Penangguk untung terbesar dari
modus ini kelompok kepentingan yang disebut publik sebagai mafia migas. Modus
korupsi ini bisa berkesinambungan karena mafia migas itu punya orang kuat di
kabinet. Kelompok kepentingan lainnya bersekutu dalam kartel. Mereka memonopoli
impor sejumlah komoditas kebutuhan pokok rakyat.
Ada kartel kedelai, kartel bawang putih, hingga kartel daging
sapi. Tentu saja kartel-kartel ini punya jagoan di kabinet sehingga mereka bisa
mendapatkan hak monopoli impor itu. Ulah kartel-kartel ini sempat sangat
keterlaluan dan merugikan masyarakat karena merekayasa kelangkaan untuk
mendongkrak harga kedelai, bawang putih, hingga daging sapi. Ambisi Jokowi
untuk mengakhiri sepak terjang kelompok kepentingan itu memang sangat ideal dan
menjadi harapan seluruh rakyat.
Tetapi, apakah Jokowi-JK cukup kuat untuk mengatakan ”tidak” pada
kelompok-kelompok kepentingan? Inilah yang masih ditunggu khalayak. Tetapi, di
ruang publik para pemerhati mulai mengembuskan bisik-bisik. Ada yang sudah
melihat bahwa kelompok kepentingan bahkan sudah menempel ketat tim pemenangan
Jokowi-JK. Tak hanya itu, ada juga yang melihat figur penganut neoliberalisme
di sekitar Jokowi-JK. Memang mengkhawatirkan kelompok kepentingan di sekitar
Jokowi-JK pada tahap persiapan transisi sekarang ini mungkin agak berlebihan.
Tetapi, Jokowi-JK perlu mewaspadai ini agar kabinet dan pemerintahan mereka
nanti tidak disusupi penumpang gelap.
Suara Publik
Salah satu orang kepercayaan Jokowi yang paling banyak
dipergunjingkan akhir-akhir ini adalah Kepala Staf Tim Transisi Rini Mariani
Soemarno. Kapabilitas dan kompetensi Rini memang tak perlu diragukan. Dia
pernah magang di Departemen Keuangan AS, menjabat vice president Citibank, dan
presiden direktur PT Astra International yang mengelola pemasaran sejumlah
merek mobil dari Jepang dan Eropa.
Dengan rekam jejak seperti itu, sangat mudah bagi publik untuk
mengaitkan Rini dengan kepentingan sejumlah kelompok usaha asing berskala
multinasional. Toyota, Daihatsu, dan Isuzu yang bernaung dalam Astra tentu
khawatir dengan masa depan pangsa pasar mereka jika Jokowi bersikukuh terus
mendukung pengembangan mobil SMK. Ketika itu terjadi, patut untuk diasumsikan
bahwa tiga raksasa industri automotif dari Jepang itu akan mendekati Rini
sebagai teman lama guna memengaruhi arah kebijakan Pemerintah Indonesia di
bidang industri automotif.
Kedatangan senator Amerika Serikat (AS) John McCain ke Jakarta
baru-baru ini juga memunculkan beragam tafsir. Orang penting dari Partai
Republik AS itu datang ke Jakarta ketika masalah perpanjangan kontrak PT
Freeport Indonesia seperti tidak berkepastian. Kedatangan McCain mengingatkan
publik pada kunjungan Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice ke Jakarta pada
14-15 Maret 2006. Rice, juga dari Partai Republik, terbang ke Jakarta ketika
sengketa Pertamina dengan perusahaan minyak asal AS, ExxonMobil, untuk menjadi
operator ladang minyak Blok Cepu berlarut-larut.
Hanya sehari sebelum Rice mendarat di Jakarta, pemerintah menunjuk
ExxonMobil sebagai pengendali Blok Cepu. Pemerintah memaksa Pertamina mengalah.
Maka itu, boleh jadi, McCain juga datang ke Jakarta membawa titipan aspirasi
kelompok kepentingan dari AS untuk perpanjangan kontrak Freeport. McCain memang
hanya menemui pimpinan DPR/MPR serta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
tidak bersilaturahmi dengan Jokowi-JK. Tetapi, bisa dipastikan bahwa akan ada
orang yang dipercaya menyampaikan pesan McCain itu kepada Jokowi-JK.
Ketika persoalan Freeport dibuat final nanti, di situ publik
menafsirkan bagaimana Jokowi-JK menyikapi perilaku kelompok kepentingan AS itu.
Kesediaan Samsung memproduksi ponsel di Indonesia juga tak lepas dari peran
kelompok kepentingan. Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Cho Tai-young,
sudah memberi kepastian tentang keputusan Samsung itu dalam pertemuan dengan
Jokowi di Kantor Gubernur DKI baru-baru ini. Kelompok kepentingan yang berhasil
memaksa Samsung mungkin saja akan meminta kompensasi kepada tim Jokowi-JK.
Jadi, ada beragam cara dan strategi yang bisa digunakan kelompok-
kelompok kepentingan untuk mengusulkan sosok calon menteri. Pola pendekatannya
nyaris sama dengan praktik koalisi parpol yang bagi-bagi kursi menteri. Anda
memberi sesuatu, Anda pun mendapatkan sesuatu sebagai imbalannya. Dalam proses
seperti itulah akan muncul penumpang gelap dalam kabinet Jokowi-JK. Disebut penumpang
gelap karena menteri titipan dari kelompok kepentingan bisa merusak strategi
presiden untuk merealisasikan visi dan misi yang dijanjikannya semasa kampanye.
Tentu saja rakyat berharap Jokowi-JK tegar menghadapi kelompok
kepentingan. Ajakan kepada publik untuk memberi masukan tentang kandidat
menteri adalah ide segar yang diharapkan bisa memberi kekuatan tambahan bagi
presiden terpilih dalam membentuk kabinet. Masukan dari partai pengusung,
relawan, dan tim internal Jokowi-JK mestinya memberi keleluasaan lebih bagi
Jokowi-JK untuk menentukan mana figur yang layak dan tidak layak untuk menjabat
menteri.
Harapan kita, pasangan Jokowi-JK yang telah dimenangkan MK ini
nanti, tidak lagi mengulangi kekeliruan pemerintahan sebelumnya yang lebih
mengandalkan praktik pencitraan, dengan gincu dan bedak tebal guna menutupi
bopeng- bopeng pemerintahan yang amburadul. Selamat bekerja! []
KORAN SINDO, 04 September 2014
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR RI,
Presidium Nasional KAHMI 2012- 2017, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar