Cak Nur dan Islam yang Modern dan Indonesiawi
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla
Jumat (29/8) lalu diperingati sebagai haul (perayaan tahunan untuk
mengenang kematian) Cak Nur yang ke-9. Perayaan haul itu diselenggarakan dengan
sederhana, tetapi “gayeng” dan khidmat, di Wisma Antara di kawasan Kebun Sirih,
Jakarta Pusat.
Dalam esei pendek ini, saya ingin mengajak Anda mengingat kembali
sosok Cak Nur, gagasan-gagasannya, cita-citanya untuk Indonesia, dan ide-idenya
tentang bagaimana peran yang semestinya dimainkan oleh Islam di zaman modern.
Sebagaimana Gus Dur, Cak Nur adalah sosok penting yang perlu kita
ingat terus. Gagasan-gagasan mereka perlu kita rawat dan kembangkan lebih jauh.
Indonesia ditegakkan bukan semata-mata oleh infrastruktur material seperti
jalan-raya, jembatan, dan pelabuhan, melainkan juga oleh gagasan-gagasan besar
yang dicetuskan oleh mereka yang bergerak di wilayah ide seperti Gus Dur dan
Cak Nur.
Mereka ini adalah “conceptual engineer”, insinyur gagasan yang
kedudukannya tak kalah penting, jika malah tidak lebih penting dari “civil
engineer”, insinyur sipil yang biasanya berurusan dengan konstruksi bangunan.
Saya tahu apa yang saya tulis ini mungkin mengulang-ngulang
kembali hal-hal yang sudah banyak diketahui oleh pembaca. Tetapi menyatakan
kembali hal-hal yang sudah diketahui tetaplah penting. Restatement sama
pentingnya dengan statement. Menyatakan kembali dapat menyegarkan ingatan kita,
mendorong kita untuk rehat sejenak dari kerutinan dan memikirkan hal-hal yang
tak rutin. Derutinisasi adalah tindakan penting agar secara mental kita tetap
“fit and fresh”.
Ada banyak gagasan Cak Nur yang pantas kita kenang. Saya tak
mungkin mengulas semuanya di sini. Saya hanya akan mengambil beberapa ide pokok
Cak Nur yang patut kita nyatakan kembali dalam konteks keadaan yang sedang kita
hadapi sekarang.
Keindonesiaan dan Kemodernan
Salah satu agasan penting Cak Nur adalah menafsirkan Islam secara
modern dan “nyambung” dengan konteks Indonesia. Dua istilah ini menjadi kata
kunci gagasan Cak Nur: keindonesiaan dan kemoderenan.
Menjadi Muslim tok, dalam pengertian mengimani Islam sebagai jalan
hidup yang sempurna, belum cukup. Ada hal lain yang juga penting, yaitu
menafsirkan Islam itu agar relevan dengan dua konteks sekaligus: konteks dunia
modern, dan konteks Indonesia.
Kemungkinan adanya kontradiksi antara Islam dengan kemoderenan dan
keindonesiaan jelas bisa terjadi, dan sudah berkali-kali berlangsung dalam
sejarah negeri kita. Kontradiksi semacam ini sama sekali tak menguntungkan masa
depan kita sebagai bangsa.
Tentu saja, yang saya maksud di sini bukanlah Islam per se, tetapi
tafsiran atas Islam oleh golongan tertentu di dalamnya. Kemungkinan terjadinya
konflik dan kontradiksi antara tafsiran tertentu tentang Islam dan kemoderenan
jelas bisa terjadi. Contoh-contoh mengenai ini sangatlah banyak. Dalam sejarah
Islam modern, kita kerap berjumpa dengan golongan tertentu yang memiliki
tafsiran-tafsiran yang “kontradiktif” terhadap kemoderenan dan keindonesiaan.
Contoh terbaik ialah kelompok yang menamakan dirinya Hizbut Tahrir. Kelompok
ini beranggapan bahwa ide nasionalisme dan negara bangsa (nation state)
bertentangan dengan ajaran Islam. Ide itu, menurut mereka, datang dari luar dan
sama sekali tak sesuai dengan doktrin Islam mengenai bentuk kekuasaan politik.
Karena itu harus ditolak.
Tafsiran yang kontradiktif semacam ini jelas kurang menguntungkan
bagi umat Islam. Tafsiran ini hanyalah menempatkan umat Islam pada posisi
yang “konfrontatif” terhadap kemoderenan, dan menghalangi umat untuk
mendapatkan manfaat/maslahat darinya. Padahal salah satu ajaran penting Islam
ialah anjuran agar umat Islam mengambil “kebijaksanaan” (hikmah/wisdom) dari
manapun sumbernya: baik sumber Islam atau non-Islam. Menolak kemoderenan hanya
semata-mata karena ia tak berasal dari dalam Islam sendiri adalah sikap yang
sama sekali tak Islami.
Konsekuensi Tauhid
Gagasan penting Cak Nur yang lain ialah tentang de-sakralisasi.
Ide ini sederhana sekali, tetapi dampaknya sangat penting karena bisa
menimbulkan –jika boleh memakai istilah Jokowi—“revolusi mental”.
De-sakralisasi artinya tak menyakralkan hal-hal yang sifatnya duniawi. Dalam
setiap agama, memang selalu ada godaan untuk melakukan “sakralisasi” atau
penyucian atas dunia dalam kadar yang kerap melewati batas. Hal-hal yang
sifatnya duniawi belaka kemudian diberikan sungkup atau baju kesucian sehingga
tampak begitu angker dan tak boleh disentuh.
Cak Nur dikenal dengan pernyataannya yang cukup mengagetkan pada
zamannya: Yang suci dan “angker” (sacrosanct) hanyalah Tuhan semata. Yang
selain Tuhan tidaklah suci, absolut, dan angker, karena itu terbuka terhadap
penelaahan dan analisis. Yang suci dan absolut hanyalah firman Tuhan, sementara
pendapat manusia tidaklah suci dan absolut, sehingga boleh dipertanyakan dan
dipersoalkan. Gagasan ini, menurut Cak Nur, adalah hasil yang logis saja dari
doktrin tauhid atau monoteisme dalam Islam. Tauhid bagi Cak Nur ya tak lain
ialah de-sakralisasi dan relativisasi.
Dampak penting dari gagasan Cak Nur ini ialah terbukanya “mental
block” yang membebani umat Islam dalam waktu yang cukup lama. “Mental block”
ini membuat mereka bersikap pasif, tak berani mempertanyakan hal-hal yang
mestinya boleh dipertanyakan karena sama sekali tak sakral. Gagasan Cak Nur
tentang de-sakralisasi membuka ruang diskusi, kritik, dan dialog di tubuh umat
Islam.
Tetapi dialog tak bisa berlangsung dengan produktif jika tak ada sikap
lain yang juga penting, yakni toleransi. Di sinilah kita perlu mengenang
gagasan Cak Nur yang lain, tentang Islam yang hanif atau toleran, pluralis.
Bagi Cak Nur, Islam bukanlah agama yang mengajarkan ekstremisme, sikap-sikap
absolutistik, menang-menangan, dan merasa benar sendiri. Sikap-sikap semacam
ini jelas tak mendukung terciptanya dialog yang produktif antar golongan.
Sementara itu, dialog adalah salah satu fondasi penting terciptanya kehidupan
yang beradab (madaniyyah).
Peradaban dan keadaban adalah dua kata kunci yang menandai gagasan
lain Cak Nur yang juga sangat penting. Sumbangan penting Islam, bagi Cak Nur,
ialah membangun kehidupan yang beradab. Inti kehidupan beradab ialah absennya
kekerasan, digantikan dengan dialog yang didasarkan kepada kesediaan untuk
menerima orang lain yang berbeda.
Gagasan-gagasan Cak Nur semacam ini jelas merupakan warisan
intelektual yang penting. Kita memerlukan tafsiran keagamaan semacam ini, sebab
hanya dengan tafsiran seperti inilah falsafah kita mengenai bhinneka tunggal
ika bisa dirawat, dan ideologi Pancasila dapat diperkuat. Tafsiran semacam
inilah yang bisa merawat kehidupan publik yang beradab dan sehat.
Tafsiran keagamaan yang tertutup, absolutistik, dan serba mau
menang sendiri hanya akan berujung pada munculnya konflik sosial yang menjadi
sumber ketegangan, bahkan kekerasan antar-golongan. Kehidupan publik yang
semacam itu jelas bukanlah jenis yang dikehendaki oleh Islam, sebab Islam
menginginkan suatu keadaban – suatu kehidupan dengan dasar dialog, bukan
kekerasan antar-kelompok.
Di mata Cak Nur, Islam akan membawa rahmat bagi seluruh umat
manusia jika umat Islam menafsirkannya dalam cara yang membuatnya relevan
dengan konteks kemoderenan dan keindonesiaan, bukan kontradiktif secara tak
produktif terhadap keduanya. Apalagi jika kontradiksi itu melibatkan kekerasan
yang menandai praktek keberagamaan di sebagian golongan Islam saat ini.
Dengan kata lain, hanya dengan Islam yang Indonesiawi dan modern
(tetapi juga sekaligus berakar pada tradisi, bukan memusuhinya), semua pihak,
baik Muslim maupun tidak, akan mendapatkan rahmat dari agama yang dipeluk oleh
mayoritas penduduk negeri kita ini. []
SATU HARAPAN, 04 September 2014
Ulil Abshar-Abdalla ; Cendekiawan Muslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar